PEMBAHASAN
A. Proses Terbentuknya Demokrasi Parlementer
Pada tahun 1950, para polikus Jakarta tentu saja membentuk suatu sistem parlementer seperti yang paling baik yang mereka ketahui: demokrasi multi partai dari negeri Belanda. Kabinet bertanggung jawab kepada pelemen satu majelis (Dewan Perwakilan Rakyat) yang jumlah anggotanya 232 orang yang mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan-kekuatan partai Masyumi mendapatkan 49 kursi (21%), PNI 36 kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), Partai Katholik 9 kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%), dan Murba 4 kursi (1,75), sedangkan lebih dari 42% kursi dibagi diantara partai-partai atau perorangan-perorangan lainya, yang tak satupun dari mereka ini mendapatkan dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang pemerintah yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum di laksanakan. Soekarno selaku presiden, tidak memiliki kekuasaan riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
B. Periode dan Tokoh dalam Demokrasi Parlementer
Setelah Konferensi Meja Bundar kabinet pertama di bawah Republik Indonesia Serikat berada di bawah pimpinan wakil Presiden Mohammad Hatta. Dengan bantuan Sutan Sjahrir, Hatta terutama bertugas untuk membereskan berbagai masalah yang berhubungan dengan pemindahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia. Hatta kemudian meletakkan jabatan perdana menteri saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 17 agustus 1950. Tugas utama Hatta adalah menjalankan apa yang disepakati dalam KMB. Hatta pun mengantar Indonesia menjadi anggota PBB pada bulan september 1950.
Dalam tugas itu Hatta masih harus menghadapi masalah dengan para pasukan KNIL yang tak puas dan mengadakan pemberontakan dengan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dipimpin Westerling di Bandung dan juga situasi yang mirip di Sulawesi Selatan. Agustus 1950 Indonesia kembali ke negara kesatuan, Hatta meletakkan jabatan sebagai perdana menteri dan tetap sebagai wakil Presiden.
Setelah itu kabinet demi kabinet jatuh bangun silih berganti enam kali hingga diberlakukannya keadaan darurat Maret 1957. Kabinet-kabinet masa Demokrasi Parlementer adalah sebagai berikut:
Masa Kerja Perdana Menteri Pendukung Utama
1. Desember 1949 -Agustus 1950 Mohammad Hatta tokoh non-partai
2. September 1950 – Maret 1951 Mohammad Natsir Masjumi, P.S.I.
3. April 1951 – Februari 1952: Sukiman Masjumi, PNI
4. April 1952 – Juni 1953 Wilopo PNI , Masjumi, P.S.I.
5. Juli 1953 – Juli 1955 Ali Sostroamidjojo PNI, NU, P.S.I.I.
6. Agustus 1955 – Maret 1956 Burhanuddin Harahap Masjumi
7. Maret 1956 – Maret 1957 Ali Sostroamidjojo PNI
(ditabelkan dari sumber: Herbert Feith, 1962)
Mengenai kabinet-kabinet ini beberapa pakar peneliti Indonesia membedakan karakter berdasarkan tokoh yang dominan dalam tiap kabinet. Bernard Dahm membagi dalam dua jenis karakter, tokoh administrator dan tokoh ideologis. Feith lebih tegas menyebut tokoh ideologis sebagai “solidarity Maker”. Contoh paling menonjol adalah pada dua karakter Dwitunggal pimpinan nasional. Sukarno lebih menonjol sebagai tokoh penggalang solidaritas, sedang Hatta menonjol sebagai ahli dalam manajemen kenegaraan.
Selama tujuh kali ganti kabinet, empat kabinet pertama merupakan kabinet administrator yang harus mengatasi berbagai persoalan bangsa. Kabinet Ali pertama merupakan kelompok yang lebih ideologis, mementingkan solidaritas politik di dalam dan luar negeri (penyelenggara Konperensi Asia Afrika). Kabinet Burhanuddin Harahap yang berumur hanya enam bulan bekerja keras mengatasi inflasi dan menyelenggarakan pemilihan umum yang sudah tertunda sejak 1953. Kabinet Ali kedua hanya mengganti kabinet sebelumnya amat lemah karena situasi politik mulai berubah dengan hasil pemilihan umum yang tak memuaskan para politisi sendiri.
