MAKALAH KEBENCANAAN BENCANA KEBAKARAN
MAKALAH KEBENCANAAN
BENCANA KEBAKARAN
Dosen Pengampu: Drs.
Udia Haris Hadori
PRODI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu
akibat yang paling nampak dari salah urus pengelolaan hutan selama 30 tahun
adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan dan lahan,
khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Hutan-hutan tropis basah yang belum
ditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan
hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya,
hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak
belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran (Schindler dkk., 1989).
Bukti ilmiah
berdasarkan pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di Kalimantan
Timur menunjukkan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang kali
terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode
kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode Glasial Kuarter
(Goldammer, 1990). Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi
kemungkinan manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium
terakhir ini, pertama untuk memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk membuka
petak-petak pertanian di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi suatu
ciri hutan-hutan di Indonesia selama beribu-ribu tahun, kebakaran yang terjadi
mula-mula pasti lebih kecil dan lebih tersebar dari segi frekuensi dan waktunya
dibandingkan dua dekade belakangan ini. Oleh karena itu, kebakaran yang terjadi
mula-mula ini bukan merupakan penyebab deforestasi yang signifikan. Hal ini
terlihat jelas dari kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Kalimantan,
misalnya, dari dulu berhutan, dan baru pada waktu belakangan ini mengalami
deforestasi yang sangat tinggi (Barber dan Schweithelm, 2000).
Berbagai
proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang luas di
Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem yang
rentan terhadap kebakaran. Perubahan yang mendasar ini, ditambah dengan
terjadinya fenomena iklim El Niño,33 telah menyebabkan peledakan kebakaran
hebat yang terjadi selama 20 tahun terakhir ini.
Indonesia
juga memiliki beragam undangundang lingkungan dan peraturan lainnya yang
menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat
nasional dan di tingkat propinsi. Namun demikian berbagai undang-undang ini
jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada
tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat
dalam pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi
penting yang dijatuhkan.
Secara
kelembagaan, laporan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP menyimpulkan
bahwa "Indonesia tidak memiliki suatu organisasi pengelolaan kebakaran
yang profesional. Berbagai usaha pemadaman kebakaran dilakukan berdasarkan
koordinasi di antara beberapa lembaga yang terkait. Berbagai lembaga yang
terlibat dalam pengelolaan kebakaran tidak memiliki mandat yang memadai,
tingkat kemampuan dan peralatan yang tidak memadai untuk melakukan tugas-tugas
mereka". Departemen Kehutanan merupakan satu-satunya lembaga pemerintah dengan
tugas khusus untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran. Direktorat untuk
menanggulangi kebakaran hutan berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (PHKA).
Beberapa
kelemahan pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia yang diidentifikasi
oleh kajian Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP meliputi: tumpang
tindihnya fungsi di antara berbagai lembaga yang berbeda; wewenang dan tanggung
jawab kelembagaan yang tidak jelas; mandat yang tidak memadai; dan berbagai
kemampuan kelembagaan lokal yang lemah.
Kegagalan
dalam menerapkan berbagai peraturan yang ada, menurut kajian, merupakan akibat
dari: kurangnya kemauan politik di pihak lembaga penegak hukum; lemahnya akses
terhadap data kebakaran bagi para pejabat penegak hukum; keterbatasan fasilitas
dan peralatan untuk mendukung berbagai penyidikan di lapangan; berbagai
persepsi yang berbeda di antara berbagai lembaga tentang mana yang merupakan
bukti resmi yang memadai dari pembakaran yang disengaja; kurangnya pemahaman
tentang berbagai peraturan resmi mengenai kejahatan perusahaan yang memberikan
peluang bagi perusahaan, daripada para individu pekerja, untuk dituntut;
"lemahnya integritas" di pihak para penegak hukum; dan "berbagai
konflik kepentingan" antara berbagai lembaga, sebagian di antaranya
ditugaskan untuk konservasi dan pemadaman kebakaran, sementara yang lainnya
bertugas untuk mengembangkan perkebunan dan meningkatkan berbagai hasil
pertanian.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Pra bencana kebakaran
a.
Apa pengertian kebakaran?
b.
Apa saja faktor penyebab kebakaran?
c.
Apa saja tanda- tanda kebakaran?
d.
Daerah seperti apa yang rawan kebakaran?
2.
Saat bencana kebakaran terjadi
Apa
yang harus dilakukan saat kebakaran terjadi?
3.
Pasca bencana kebakaran
a.
Apa saja dampak kebakaran?
b.
Bagaimana solusi untuk mengatasi kebakaran?
c.
