Makalah Kenakalan Remaja
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KENAKALAN REMAJA
Kenakalan
remaja ( Juvenile Delinquency) ialah kejahatan / kenakalan yang dilakuakan oleh
anak – anak muda, yang merupakan gejala sakit (Patologis) secara sosial pada
anak – anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Juvenile
berasal dari bahasa latin “Juvenilis”, artinya anak – anak, anak muda, cirri
karakteristik pada masa muda, sifat khas pada periode remaja. Delinquent
berasal dari bahasa latin yaitu “delinquere”,yang berarti terabaikan, yang
kemudian diperluas menjadi jahat, a-sosial, criminal, pelanggaran aturan,
pembuat rebut, pengacau, dll.
Pengaruh
sosial dan cultural memainkan peran yang besar dalam pembentukan atau
pengkondisian tingkah laku criminal anak – anka remaja. Perilaku anak – anak
remaja ini menunjukkan tanda – tanda kurang atau tidak adanya konformitas
terhadap norma – norma sosial, mayoritas kenakalan remaja berusia 21 tahun.
Angka tertinggi tindakan kejahatan ada pada usia 15 – 19 tahun, dan sesudah
umur 22 tahun kasus kejahatan yang dilakukan oleh remaja akan menurun.
B. TEORI-TEORI TERKAIT DALAM KENAKALAN
REMAJA
Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kenakalan remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh karena itu, lebih cenderung
melihat kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dari sisi
penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori
utama yang dapat menjelaskan fenomena ini yaitu:
struktural fungsional terutama anomie dari Durkheim dan
Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi
dari Sutherland, dan power-conflict terutama dari Young dan Foucault.
(a)
Struktural Fungsional
Struktural
fungsional melihat penyimpangan
terjadi karena pembentukan normal dan nilai-nilai yang
dipaksakan oleh institusi dalam masyarakat. Penyimpangan
dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun
terjadi ketika pemaksaan atas seperangkat aturan main,
tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok
orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana
dapat dikatakan sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai,
atau hukum.
(b)
Interaksi Simbolik
Dalam
pandangan interaksi simbolik, penyimpanan datang dari individu yang mempelajari perilaku
meyimpang dari orang lain. Dalam hal ini, individu tersebut
dapat mempelajari langsung dari penyimpang lainnya atau
membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan
yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan
mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan
bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari
tindakan tersebut dan perilaku menyimpang dari pihak lain,
bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami. Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai tindakan atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar datang dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan menggunakan komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu,
dan tindakan ini dilakukan karena dianggap lebih menyenangkan
ketimbang perilaku lainnya.
(c)
Power-Conflict
Satu
hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan
atas pandangan Marx, Teori ini melihat adanya manifestasi
power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya
yang kemudian berkonflik dengan individu. Selain itu, dunia
modern dapat dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan
namun sangat takut terhadap konflik sosial, meskipun
demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpang
di antara mereka.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan
remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang
berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan
yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, Merton
membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:
1.
‘Conformity’
atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan
cara-caranya ‘benar dalam masyarakat’
2.
‘Innovation’
atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara yang dipergunakannya tidak
sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.
3.
‘Ritualism’ atau
individu yang salah secara tujuan namun
cara-cara yang dipergunakannya dapat dibenarkan.
4.
‘Retreatism’
atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.
5.
‘Rebellion’
atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara
yang diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-tujuan dan
cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat
baik dalam
melihat perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak
kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton,
Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’,
di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya untuk
memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi
motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan
cita-citanya. Merton melihat adanya kesenjangan antara
apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya
dengan apa yang sesungguhnya dicapai oleh warga masyarakat.
Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memberikan
kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah
sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka,
maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak
sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut. Merton
mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh
mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang,
seperti pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk
berat.
Tentu saja kasus yang dicontohkan oleh Merton pun
dapat dipergunakan dalam melihat kasus kenakalan remaja di Indonesia. Kenakalan remaja sebagai bentuk perilaku menyimpang dapat dilihat sebagai keterputusan antara remaja sebagai individu dengan
norma dan cara-cara yang diinginkan dalam masyarakat. Keterputusan ini menyebabkan sebagian remaja untuk bertindak dengan melakukan berbagai tindak kriminal. Terlepas apakah ‘the
American Dream’ sama dengan ‘the Indonesian Dream’, namun
tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja merupakan cara
yang digunakan oleh remaja untuk mencapai cita-cita yang mereka
inginkan yang boleh jadi tidak dapat mereka capai. Jika melihat
derajat adaptasi yang dilakukan oleh remaja, boleh jadi mereka
berada pada tahap ‘retreatism’ atau ‘rebellion’ yakni dengan
menciptakan seperangkan tujuan dan aturan main yang benar-
benar baru ketimbang yang berkembang secara umum di masyarakat.
Meskipun demikian, tentu saja terdapat satu aspek
lain yang harus
diperhatikan ketika melihat kenakalan remaja sebagai bentuk
perilaku menyimpang, yakni perbuatan tersebut tetap ada dan
berlangsung hingga saat ini karena perbuatan ternyata fungsional,
setidaknya bagi sebagian pihak. Tindakan kriminal yang dilakukan
oleh remaja boleh jadi merupakan fungsi manifes dari adanya
integrasi dalam masyarakat. Secara umum, perilaku menyimpang
memiliki fungsi tersendiri dalam masyarakat, di antaranya:
(1) menegaskan nilai-nilai kultural dan norma-norma yang
ada di masyarakat, (2) menciptakan kesatuan sosial dengan menciptakan dikotomi ‘kami’ dan ‘mereka’, (3) mengklarifikasi batasan-batasan moral, (4) perilaku menyimpang boleh jadi merupakan pernyataan sikap individu yang menentang terhadap tujuan dan norma dalam kelompok.