Partai-partai yang bermain dalam kancah politik masa ini tak bisa dibaca secara jelas, terutama kiprah penggiatnya. Dalam tiap partai terdapat anggota senior yang telah berkiprah pada masa penjajahan. Golongan senior ini sering bertentangan dengan generasi muda dalam partainya sendiri karena, umumnya para senior lebih “ideologis” dibanding generasi muda yang lebih pragmatis melihat masalah penyelenggaraan negara. Sukiman dan Wilopo adalah tokoh PNI muda yang bersikap lebih toleran pada Masjumi dan P.S.I. dibanding seniornya.
Dalam situasi demikianlah kabinet demi kabinet jatuh oleh mosi tidak percaya dari Parlemen. Tohokan pada kabinet dapat datang dari segala persoalan, baik yang nyata maupun yang hanya dijadikan alasan untuk menjatuhkan. Masalah penyelesaian KMB dan nasib Irian merupakan sasaran tembak pada semua kabinet masa itu.
1. Kabinet Mohamad Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Kesempatan menentukan formasi kabinet pertama periode ini diberikan pada Masjumi sebagai partai terbesar dalam parlemen. Presiden memberikan mandat pada Mohammad Natsir yang bekerjasama dengan P.S.I. dalam menentukan menteri-menterinya. Kabinet di bawah Mohamad Natsir mencoba membenahi negara setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya. Dalam bidang keamanan Natsir berhasil dalam menumpas bandit dan teror di Sumatera dan membungkam gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Ribuan senjata api dapat dikumpulkan kembali. Dengan Kahar Muzakar, panglima di Sulawesi Selatan, perundingan berjalan baik. Gerakan Darul Islam di Jawa Barat (dilakukan pasukan Hizbullah pimpinan Kartosuwirjo) yang sulit diajak berunding baru berhasil ditumpas tahun 1958.
Tugas yang paling berat adalah membahas masalah Irian Barat dengan pihak Belanda, karena dalam kesepakatan KMB (Konferensi Meja Bundar) Irian Barat untuk sementara waktu masih berada di bawah pemerintah Kerajaan Belanda. Perundingan berlangsung sangat sulit hingga Natsir mendapat kecaman luas dari parlemen maupun dari media surat kabar. Tak sampai satu tahun Kabinet Natsir mengundurkan diri. Irian Barat sebetulnya masalah diplomatik yang sangat sulit diselesaikan secara internasional sampai pada tahun 1963 melalui PBB Irian diberikan pada pemerintah Indonesia. Selama masa Demokrasi Parlementer masalah Irian merupakan umpan tembak kabinet-kabinet selama bertahun-tahun (Smith, 1983: 84).
2. Kabinet Sukiman (26 April 1951 – 23 Februari 1952)
Setelah jatuhnya kabinet Natsir Presiden memberikan mandat pada Mr. Sartono selaku ketua PNI dan pimpinan DPR untuk membentuk kabinet baru. Sartono sulit mendapatkan kerjasama dengan Masjumi hingga akhirnya mandat dikembalikan. Presiden kemudian menunjuk Sukiman (tokoh PNI muda) untuk jadi formatur, dan berhasil membentuk kabinet di bawah pimpinannya.
Kabinet Sukiman merupakan gabungan para menteri dari unsur PNI dan Masjumi. Saat itu NU (Nahdatul Ulama) tak bersedia ikut duduk dalam kabinet dan memilih keluar dari Masjumi untuk membentuk partai sendiri. Masjumi yang tadinya merupakan partai fusi Muhammadiyah dan NU bentukan Jepang kembali memisahkan diri seperti keadaannya pada masa penjajahan Belanda.
Serangan pada kabinet ini terutama mengarah kepada kecurigaan masyarakat bahwa, diam-diam Sukiman setuju menerima bantuan MSA (Mutual Security Aid, pakta pertahanan Amerika, Inggris dan beberapa negara di Pasifik). Perundingan ini dianggap menyalahi kebijakan nasional sebagai negara bebas aktif, tak memihak salah satu blok militer. Masyarakat dan media menentang keras usaha ini, hingga akhirnya kabinet Sukiman menangguhkan perjanjian tersebut.