Bagaimana mitigasi bencana kebakaran?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui pra bencana kebakaran
a.
Mengetahui apa pengertian kebakaran
b.
Mengetahui apa saja factor penyebab
kebakaran
c.
Mengetahui apa saja tanda- tanda kebakaran
d.
Mengetahui daerah seperti apa yang rawan kebakaran
2.
Mengetahui saat bencana kebakaran terjadi
Mengetahui apa yang harus dilakukan saat
kebakaran terjadi
3.
Mengetahui pasca bencana kebakaran
a.
Mengetahui apa saja dampak kebakaran
b.
Mengetahui bagaimana solusi untuk mengatasi
kebakaran
c.
Mengetahui bagaimana mitigasi bencana
kebakaran
BAB II
PRA BENCANA KEBAKARAN
A. PENGERTIAN KEBAKARAN
Kebakaran
adalah bahaya yang nyata yang timbul karena pemakaian listrik. Kebakaran
menyebabkan kehilangan nyawa dan tak hanya meliputi seseorang saja, tetapi
dapat terjadi di tempat-tempat di mana banyak manusia berkumpul, seperti
pabrik, pusat perbelanjaan dsb.nya. Selain kehilangan nyawa manusia juga
mengakibatkan kerugian besar dalam hal materi. Kebakaran hutan, kebakaran
vegetasi, atau kebakaran semak,
adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat
memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum
termasuk petir, kecerobohan manusia,
dan pembakaran.
Musim
kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah penyebab utama kebakaran
hutan besar.
Angka-angka
yang didapatkan dari dinas kebakaran DKI, bahwa kerugian kebakaran selama
periode 1993 s/d September 1998 adalah kira-kira 487 milyar Rupiah. Sebetulnya
untuk mendapat kepastian apa penyebab utama dari kebakaran sering kali sangat
sulit. Biasanya bukti yang nyata telah dimusnahkan oleh api, dan tambahan pula
kerusakan yang disebabkan pada instalasi listrik karena api sering ditujukan ke
busur api (arcing) antara konduktor, karena kerusakan isolasi, dengan demikian
diambil kesimpulan yang tentunya salah besar, bahwa terjadinya kebakaran asal
mulanya dari listrik. Dari statistik DKI
penyebab utama kebakaran selama periode Januari - September 1998 adalah listrik
(48%) dan obyek yang banyak terbakar adalah perumahan (di Perancis
gedung-gedung perkantoran). Kejadian-kejadian dari kebakaran tersebut di atas
ini dapat dikurangi hanya dengan mendidik pemakai dan tak dapat dihalangi
dengan persediaan peraturan untuk instalasi listrik dan persediaan peralatan
canggih. Tetapi kerusakan dalam instalasi dapat dan mengakibatkan kebakaran dan
dalam tulisan ini ditinjau apa penyebab kebakaran dan bagaimana dapat dicegah
dengan perencanaan dan seleksi pemasangan peralatan untuk instalasi listrik.
B.
FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN
2.
Kecerobohan
manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan api
di perkemahan.
3.
Aktivitas
vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung
berapi.
4.
Tindakan
yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan
pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5.
Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
C. TANDA – TANDA KEBAKARAN
1.
Muncul bau benda terbakar masuk ke ruang kabin
terkadang disertai asap.
2.
Segera menepikan kendaraan di posisi yang aman dan
kosong, matikan mesin.
3.
Sebelum keluar dari mobil, tarik tuas pembuka kap
mesin. Kemudian ambil barang-barang penting seperti ponsel, STNK (ada yang
biasa meletakkannya di balik penghalau matahari di atas kaca depan), dan
terpenting—kalau tersedia tabung pemadam.
4.
Arahkan pemadam api lewat celah kap mesin (jika sudah
menyemburkan api). Jangan sekali-sekali mencoba membuka kap mesin lebar-lebar
karena masuknya udara segar akan membuat api membesar seketika.
5.
Jika api membesar, jangan coba memadamkannya sendiri.
Cari bantuan, telepon polisi atau pemadam kebakaran.
6.
Jangan berada dekat mobil, mengingat ledakan yang
mungkin terjadi.
7.
Memadamkan api dengan air tak ada gunanya.
D. DAERAH RAWAN KEBAKARAN
1.
Daerah pemukiman padat penduduk dengan tingkat
kerapatan antar bangunan yang tinggi. Dearah seperti ini dapat dijumpai di
pemukiman-pemukiman kumuh seperti di Jakarta. Bahan bangunan yang masih semi
permanen dan instalasi listrik yang tidak teratur semakin memperbesar potensi terjadinya
kebakaran besar. Selain itu sulitnya mencari sumber air dan jauh dari hydrant
menyebabkan sulitnya pemadaman apabila terjadi kebakaran.
