Kegiatan kepariwisataan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan meski sempat terhenti akibat adanya perang untuk melawan penjajahan mulai mengalami perkembangan setelah adanya pengakuan kemerdekaan di tahun 1945. Dengan di akuinya kemerdekaan oleh bangsa lain, maka mulai timbullah hubungan dengan bangsa lain. Hubungan dengan bangsa lain yang mulai meningakat salah satunya adalah perdagangan. Meningkatnya perdagangan antar benua Eropa dan Asia dan Indonesia pada khususnya, meningkatkan lalulintas manusia yang melakukan perjalanan untuk berbagai kepentingan masing-masing. Untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik untuk mereka yang melakukan perjalanan ini maka didirikan suatu cabang Travel Agent. Saat itu kegiatan pariwisata lebih banyak didominasi oleh orang kulit putih saja, sedangkan bangsa pribumi sangat sedikit bahkan dapat dikatakan tidak ada. Pertumbuhan hotel di Indonesia sesungguhnya mulai dikenal pada abad 19 ini meskipun terbatas pada beberapa kota. Fungsi hotel saat itu lebih banyak digunakan untuk tamu-tamu dari penumpang kapal laut dari Eropa. Mengingat belum adanya kendaraan bermotor untuk membawa tamu – tamu tersebut dari pelabuhan ke hotel dan sebaliknya, maka digunakan kereta kuda serupa cikar. Memasuki abad 20, mulailah perkembangan usaha akomodasi hotel ke kota lainnya dan kemudian setelah kendaraan bermotor digunakan dan jalan raya sudah berkembang, muncul pula hotel baru di kota lainnya. Perkembangan masyarakat yang seiring dengan perkembangan jaman mempertinggi pula frekuensi perjalanan masyarakat non kulit putih sehingga berkembang pula bentuk usaha akomodasi ini menjadi Penginapan besar (Hotel) dan Penginapan kecil (Losmen). Dari sinilah mulai berkembangnya pariwisata di tahun 1945 sampai 1965.
Pariwisata di indnonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Industri pariwisata banyak dilirik sebagai salah satu pemasok devisa negara selain dari sektor non migas. Berikut ini adalah perkembangan pariwisata di indonesia pada tahun 1945 sampai 1965.
A. Kegiatan Pariwisata Masa Periode 1945-1955
Setelah sekian lama terhenti kegiatan pariwisata di Indonesia dikarenakan terjadinya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang, hal ini berlanjut terus ke masa mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meskipun begitu, Pemerintah Indonesia cukup tanggap untuk segera mengatasi dan memeberikan perhatian terhadap sektor kepariwisataan yang sebagai salah satu sektor penunjang perekonomian Negara. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah sewaktu berkecamuknya revolusi pada tahun 1946 dibentuk Hotel dan Tourisme (HONET) atas surat keputusan wakil presiden (Drs. Moh. Hatta) di dalam lingkungan Kementrian Perhubungan. Yang bertugas untuk melanjutkan pengelolaan hotel-hotel bekas milik Belanda. Tindakan pertama yang dilakukan oleh Honet adalah mengganti nama hotel-hotel bekas Belanda di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokerto, dan Pekalongan, menjadi Hotel Merdeka. Akan tetapi setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) ditandatangani (1949), semua perusahaan bekas milik Belanda yang dinasionalisir, harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Termasuk hotel-hotel Merdeka dengan demikian Honet tidak mempunya fungsi lagi sehingga dibubarkan. Setelah Honet dibubarkan, pada tahun 1952 dikeluarkan Keppres Pembentukan Pnaitia Inter-Depertemental Urusan Tourisme, yang bertugas untuk mengusahakan kemungkinan dijadikannya Indonesia sebagai Tourist Destination atau daerah tujuan wisata (DTW). Dikarenakan para pengurus tersebut tidak dapat bekerja maksimal. Maka pada tahun 1953 didirikan suatu organisasi bernama Serikat Gabungan Hotel dan Tourisme Indonesia atau disingkat Sergahti. Sergahti beranggotakan hampir seluruh hotel utama di Indonesia. Dengan komisaris-komisaris wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Usia organisasi ini tidak lama hal ini dikarenakan para pengurusnya merasa gagal dalam menjalankan misi mereka yakni misi mengosongkan penghuni tetap di hotel-hotel itu. Selain itu, tidak berhasil menyelesaikan masalah penetapan harga atau tariff hotel (hotel prijsbeheering) yang diberlakukan oleh pihak pemerintah.
Tahun 1955 merupakan batu loncatan atau bisa dsebut juga sebagai tonggak sejarah bagi perkembangan pariwisata di Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun itu yang sedikit banyak berpengaruh pada perkembangan kepariwisataan di Indonesia.
Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang berlangsung di Bandung tanggal 18-24 April 1955 berpengaruh positif pada bidang kepariwisataan Indonesia. Negara kita menjadi makin dikenal secara Internasional sehingga sedikit demi sedikit banyak meningkatkan pula jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Bank Industri Negara, yang sekarang menjadi Bank Pembangunan Indonesia atau Bapindo, pada tahun 1955 mendirikan sebuah perusahaan yang bersifat komersil yang berbama PT NATOUR Ltd (National Hotels & Tourism Corp Ltd). PT NATOUR kemudian memiliki Hotel Trasaera di Jakarta, Hotel Bali, Shindu Beach Hotel, dan Kuta Beach Hotel di Bali, Hotel Garuda di Yogyakarta, Hotel Simpang di Surabaya, dan berbagai Hotel lainnya di seluruh Indonesia. Sebagai salah satu anak perusahaan dari sebuah bank milik pemerintah, maka PT NATOUR dengan sendirinya merupakan sebuah perusahaan milik Negara yang kemudian dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada Desember 1993 Direksi PT NATOUR disatukan dengan PT Hotel Indonesia Internasional (HII) yang juga berstatus BUMN. Pada tahun 1955 dalam lingkungan kementrian Perhubungan dibentuk Direktorat Pariwisata. Himpunan Perintis Kepariwisataan dalam naskah yang berjudul Sejarah Pertumbuhan dan Kepariwisataan Indonesia menyebutkan Biro Tourisme, yang dipimpin oleh Soeganda. Pada tahun 1964, kedudukan Soeganda sebagai pimpinan direktorat Pariwisata digantikan oleh G. Sudiono. Perkembangan - perkembangan tersebut berhasil meningkatkan semangat dan gairah orang-oranmg yang berminat terhadap kepariwisataan. Kemudian lahirlah Yayasan Tourisme Indonesia (YII) yang bersifat non-komersial. Tujuan utamanya adalah untuk membina dan mengembangkan industri pariwisata secara lebih efektif guna menunjang perekonomian Negara Indonesia. Dalam naskah sejarah pertumbuuhan kepariwisataan Indonesia tidak dicantumkan tanggal pendirian Yayasan Tourisme Indonesia (YTI), namun hanya ada tahun dan tempat kelahiran organisasi tersebut, yaitu tahun 1955 di Grand Hotel du Pavillon di Jakarta. Kemudian diganti menjadi Hotel Majapahit dan kini dibongkar menjadi tempat parker gedung Sesneg. Pendanaan YTI diperoleh dari sumbangan-sumbangan para anggotanya dan para donator yang sekarang biasa disebut sponsor. Dalam waktu yang singkat YTI telah berhasil membuka cabang-cabang di berbagai daerah di Indonesia. Dengan semangat yang menggebu-gebu YTI melakukan kampanye “sadar wisata” untuk memasyarakatkan pariwisata.
“Sadar Wisata” untuk “Memasyarakatkan pariwisata” adalah jargon pariwisata yang baru timbul menjelang akhir tahun 1990. namun demikian secara substansial kegiatan itu telah dilakukan sejak tahun 1955 oleh YTI. Dalam kampanye sadar wisata itu, S. Brata dengan seluruh korp wartawan ibu kota memagang peranan yang besar sehingga telah menciptakan iklim demam tourisme selama beberapa tahun kemudian. YTI juga menjalin hubungan dengan organisasi-organisasi kepariwisataan Interbasional dan menjadi anggota dari Pcific Area Tourism (PATA) dan ASTA. Dengan keberhasilan tersebut, YTI kemudian mengajukan permohonan kepada pemerintah agar diakui sebagai satu-satunya badan yang mendapat tugas untuk membina dan membimbing kepariwisataan di Indonesia. Menteri Perhubungan Suchyar Tedjasusmana bersedia memberikan pengakuan itu dengan syarat agar YTI menyelenggarakan kongres lepariwisataan yang bersifat nasional. Musyawarah Nasional Tourisme I tersebutmenghasilkan sebuah wadah tunggal swasta yang bergerak di bidang kepariwisataan, yaitu Dewan Tourisme DTI mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai satu-satunya badan sentral swasta. Bersifat non-komersial dan bertindak sebagai wakil dari badan atau lembaga yayasan di daerah untuk membantu dan mendampingi pemerintah dan mengurus soal-soal kepariwisataan. Penggunaan nama Dewan Tourisme Indonesia nampaknya meruoakan sebuah kompromi yang tercapai antara YTI dengan organisasi-organisasi kepariwisataan non-YTI. Dari hasil kompromi tersebut mamka seluruh organisasi kepariwisataan meleburkan diri menjadi satu kedalamwadah baru, yaitu DTI. Namun pada tahun 1961 DTI berubah nama menjadi Dewan Pariwisata Indonesia (Depari).
Setelah sekian lama terhenti kegiatan pariwisata di Indonesia karenakan terjadinya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang, hal ini berlanjut terus ke masa mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meskipun begitu, Pemerintah Indonesia cukup tanggap untuk segera mengatasi dan memeberikan perhatian terhadap sektor kepariwisataan di indonesia yang sebagai salah satu sektor penunjang perekonomian Negara. Perkembangan pariwisata terus menerus meningkat ditandai dengan mulai munculnya Hotel dan Tourisme, kemudian mulai bermunculannya Yayasan Tourisme Indonesia.