Masalah yang cukup peka adalah Menteri Kehakiman melepaskan 950 orang tahanan politik yang bersimpati pada partainya, merupakan sebagian dari 17.000 tahanan yang terlibat usaha pemberontakan hasil tangkapan pihak tentara. Tentara merasa diasingkan dengan pelepasan tanpa konsultasi itu (Feith, 1962: 185). Kejadian ini menjadi awal dari ketidakcocokan tentara dengan penguasa sipil. Didera masalah luar negeri dan terjerat masalah dalam negeri, kabinet Sukiman hanya dalam 10 bulan akhirnya jatuh.
3. Kabinet Wilopo (1 April1952 – 2 Juni 1953)
Kabinet Wilopo yang didukung partai Masjumi dan P.S.I. sebetulnya mempunyai modal bagus untuk membenahi masalah negara. Di dalamnya duduk Sumitro Djojohadikusumo, doktor ekonomi dari Rotterdam yang piawai menangani masalah keuangan. Selain itu duduk pula Insinyur Djuanda dan Ahli hukum Sjafruddin Prawiranegara. Tapi rupanya masalahnya sangat kompleks seperti diutarakan Sumitro dalam diskusi dengan Benjamin Higgins penasihat ekonomi PBB: “…arena politik Indonesia merupakan kancah perjoangan. Banyak sekali tujuan-tujuan sosial serta ekonomi yang harus dicapai dan yang kesemuanya malah cenderung memperlambat pengambilan keputusan mengenai proyek-proyek pembangunan tertentu”. (Higgins dalam Smith 1983: 86)
Kesulitan makin menjadi-jadi dengan perseteruan Angkatan Darat dengan Parlemen yang sedang membahas pengurangan anggaran untuk tentara karena situasi ekonomi yang memburuk. Dalam parlemen muncul juga kecurigaan tentara akan melakukan kudeta. Saling tak suka dan curiga makin meruncing hingga pada tanggal 17 Oktober 1952 Angkatan Darat berdemonstrasi membawa tank dan meriam ke istana, dan mengusung ribuan massa yang menuntut dibubarkannya Parlemen. Demonstran itu dikomando oleh para pemuda berikat kepala merah yang berperan sebagai pengatur gerakan. Dalam memoarnya Manai Sophian (1991: 335) menuliskan bahwa massa tersebut berasal dari Tanjung Priok dan Senen, diusung dengan truk yang disediakan tentara. Kudeta lunak ini berhasil dijinakkan Presiden Sukarno dengan keahliannya berpidato, massa meninggalkan istana dengan damai atas perintahnya.
Akibat peristiwa itu cukup besar, para pendukung tentara pusat segera dipecat. Selama bulan Oktober dan November para panglima, yang baru saja dilantik oleh pimpinan pusat untuk memimpin pasukan pasukan daerah, digulingkan oleh para mantan panglima. Pada bulan Desember 1952 Nasution diskors dan se lama tiga tahun dia tetap berada dalam daftar non aktif. Selama masa itu dia menjadi lebih matang untuk mempertimbangkan kembali taktik taktiknya, kemudian menyimpulkan bahwa lebih baik menghadapi Sukarno sebagai sekutu daripada sebagai lawan. (Ricklef 1981:369)
Di dalam tubuh Angkatan Darat mulai mendua antara pro dan kontra peristiwa, tetapi juga tentara mulai memikirkan posisinya yang makin lemah dan perlu mencari cara yang lebih cerdik bermain dalam politik. Saat itu Nasution membentuk Partai IPKI (Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia) yang menjadi wadah tentara dalam Pemilihan Umum yang direncanakan tahun 1955. Peristiwa itu juga memperbesar kepercayaan diri Presiden Sukarno bahwa karismanya masih memukau rakyat Indonesia. Kepercayaan ini digunakan sebagai penyeimbang dalam berbagai konflik politik masa itu.