2.
Di daerah hutan dan lahan gambut khususnya di
Kalimantan dan Sumatera. Hutan-hutan tropis basah yang belum terganggu (masih
asli) umumnya tahan terhadap kebakaran hutan dan kemungkinan akan mengalami
kebakaran hanya jika terjadi musim kemarau berkepanjangan. Namun maraknya
pembalakan hutan akhir-akhir ini yang menyebabkan degradasi pada hutan mebuat
hutan jauh lebih rentan terhadap kebakaran. Ditambah lagi dengan adanya
lahan-lahan gambut yang sangat mudah terbakar mengakibatkan api dengan sangat
mdah menjalar.
3.
Daerah pertokoan atau pasar biasanya antara satu dengan
lainnya hanya dipisahkan oleh sekat sehingga sangat rapat dan apabila terjadi
kebakaran sangat mudah menjalar. Misalnya saja di daerah pertokoan seperti
Tanah Abang, Malioboro, dsb.
4.
Daerah dengan banyak bangunan vertical atau
gedung-gedung bertingkat juga sangat rentan terjadi kebakaran. Pada gedung
bertingkat api dapat menjalar dengan cepat ke bengunan-bangunan di atasnya
ditambah lagi dengan banyaknya instalasi listrik yang dipakai terutama di
perkantoran.
5.
Daerah pertambangan dengan hasil tambang berupa bahan
yang mudah terbakar seperti batubara, minyak bumi, dsb. Di tempat seperti ini
apabila ada percikan api sedikit saja akan sangat mudah memicu kebakaran.
BAB III
SAAT BENCANA KEBAKARAN
Hal-hal yang harus dilakukan
saat terjadi kebakaran, diantaranya:
A. PEMADAMAN DARI DARAT
1.
Pengerahan dan pelibatan berbagai pihak
dalam kegiatan pemadaman kebakaran.
Saat ini keterlibatan berbagai pihak dalam pemadaman
kebakaran hutan dan lahan masih minim. Contohnya, saat pemadaman kebakaran di
Kalimantan Tengah (Kalteng) pada tanggal 17 Agustus 2006, Tim WWF melihat tidak
ada keterlibatan pihak lain, selain Manggala Agni dari BKSDA Kalteng, yang
memadamkan kebakaran lahan gambut di pinggir kota Palangkaraya. Padahal, dalam
organisasi Pusdalkarhutla terdapat unsur Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan,
TNI, Polri, dan unsur masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting,
karena mereka yang langsung berada di lokasi kebakaran.
2.
Instalasi dan Penempatan Peralatan Pemadam
di Lokasi yang Rawan Kebakaran
Saat ini, kebanyakan peralatan pemadam kebakaran
dikonsentrasikan di kantor/posko yang berada di kota provinsi/kabupaten.
Sehingga pada saat diperlukan untuk pemadaman, mobilisasi alat menjadi kendala.
Selain itu, pada daerah-daerah yang diidentifikasikan rawan kebakaran, jarang
terdapat sarana penampung air, semisal embung-embung air. Instalasi dan
penempatan peralatan/sarana harus sudah dilakukan sebelum kebakaran.
3.
Mencari subsitusi air untuk pemadaman
kebakaran
Air merupakan unsur yang terpenting dalam pemadaman
kebakaran. Namun, tidak semua lokasi kebakaran terdapat sumber mata air,
sehingga harus dicari pengganti air yang dapat digunakan untuk mematikan api.
Materi yang dapat digunakan antara lain, tanah, pasir, dan batang pohon
basah/segar yang ditumbangkan. Substitusi air hanya dapat dilakukan untuk
kebakaran permukaan. Untuk kebakaran tanah gambut, mutlak diperlukan air.
4.
Pemilihan Metode Pemadaman tepat.
Terdapat beberapa metode pemadaman kebakaran hutan
dan lahan. Saat ini kebanyakan metode yang digunakan adalah pemadaman
api/kebakaran secara langsung, padahal tidak semua jenis kebakaran dapat
ditanggulangi dengan pemadaman langsung. Pemadaman langsung dapat dilakukan
apabila kebakaran belum meluas dan jumlah regu pemadam memadai. Namun, apabila
kebakaran sudah terjadi pada skala luas, pemadaman langsung tidak efektif, maka
harus dicari metode lainnya. Metode yang efektif untuk kebakaran yang sudah
meluas adalah melokalisir kebakaran. Konsepnya adalah mengorbankan areal yang
sudah pasti terbakar dengan menyelematkan areal lainnya yang lebih luas.
B. PEMADAMAN DARI UDARA
1.
Hujan Buatan
Hujan adalah cara terbaik dan paling efektif untuk
memadamkan kebakaran. Sayangnya hujan secara alami terjadi pada musimnya.
Kebakaran hutan dan lahan biasanya terjadi pada musim kemarau, sehingga sangat
sulit mengharapkan bantuan hujan untuk pemadamanya. Cara yang bisa bisa
ditempuh adalah mengadakan hujan buatan. Meski demikian, hujan buatan dapat
diselenggarakan apabila kondisi awannya memungkinkan. Dari beberapa kejadian
kebakaran, hujan buatan terbukti cukup signifikan mengurangi kebakaran dan
dampaknya.
2.
Pengeboman Air (Pemadaman Menggunakan
Pesawat)
Pemadaman kebakaran menggunakan pesawat dapat efektif
kalau sumber air tersedia dan kapasitas angkut pesawat memadai. Dari beberapa
upaya pengeboman air, seperti di Riau dan Kalimantan Tengah, efektifitasnya
masih rendah, karena daya angkut air pesawat kecil (300-500 liter), sehingga
pada tingkat kebakaran yang besar, tidak dapat dipadamkan secara signifikan.
BAB IV
PASCA BENCANA KEBAKARAN
A. DAMPAK KEBAKARAN
1.
Dampak Terhadap
Bidang Sosial, Budaya dan Ekonomi
a.
Hilangnya mata pencaharian
masyarakat
Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan
hidupnya dari daerah yang terbakar tidak mampu lagi melakukan aktivitasnya.
Asap yang ditimbulkan dari kebakaran mengganggu aktivitas mereka yang secara
otomatis juga ikut mempengaruhi turunnya penghasilan.
b.
Terganggunya aktivitas
sehari-hari
Adanya asap kebakaran secara otomatis mengganggu
aktivitas yang dilakukan manusia sehari- hari. Misalnya pada pagi hari sebagian
orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari
menembus udara yang penuh dengan asap.
c.
Peningkatan jumlah Hama
Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila
keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Kebakaran yang
terjadi akan memaksa hewan- hewan yang ada di hutan keluar dari hutan dan
mencari habitat baru seperti komunitas manusia dengan merusak proses produksi
manusia yang dilaluinya.
d.
Terganggunya kesehatan
Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi
penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan.
Gejalanya ditandai dengan sesak di dada dan mata agak berair.
e.
Produktivitas menurun
Munculnya asap juga menghalangi produktivitas
manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari
dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu
kerja pun berkurang.
2.
Dampak Terhadap
Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
a.
Hilangnya sejumlah spesies
Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan
berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa
lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan
sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru.
b.
Ancaman erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng- lereng pegunungan
ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi
menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan
turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah akibat terbakar
menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial
sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
c.
Perubahan fungsi
pemanfaatan dan peruntukan lahan
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki
banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai
mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan
planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga
hilang. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan
baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.
d.
Penurunan kualitas air
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan
menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih
diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak
lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh
butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai yang ada akibatnya
sungai menjadi sedikit keruh.
e.
Terganggunya ekosistem
terumbu karang
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih
disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus
dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa
spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.
f.
Menurunnya devisa Negara
g.
Turunnya produktivitas secara
otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi
pendapatan negara.
h. Sedimentasi
di aliran sungai
Tebalnya
lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai.
Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang
terus menerus.
3.
Dampak
Terhadap Hubungan Antar Negara
Asap
yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas
administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga
sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di
negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu
dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar
kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya
tidak semakin tebal.
4.
Dampak
terhadap Perhubungan dan Pariwisata
Tebalnya
asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat
tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat
tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan
orang untuk berada di temapt yang dipenuh
B. SOLUSI BENCANA KEBAKARAN
Berdasarkan
akar permasalahan (penyebab tidak langsung) yang memicu terjadinya kebakaran
hutan dan lahan di Kalsel maka dapat diusulkan solusinya sebagai berikut.
a.
kepastian tentang tata guna tanah yang tepat sesuai
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang disusun secara partisipatif
sangat perlu untuk dilakukan. Konversi hutan alam menjadi bentuk tutupan lahan
yang lain perlu dihindari.
b.
melaksanakan program pemberdayaan masyarakat lokal. Hal
ini perlu dilakukan sehingga masyarakat lokal dapat berfungsi secara sosial,
ekonomi dan politik. Hal ini memerlukan adanya:
1.
akses dan produksi informasi tentang teknik, manajemen
dan kelembagaan rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan bagi masyarakat
local
2.