Akibat yang nyata adalah jatuhnya Kabinet Wilopo yang tadinya diharapkan sebagai “kabinet teknokrat” yang akan membereskan masalah sosial ekonomi negeri ini. Selain peristiwa 17 Oktober, kabinet juga diserang keras atas peristiwa pemindahan paksa petani dari perkebunan asing di Sumatera Utara yang mengakibatkan kematian lima petani. Menjelang jatuhnya kabinet ini juga muncul pemberontakan kaum Muslim garis keras di bawah Kartosuwirjo di Jawa Barat. Pemberontakan ini diikuti oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
4. Kabinet Ali Pertama (Juli 1953 – Juli 1955)
Setelah selama dua bulan bernegosiasi dan “dagang sapi” (istilah ini muncul pada tahun 1953 di surat kabar-surat kabar sebagai kiasan politik untuk negosiasi politik antar partai) maka terbentuklah Kabinet di bawah Ali tokoh PNI, Sostroamidjojo. Kabinet Ali berhubungan baik dengan Sukarno. Meskipun Sukarno melepaskan keanggotaan sebagai PNI demi netralitas sebagai negarawan, tapi kedekatannya dengan PNI tak dapat dipungkiri.
Melalui Kabinet Ali, Sukarno memperluas kiprah politiknya ke dunia internasional yang dimulai dengan kontak antar negara pemrakarsa konferensi Kolombo di Ceylon. Kemudian forum diperluas pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung yang dihadiri wakil dari 29 negara. Kegiatan ini mengangkat nama Indonesia, dan tentunya juga nama Sukarno di kancah internasional. Tetapi di dalam negeri kebijakan ini menuai kritik dari masyarakat, partai politik lawan PNI dan surat kabar, karena dianggap pemborosan dalam situasi ekonomi yang buruk.
Sebagian menteri kabinet Ali adalah wajah baru dan enam orang adalah tokoh masa perjuangan yang dekat dengan Presiden. Berbeda dengan kabinet sebelumnya, tokoh-tokohnya tak terlalu merasa didesak untuk menyelesaikan masalah ekonomi. Mereka lebih giat dengan isu-isu seperti nasionalisasi, Indonesianisasi pada berbagai usaha pribumi, seperti; perbankan, perkapalan, usaha impor, penggilingan padi dan lain-lain yang semula dikuasai oleh pengusaha Belanda dan Cina. Namun juga pada kabinet ini inflasi mulai melaju cepat menyebabkan nilai valuta asing tak realistis, hingga memukul para penghasil barang ekspor (Feith, 1962: 343).
Kabinet ini pun dikenal sebagai kabinet yang lebih menerima politik berhaluan kiri, dengan persetujuan prinsip dari Ali untuk menjaga komunis tetap hidup selama masa pemerintahan Sukarno (Smith 1986: 109). Menteri pertahanan Iwa Kusumasumantri yang juga berhaluan kiri mengusulkan dibentuknya “pasukan sukarela” untuk memberantas pemberontakan Darul Islam di pedalaman Jawa Barat. Pada saat itu pula Daud Beureuh berhubungan dengan pemberontak di Jawa Barat dan melakukan pemberontakan pula di Aceh atas nama negara Islam (Feith, 1962: 345). Gangguan demi gangguan datang mengguncang jalannya kabinet yang masa kerjanya paling panjang dibanding yang lain, terutama dari pihak tentara yang mulai berkonsolidasi kembali. Berbagai keputusan pengangkatan pejabat di kalangan tentara dihalangi oleh kepala staf Angkatan Darat. Masa itu muncul tokoh pembangkang Kolonel Zulkifli Lubis yang bersikap berhadapan dengan kabinet Ali.
Kabinet Ali juga menghadapi masalah dalam rencana Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada bulan September 1955 (untuk wakil dalam parlemen) dan Desember 1955 (wakil Konstituante). Kampanye berlangsung panas hingga jatuh korban di pihak tentara sebagai penjaga ketertiban. Meskipun kemudian demonstrasi dilarang oleh tentara, tapi kerusuhan tetap terjadi di mana-mana.
Nada pesimisme makin menjadi-jadi karena tingginya inflasi dan lajunya impor barang mewah hingga kabinet masa itu dijuluki “Kabinet Opel” oleh kaum oposisi dan surat kabar. Perkawinan Sukarno dengan seorang janda, Hartini, juga menuai kritik besar di masyarakat. Sukses diplomasi internasional karena penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tak cukup untuk mengangkat popularitasnya di dalam negeri. Apalagi dengan dibongkarnya kasus “Hospitality Committee” (penyediaan perempuan teman tidur bagi para tamu delegasi KAA) membuat peristiwa besar itu menjadi cacat di mata masyarakat.
Pukulan terakhir datang dari pihak tentara dengan memboikot upacara pelantikan pejabat Angkatan Darat oleh Kabinet yang tak disetujui kelompok tentara. Ketakberhasilan bernegosiasi dengan pihak tentara dan ditambah berbagai kegagalan ekonomi akhirnya membuat Kabinet Ali Sostroamidjojo meletakkan jabatan. Di sini terlihat pihak tentara mulai mendapatkan kemenangan dalam politik dengan keberhasilannya menjatuhkan kabinet.
5. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet pimpinan Burhanuddin Harahap yang berlatar Masjumi mendapat tugas “memulihkan kewibawaan moral pemerintah, menyelenggarakan pemilihan umum dan mempercepat pembentukan parlemen yang baru” (Feith, 417-418). Yang mengkhawatirkan adalah sikap tentara menangkapi orang dengan berbagai dugaan korupsi. Bahkan pada hari pelantikan, kabinet Polisi Militer menangkap bekas Menteri Kehakiman atas tuduhan korupsi.
Tekanan datang dari partai-partai yang berkuasa untuk memanipulasi data perekonomian agar pemerintah tampak berhasil menjelang Pemilihan Umum. Pada bulan September harga bensin diturunkan untuk meraih simpati dalam pemilihan umum. Pada kabinet ini pula pertama dibentuk badan baru untuk mengatasi korupsi dan mengawasi lintas valuta asing.
Dalam masa ini pula Indonesia mulai membuka perundingan dengan Belanda mengenai rencana pembentukan Uni Indonesia – Belanda dan penyelesaian masalah Irian Barat, yang lama terabaikan. Semula media menyangsikan keberanian kabinet ini untuk bersikap tegas pada Belanda. Justru kabinet inilah yang pada awal 1956 membatalkan persekutuan kerjasama dengan Belanda yang selama itu tak pernah mencapai realisasi.
Dalam mengatasi pemberontakan Darul Islam di Jawa dan Sumatera, kabinet ini selalu mengalami kegagalan. Juga kabinet ini tak dapat menggalang kerjasama dengan pihak militer. Hal ini terlihat dari ditentangnya pengangkatan pejabat militer tanpa konsultasi, baik dari Angkatan Darat maupun angkatan Udara. Ketidakharmonisan tampak nyata dengan diangkatnya Kolonel Nasution, yang saat itu masih dalam sanksi non aktif, sebagai kepala staf. Juga kabinet Burhanuddin Harahap tak berjalan mesra dengan Presiden, terbukti dengan penolakan memberi izin rencana pidato Sukarno di Bandung dalam rangka kampanye.
Pemilihan Umum yang menjadi tugas utama kabinet ini berjalan sukses. Pada hari pemilihan umum 29 September 1955 rakyat berbondong-bondong dengan khidmat menjalani prosesi yang baru pertama kali diadakan sejak merdeka. Meski terdapat kritik di sana-sini tentang kecurangan, tapi pemilihan umum ini dianggap pemilihan umum pertama di Indonesia yang jujur.
1 PNI (Partai Nasional Indonesia) 8.434.654
2 Masjumi (Majelis Syuro Indonesia) 7.903.886
3 NU (Nahdatul Ulama) 6.955.141
4 PKI (Partai Komunis Indonesia) 6.176.914
5 P.S.I.I. (Partai Sarekat Islam Indonesia) 1.091.160
6 Parkindo (Partai Kristen Indonesia) 1.03.325
7 Partai Katolik 770.740
8 P.S.I. (Partai Sosialis Indonesia) 753.191
9 IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) 539.824
Perolehan Pemilihan Umum Parlemen 1955 Tk. Nasional
Partai yang memperoleh di bawah 500ribu suara: Perti, GPP, PRN, PPPRI, Partai Murba, Partai Buruh, PRI, PIR-Wongso, PIR-Hazairin, Permai, Baperki, Gerinda, Partai Persatuan Daya, PRIM, AKUI, Acoma, PPTI, PRD, R.Soedjono dkk (sumber: Feith, Pemilihan Umum 1955, Gramedia)
Hasil Pemilihan Umum ternyata mengecewakan kaum politisi karena tak sesuai dengan bayangan mereka tentang posisi partainya. Ketidakpuasan ini terutama muncul dari para politisi yang sejak awal kemerdekaan melalui komposisi parlemen bayangan mendapat kedudukan baik, ternyata setelah pemungutan suara popularitasnya tak seperti yang diduga. Justru partai Komunis yang tak pernah secara nyata duduk dalam pemerintahan meraih posisi ke empat. Kursi Parlemen hasil Pemilihan Umum dibagi antara 28 partai sesuai formasi hasil Pemilihan Umum. Tentu ini tak menyenangkan bagi 20 partai yang tadinya selama kemerdekaan memperoleh kenyamanan tanpa berjuang.