pengakuan atas pengetahuan dan ketrampilan yang
dihasilkan dan dikembangkan masyarakat local
3.
koordinasi antar sektor pembangunan yang menyentuh
masyarakat local
4.
pelaksanaan dialog yang setara antar para pihak (aparat
pemerintah, pihak swasta dan masyarakat lokal)
5.
kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang
kondusif
6.
kesadaran para pihak yang berdialog untuk menggunakan
kerangka pandang yang bebas prasangka
7.
fleksibilitas dalam rencana pengendalian kebakaran
hutan dan lahan yang mencakup teknis pelaksanaan, penganggaran dan skala
kegiatan, sehingga dapat mengakomodasi dan mendukung inovasi program yang mucul
sebagai hasil dialog.
8.
upaya pengendalian kebakaran di Kalsel akan lebih baik
diarahkan untuk pencegahan daripada usaha pemadaman kebakaran. Lebih khusus
lagi, usaha ini diarahkan untuk kegiatan pengelolaan bahan bakar. Pencegahan
meliputi pekerjaan yang bertujuan agar api liar tidak terjadi. Pencegahan
meliputi: pembuatan peraturan perundangan, penyuluhan dan pengurangan bahan
bakar. Pengelolaan bahan bakar adalah kegiatan untuk memanipulasi bahan bakar
yang terdiri atas 3 kegiatan, yakni: menghilangkan bahan bakar, mengurangi
bahan bakar dan memotong atau meblokkir bahan bakar.
9.
rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada
tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota sampai pada unit pengelolaan lahan
perlu segera dibuat dan dilaksanakan. Rencana pengendalian kebakaran hutan dan
lahan merupakan rencana operasional yang berisikan tentang:
10.
kebijakan dan tujuan pencegahan/pengendalian kebakaran
hutan dan lahan
11.
areal yang akan dilindungi yang menjelaskan tentang
luas dan cakupan areal kerja, tipe-tipe penggunaan lahan pada areal kerja dan
prioritas areal yang dilindungi apabila terjadi kebakaran. Hal ini penting
dilakukan mengingat keterbatasan dana dan tenaga
12.
tipe dan muatan bahan bakar. Informasi ini berguna
untuk memprediksi tingkat bahaya kebakaran, intensitas api, kecepatan
penjalaran api dan untuk menentukan jumlah personil serta peralatan pemadaman
yang akan digunakan
13.
organisasi dan personil regu pemadam yang menjelaskan
tentang susunan organisasi, tanggungjawab, tugas serta prosedur kerja baik pada
saat terjadi kebakaran maupun pada saat lain di luar musim kebakaran
14.
rencana pencegahan yang berisi tentang perundangan yang
berlaku, kampanye pencegahan, pemasangan papan-papan peringatan, penyuluhan dan
penerangan
15.
reduksi bahan bakar yang berisi metode pengurangan
bahan bakar baik muatan maupun tinggi bahan bakar. Hal ini dilakukan agar bila
terjadi kebakaran api tidak membesar dan dapat dikendalikan denga peralatan
yang ada
16.
sistem pengukuran tingkat bahaya kebakaran
17.
rencana deteksi kebakaran yang berisi metode deteksi,
sistem pelaporan, frekuensi deteksi, tata waktu dan sistem komunikasi
18.
rencana pemadaman yang berisi taktik, teknik pemadaman,
susunan personil, peralatan dan mobilisasi
19.
sistem peringatan dan komunikasi
20.
personil bantuan yang berisi tentang personil bantuan
bila diperlukan seperti BPK, masyarakat lokal, LSM, volunterr
21.
peralatan pemadaman yang berisi peralatan yang telah
ada, pemeliharaan, operasional dan rencana pengadaan peralatan yang diperlukan
22.
logistic
23.
peta api
24.
pelaporan.
Untuk mengatasi ini semua perlu kiranya mengembangkan
manajemen pengendalian kebakaran hutan. Menurut Stanely Vance, manajemen adalah
proses pengembilan keputusan dan pengendalian terhadap tindakan-tindakan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. untuk
mengatasi kebakaran hutan tersebut perlu dilakukan ialah:
a.
Perencanaan (Planning)
Menentukan sasaran yang ingin dicapai dengan
jelas dan strategis yang diperlukan dalam upaya mengatasi kebakaran hutan.
Dalam upaya ini harus ada perencanaan strategik yang bersifat jangka panjang,
bukan bersifat reaktif di mana ketika kebakaran hutan terjadi baru ada upaya
pemanadaman. Harus ada peta atau base wilayah yang menjadi rawan kebakaran
hutan. Sehingga dengan mudah melakukan pendeteksian dini terhadap kebakran
hutan yang akan terjadi. Perencanaan ini juga bertujuan agar pelaksanaan
dilapangan dapat berjalan dengan baik, sistematis dan tidak ada tumpang tindih
tanggungjawab.
b.
Pengeorganisasian (Organizing)
Keseluruhan proses pengelompokan
instansi-instansi, tugas dan tanggungjawab sehingga tercipta suatu organisasi
yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan dalam upaya pencagahan kebakaran
hutan. Posisi masyarakat, LSM, perusahaan, pemerintah dan instansi lainnya
harus perlu adanya koordinasi sehingga masing-masing dapat melaksanakan tugas
dan tanggungjawab dengan baik tanpa adanya saling lempar tanggungjawab.
c.
Penggerakan pengarahan (Actuating)\
Tindakan untuk menggerakkan semua komponen yang
ada yang telah ditentukan fungsinya masing-masing untuk bekerja secara
makasimal mencagah atau memadamkan kebakaran hutan sesuai dengan tujuan yang
telah direncanakan. Merupakan penyatuan dari semua usaha dan penciptaan
kerjasama dari pemerintah, LSM, perusahaan perkebunan, HTI, HPH dan instansi
terkait, sehingga tujuan dapat dicapai dengan efesien dan efektif.
d.
Pengawasan (Controlling)
Dilakukan untuk mengukur hasil kegiatan yang
telah dilaksanakan dan menghindari tindakan di luar prosedur yang telah
ditentukan. Jika ada kekuarangan atau kesalahan di dalam upaya penanggunlanan
kebakaran hutan maka dapat dilakukan perbaikan untuk mencapai hasil yang
maksimal. Pengawasan yang ketat disemua tingkatan dan penerapan sanksi hukum
yang tegas kepada semua komponen yang terbukti tidak mampu menjalankan tugas
atau tanggungjawab dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan.
C. MITIGASI BENCANA KEBAKARAN
Mitigasi
adalah salah satu hubungan positif antara dampak bencana-bencana dan
pembangunan. Kebakaran
adalah api yang tak terkendali. Mitigasi bencana kebakaran adalah salah satu upaya agar bahaya
kebakaran tidak terjadi. Pengananan bahaya kebakaran adalah segala upaya pencegahan,
peringatan dini, mitigasi, dan kesiapsiagaan ketika sebelum terjadi kebakaran,
penanganan darurat melalui memadamkan api yang tak terkendali, pencarian,
pertolongan, penyelamatan korban maupun harta benda dan pemberian bantuan pada
saat terjadi kebakaran, serta pengungsian, pemulihan mental, rehabilitasi dan rekontruksi
sarana/prasarana/fasilitas fisik sosial/umum ketika sesudah terjadi kebakaran.
Penanganan
pengungsi adalah upaya yang ditujukan kepada pengungsi akibat kebakaran yang meliputi langkah-langkah
penyelamatan, evakuasi, perlindungan, pemberian bantuan darurat, pemulihan
mental, rehabilitasi dan rekontruksi sarana atau prasarana atau fasilitas
fisik sosial atau umum, pengembalian/pemulangan/pemindahan tempat kehidupan
(Relokasi), serta Rekonsilidasi/Normalisasi sosial.
Tanggap
darurat adalah segala upaya yang dilaksanakan secara terencana, terkoordinasi,
dan terpadu pada kondisi darurat dalam waktu relaltif singkat dengan tujuan
untuk menolong dan menyelamatkan jiwa juga harta benda beserta lingkungannya
sebagai akibat kebakaran.
Rehabilitasi/Rekontruksi
adalah segala upaya yang dilakukan agar kerusakan sarana/prasarana fasilitas
fisik sosial/umum akibat kebakaran dapat berfungsi kembali. Pemulihan adalah
segala upaya yang dilakukan agar trauma mental /psikis/pikiran manusia dan masyarakat akibat kebakaran dapat pulih
kembali. Relokasi
adalah suatu upaya untuk menempatkan/memukimkan kembali para pengungsi dari
tempat penampungan sementara ke tempat
asal atau tempat/lokasi baru.
1.
Upaya Mitigasi Bencana Kebakaran
Dalam menghadapi
berbagai jenis bencana kebakaran yang terjadi, maka dilakukan upaya mitigasi
dengan prinsip-prinsip bahwa :
a.
Bencana adalah titik awal upaya mitigasi bagi bencana
serupa berikutnya.
b.
Upaya mitigasi itu sangat kompleks, saling ketergantungan dan melibatkan
banyak pihak.
c.
Upaya mitigasi aktif lebih efektif dibandingkan upaya
mitigasi pasif.
d.