Kegalauan juga terjadi saat Konstituante hasil Pemilihan Umum tak berhasil mengatasi perbedaan pandangan dalam membuat Undang-Undang Dasar baru. Berbagai masalah di atas ditambah dengan naiknya harga beras nyaris dua kali lipat di Jawa (dan lebih tinggi lagi di luar Jawa) membuat kabinet Burhanuddin Harahap meletakkan mandat pada Maret 1956.
6. Kabinet Ali Kedua (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Ali Sostroamidjojo kembali beroleh mandat untuk kedua kalinya memimpin kabinet, meski secara umum khalayak kurang senang menerimanya. Keleluasaan dan kecongkakan kaum elite, orang kaya baru, sikap bermewah-mewah, korupsi di kalangan pegawai negeri, mencari keuntungan untuk diri sendiri, menjadi ciri masa itu yang memperlihatkan lemahnya persatuan dan tujuan bersama secara nasional.
Dalam masa kerjanya yang nyaris setahun Kabinet Ali berusaha menyusun kembali agenda pembangunan dengan mengundangkan “Rencana Lima Tahun”, mengatur: kepemilikan tanah, otonomi daerah dan pembagian keuangan pusat daerah, wajib militer, undang-undang perkawinan. Tapi kabinet hingga lima bulan waktu habis hanya untuk berdebat tanpa kata sepakat. Sementara Sukarno mengembangkan terus kiprah internasionalnya dengan mengunjungi berbagai negara besar bersama delegasi yang besar pula.
Kabinet Ali kedua seperti juga yang pertama, menekankan kembali gerakan nasionalisasinya. Kabinet memutuskan organisasi pribumi mana saja yang boleh mengambil alih usaha ekspedisi pelabuhan yang semula dipegang oleh orang Belanda dan Cina. Hal ini kemudian dapat kecaman karena sangat rawan korupsi. Ketidaksenangan masyarakat juga muncul karena kebijakan otonomi yang berlarut-larut. Kecurigaan terhadap pemerintah pusat menjadi benih munculnya kembali gerakan kesukuan yang menebar kebencian antar suku.
Hubungan dengan pihak tentara merupakan krisis terbesar masa kabinet ini. Pemerintah pusat tak berhasil menjalankan kebijakan terhadap militer di daerah. Sejak masa revolusi kekuatan nyata di daerah berada di tangan tentara. Rakyat terpencil melihat tentara sebagai wujud pejuang yang memerdekakan Indonesia, dan militer di daerah bertindak sebagai semacam “warlord” yang lebih berkuasa dari kepala staf di Jakarta. (Smith, 1983: 115) Untuk menunjang kesejahteraan tentara, panglima daerah melakukan penyelundupan ke luar negeri. Kegiatan itu menonjol terutama di Sumatera dan Sulawesi Utara.
Nasution sebagai kepala staf di pusat menghadapi banyak musuh dalam tubuh Angkatan Darat sendiri. Musuh utama adalah Kolonbel Simbolon yang sebenarnya lebih senior dari Nasution untuk menduduki jabatan kepala staf. Bahkan wakil kepala staf sendiri, Zulkifli Lubis, berusaha menggulingkan kepala stafnya sendiri dengan dukungan kalangan panglima. Tapi niat itu bisa digagalkan hingga Lubis dipecat dan meneruskan tentangannya dengan membela panglima daerah. Peristiwa ini yang antara lain melahirkan pembrotakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Pertahanan Rakjat Semesta) di Sulawesi.
Kabinet Ali kedua ini mendapat kecaman keras juga dari pihak pers dalam kasus dugaan korupsi bekas Menteri Kehakiman, Roeslan Abdoelgani yang tak kunjung diproses. Selain inti gejolak anti Belanda makin memanas dengan serangan-serangan pada orang, perusahaan ataupun kedutaan asing yang digerakkan oleh pemuda komunis. Sementara itu Sukarno mulai lepas tangan dari kabinet yang pasti akan jatuh ini.