Sumber daya terbatas, maka prioritas harus diberikan
kepada kelompok rentan.
e.
Upaya mitigasi memerlukan pemantauan dan evaluasi yang
terus menerus untuk mengetahui perubahan situasi.
2.
Sedangkan
strategi bencana kebakaran dapat dilakukan antara lain dengan :
a.
Mengintegrasikan mitigasi bencana kebakaran dalam
program pembangunan yang lebih besar.
b.
Pemilihan upaya mitigasi harus
didasarkan atas biaya dan manfaat.
c.
Agar diterima masyarakat, mitigasi harus
menunjukan hasil yang segera tampak.
d.
Upaya mitigasi harus dimulai dari yang
mudah dilaksanakan segera setelah bencana kebakaran terjadi.
e.
Mitigasi dilakukan dengan cara
meingkatkan kemampuan lokal
dalam manajemen dan perencanaan.
3.
Langkah-Langkah Mitigasi Bencana
Kebakaran
a.
Pastikan agar semua pintu keluar bebas
dari bahan-bahan mudah terbakar.
b.
Jangan biarkan sampah menumpuk.
c.
Gunakan wadah yang tepat untuk menyimpan
atau menuangkan bahan cair mudah terbakar.
d.
Simpan cairan mudah terbakar ditempat
aman dari sumber nyala api.
e.
Pastikan kabel dan peralatan listrik
tidak rusak.
f.
Jangan memberi beban lebih pada sirkuit
listrik.
g.
Jangan menempatkan alat pemadam telah terpakai
pada tempatnya, segera kirim alat pemadam api tersebut untuk diisi ulang.
h.
Untuk mengatasi kebakaran, pasanglah
cukup alat-alat pemadam api yang paling sesuai, pastikan alat pemadam
ditempatkan secara tepat dan terpasang sesuai dengan Standar Australia 2444
atau berdasarkan peraturan tentang kebakaran dan bangunan setempat. Selain itu, dilakukan pemasangan hidran pada
gedung-gedung bertingkat tinggi.
i.
Rawat dan periksa semua peralatan dan
perlengkapan pemadam kebakaran, alat-alat pemadam kebakaran dan hose reels
secara teratur berdasarkan Standar Australia 1851 atau peraturan tentang kebakaran dan peraturan
bangunan setempat
4.
Sedangkan utuk mitigasi
bencana
kebakaran
hutan,
langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu
a.
Peningkatan masyarakat peduli api.
b.
Peningkatan penegakan hukum, misalnya bagi para penebang hutan liar.
c.
Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran
khususnya untuk penanganan kebakaran secara dini.
d.
Pembuatan waduk di daerahnya untuk
pemadaman api.
e.
Pembuatan skat bakar, terutama antara
lahan, perkebunan, pertanian dengan hutan.
f.
Hindarkan pembukaan lahan dengan cara
pembakaran.
g.
Hindarkan penanaman tanaman sejenis
untuk daerah yang luas.
h.
Melakukan pengawasan pembakaran lahan secara ketat.
i.
Melakukan penanaman kembali daerah yang
telah terbakar dengan tanaman yang heterogen
j.
Partisipasi aktif dalam pemadaman awal
kebakaran di daerahnya.
k.
Pengembangan teknologi pembukaan lahan
tanpa membakar (pembuatan kompos, briket arang dll).
l.
Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran hutan
dan lahan.
m. Penyediaan dana tanggap darurat
untuk penanggulangan kebakaran lahan dan hutan.
n.
Pengelolaan bahan bakar secara intensif untuk
menghindari kebakaran yang lebih luas.
5.
Pengorganisasian Pengelolaan Bencana:
a.
Pembentukan kelompok-kelompok yang akan
menjadi kelompok kerja pengelola bencana dengan tugas pokok adalah memberi
peringatan dini bila terjadi bencana dan mengkoordinir warga dalam proses
penyelamatan.
b.
Dilaksanakan pelatihan tanggap bencana
untuk kelompok -kelompok
yang telah terbentuk supaya memiliki kesiapsiagaan dalam penyelamatan saat
terjadi bencana dan paska bencana.
6.
Contoh
Rencana Mitigasi Bencana
Skenario Penyelamatan Bencana
Area Penyelamatan:
a.
Balai
Desa Panggungharjo
b.
Lapangan
Prancak, Lapangan Krapyak, Lapangan Kweni, Lapangan Glugo.
Arah dan Jalur Penyelamatan:
a.
Balai Desa Panggungharjo yang kurang lebih sekitar 2.500 m²,
bisa menampung sekitar 7.000 jiwa ketika terjadi bencana. , direncanakan untuk
tempat penampungan ketika terjadi bencana untuk warga Pedukuhan Pelemsewu,
Sawit, Kweni, Jaranan.
b.