Sukarno mulai menyebar pidato tentang tak efektifnya kerja parlemen. Sukarno juga mengkritik mengenai ketidakcocokan demokrasi liberal yang dijalankan sambil meghembuskan gagasannya tentang “Demokrasi Terpimpin”. Situasi tak menentu ini menyebabkan Mohamad Hatta meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden.
Ketidakpuasan di kalangan militer pun memuncak dengan munculnya bibit pemberontakan di Sumatera (PRRI: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta (Perjuangan Rakjat Semesta). Sukarno dalam pidatonya mencurigai keterlibatan pihak asing yang menjadi pendukung para pemberontak. Nasution mulai mendekati Presiden dan mengumumkan keadaan darurat perang untuk mengatasi kekacauan. Kabinet Ali kedua praktis berhenti dengan diumumkannya keadaan darurat (SOB) 14 Maret 1957.
C. Berakhirnya Demokrasi Parlementer
Situasi makin memanas baik secara umum di masyarakat maupun di kalangan militer. Ketidakpuasan muncul di mana-mana dan masyarakat makin pesimis mengenai harapan kesejahteraan dan kemakmuran yang dijanjikan. Situasi ini menjadi kesempatan Sukarno untuk mengambil alih pucuk pimpinan, meninggalkan sistem parlementer yang selama tujuh tahun berjalan dirasakan tak memberikan solusi yang baik, dan juga kurang memberi wewenang pada dirinya untuk lebih berperan besar dalam pemerintahan.
Mengatasi situasi perpecahan dan pemberontakan, pada tanggal 14 Maret 1957 Presiden Soekarno, atas dukungan A.H. Nasution, mengumumkan keadaan darurat perang (SOB, Staat van Oorlog en Beleg) (Ricklefs,1981: 386). Dalam hal ini Nasution berhasil mencapai ambisinya untuk mengecilkan pengaruh parlemen dan memberi keleluasaan lebih besar pada militer (dalam hal ini Angkatan Darat) untuk menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Tentara memperoleh sumber dana cukup karena saat nasionalisasi perusahaan Belanda, pimpinan usaha diberikan pada para petinggi militer.
Langkah SOB ini berlanjut dengan pencanangan Demokrasi Terpimpin, pembentukan Kabinet Presidensil, dan pembubaran Konstituante yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum 1955 karena tak berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar yang baru. Tentangan yang muncul dapat diatasi oleh Undang-undang Keadaan Darurat. Pada masa sesudahnya Masjumi yang pertama kena dampaknya dan dibubarkan karena tak bisa menerima konsep Nasakom (kerjasama dalam pemerintahan antara golongtan Nasional – Agama – Komunis). Partai berikut yang dibubarkan adalah P.S.I. dan Murba. Dalam pers korbannya adalah Mochtar Lubis dari harian Indonesia Raya yang selalu kritis terhadap pemerintah. Pengekangan kebebasan makin diketatkan dan keuntungan diraih oleh golongan Komunis yang makin dekat dengan Sukarno. Setelah PNI dan NU dijinakkan, saingan utama Partai Komunis tinggal Angkatan Darat.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Republik Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Sejak saat itu otoritas pemerintahan dipegang Presiden sendiri sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Pemimpin Besar Revolusi. Demikianlah akhir periode demokrasi pertama yang sangat dinamis di Indonesia
PENUTUP
KESIMPULAN
Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia dimulai sejak Pemerintah Indonesia mengganti bentuk Negara Federal, Republik Indonesia Serikat, menjadi negara kesatuan Republik Indonesia pada bulan Agustus 1950. Masa itu ditandai oleh situasi politik yang sangat dinamis, di mana berbagai ideologi dan kepentingan saling berebut mengisi kemerdekaan yang baru diperoleh.
Selama kurun waktu 1950-1959 sering terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit. Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.
Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi parlementer adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Demokrasi Parlementer berakhir bulan Maret 1957 saat Presiden Sukarno dan Kolonel Nasution menyatakan negara dalam keadaan darurat (SOB) dan Demokrasi Parlementer diganti menjadi demokrasi terpimpin di bawah komando langsung Presiden Soekarno.