Lapangan Prancak, direncanakan
untuk tempat penampungan ketika terjadi bencana untuk sebagian warga
Pedukuhan Glondong, Geneng, Pandes, Ngireng-ireng.
c.
Lapangan Ngireng-ireng direncanakan untuk tempat penampungan
ketika terjadi bencana untuk sebagian warga Pedukuhan Garon, Cabeyan.
d.
Lapangan Krapyak direncanakan untuk tempat penampungan
ketika terjadi bencana untuk sebagian warga Pedukuhan Krapyak Wetan,
Glugo.
e.
Lapangan Glugo direncanakan untuk tempat penampungan
ketika terjadi bencana untuk sebagian warga Pedukuhan Glugo, Dongkelan,
Krapyak Kulon.
f.
Lapangan Kweni direncanakan untuk tempat penampungan
ketika terjadi bencana untuk sebagian warga Pedukuhan Kweni.
BAB
V
PENUTUP
Kebakaran adalah bahaya yang nyata yang timbul karena
pemakaian listrik. Kebakaran menyebabkan kehilangan nyawa dan tak hanya
meliputi seseorang saja, tetapi dapat terjadi di tempat-tempat di mana banyak
manusia berkumpul, seperti pabrik, pusat perbelanjaan dan sebagainya. Sebab
terjadinya kebakaran: Sambaran petir, Kecerobohan manusia,
Aktivitas vulkanis, Tindakan yang disengaja, dan Kebakaran di bawah tanah. Tanda-
tanda terjainya kebakaran adalah Muncul bau benda terbakar masuk ke ruang kabin
terkadang disertai asap. Daerah yang rawan kebakaran adala: Daerah pemukiman
padat penduduk, Di daerah hutan dan lahan gambut, Daerah pertokoan atau pasar,
Daerah dengan banyak bangunan vertical, dan Daerah pertambangan.
Yang harus dilakukan ketikla kebakaran adalah: Segera
menepikan kendaraan di posisi yang aman dan kosong, matikan mesin, Sebelum
keluar dari mobil, tarik tuas pembuka kap mesin. Kemudian ambil barang-barang
penting seperti ponsel, STNK (ada yang biasa meletakkannya di balik penghalau
matahari di atas kaca depan), dan terpenting kalau tersedia tabung pemadam,
Arahkan pemadam api lewat celah kap mesin (jika sudah menyemburkan api). Jangan
sekali-sekali mencoba membuka kap mesin lebar-lebar karena masuknya udara segar
akan membuat api membesar seketika, Jika api membesar, jangan coba
memadamkannya sendiri. Cari bantuan, telepon polisi atau pemadam kebakaran,
Jangan berada dekat mobil, mengingat ledakan yang mungkin terjadi.
Dampak kebakaran: Dampak Terhadap Bidang
Sosial, Budaya dan Ekonomi, Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan
Lingkungan, Dampak Terhadap Hubungan Antar Negara, Dampak terhadap
Perhubungan dan Pariwisata. untuk
mengatasi kebakaran hutan tersebut perlu dilakukan ialah: Perencanaan (Planning), Pengeorganisasian
(Organizing), Penggerakan pengarahan
(Actuating), dan Pengawasan (Controlling).
Mitigasi bencana kebakaran adalah salah satu upaya agar bahaya kebakaran tidak
terjadi. Pengananan
bahaya kebakaran adalah segala upaya pencegahan, peringatan dini, mitigasi, dan
kesiapsiagaan ketika sebelum terjadi kebakaran, penanganan darurat melalui
memadamkan api yang tak terkendali, pencarian, pertolongan, penyelamatan korban
maupun harta benda dan pemberian bantuan pada saat terjadi kebakaran, serta
pengungsian, pemulihan
mental, rehabilitasi dan rekontruksi sarana/prasarana/fasilitas fisik sosial/umum
ketika sesudah terjadi kebakaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Barber,
C.V. & Schweithelm, J. (2000). Trial
by fire. Forest fires and forestry policy in Indonesia's era of crisis
andreform. World Resources Institute (WRI), Forest Frontiers Initiative. In
collaboration with WWF-Indonesia and Telapak
Indonesia Foundation, Washington D.C, USA.
Bureau
of Statistic Tumbang Titi sub-district (1999). Tumbang Titi in Figure, 1999. Biro Pusat Statistik (BPS) Province, Ketapang, Indonesia.
Dennis,
R.A. (1999). A review of fire projects in
Indonesia 1982 - 1998. Center for International Forestry Research, Bogor.