Kenakalan remaja berupa penyimpangan sosial
merupakan gambaran
betapa struktur sosial menguasai aktor, di mana struktur
sosial yang ada justru mendorong para remaja untuk bertindak
dengan melakukan tindakan kriminal. Dalam hal ini, ‘mind’
menjadi bagian intergral dalam masyarakat, di mana ‘mind’ menjadikan seperangkan nilai, norma dan tujuan yang ada di masyarakat sebagai aturan main bagi semua anggota masyarakat. Dengan menjadikan struktur sebagai bagian utama, dan mind sebagai bagian integral, maka setiap anggota masyarakat diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan hal itu, dan mereka yang ‘gagal’ untuk beradaptasi adalah mereka yang kemudian dikatakan sebagai penyimpang, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang melakukan tindakan kriminal.
C.
SEBAB – AKIBAT TERJADINYA KENAKALAN
REMAJA
Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja
berupa tindakan
kriminal boleh jadi membuat kita berpikir ulang mengenai integrasi
dalam masyarakat. Alih-alih menjadi tertuduh utama, sebagaimana
yang dituduhkan dalam media massa, kenakalan remaja
berupa tindak kriminal justru memberikan pengaruh yang besar
dalam masyarakat, meskipun pengaruh mereka tidak lah diinginkan
(unintended). Adanya kriminalitas di kalangan remaja pun
mendorong kita bertanya penyebab terjadinya tindakan tersebut.
Kenakalan remaja boleh jadi berkaitan erat dengan
hormon pertumbuhan
yang fluktuatif sehingga menyebabkan perilaku remaja
sulit diprediksi, namun ini bukan lah jawaban yang dapat menjadi
justifikasi atas perilaku remaja. Rasanya angapan bahwa hormon berpengaruh
sangat besar agak dilebih-lebihkan, nampaknya ada faktor
lain yang menyebabkan mengapa angka kriminalitas di
kalangan remaja menjadi sangat tinggi dan perbuatan
kriminalitas tersebut dianggap sangat meresahkan masyarakat
secara luas.
Salah satu tuduhan mengenai tingginya angka
kriminalitas remaja
atau lebih tepatnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya
kelurga dan/atau ketidakberfungsian sosial masyarakat. Keluarga di anggap gagal dalam mendidik
remaja sehingga menyebabkan mereka melakukan tindakan
penyimpangan yang berujung dengan diberikannya sanksi sosial
oleh masyarakat. Alih alih tertib, sanksi yang diberikan justru
menjadikan remaja menjadi lebih sulit diatur. Dan hal ini pula yang menyebabkan masyarakat di anggap gagal dalam melakukan tindakan pencegahan atas terjadinya perilaku menyimpang tersebut. Keluarga memegang peranan yang penting, dan hal ini diakui oleh banyak pihak. Keluarga merupakan elemen
penting dalam melakukan sosialisasi nilai, norma, dan
tujuan-tujuan yang disepakati dalam masyarakat, dan
tingginya angka kriminalitas remaja sebagai konsekuensi
dari tidak berjalannya aturan dan norma yang berlaku di
masyarakat dianggap sebagai kesalahan keluarga. Jika melihat dari sisi teoritis, tentu saja bukan hanya keluarga yang dipersalahkan, masyarakat pun dapat dipersalahkan dengan tidak ditegakkan aturan secara ketat atau membantu sosialisasi norma dan tujuan dalam masyarakat.
Salah satu faktor lainnya yang juga harus
diperhatikan adalah peer group remaja
tersebut. Teman sepermainan memegang peran penting dalam meningkatnya
angka kriminalitas di kalangan
remaja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sutherland, bahwa
tindakan kriminal bukan lah sesuatu yang alamiah namun dipelajari, hal ini lah yang menyebabkan pentingnya untuk melihat
teman sepermainan remaja tersebut.
Persoalan lain yang juga harus dihadapi, sebagaimana
yang dicetuskan
oleh Merton, mengenai kegagalan sebagian orang Amerika
untuk mencapai ‘the American Dream’, begitu pula yang terjadi
di Indonesia. Boleh jadi mereka yang melakukan tindakan kriminalitas
di kalangan remaja adalah mereka yang gagal mencapai ‘the
Indonesian dream’ sebagaimana yang selalu dimunculkan dalam
media massa. Remaja dalam media selalu dicitrakan sebagai
sosok yang ‘kelewat kaya’ sehingga gambaran tersebt
adalah hiperrealitas, realitas yang sebenarnya tidak ada dalam
masyarakat Indonesia, dan rasanya tidak berlebihan jika para
remaja ‘mengejar’ hal tersebut, hanya saja sebagian dari mereka
justru menjadi kriminal sejati untuk mencapai ‘the Indonesian
Dream’ tersebut.
Beberapa macam Kenakalan remaja, antara lain:
·
Penyalahgunaan
narkoba
·
Pergaulan bebas
·
Tawuran antara
pelajar
·
Anarkisme
·
Kekerasan di
dalam sekolah antar teman
·
Kriminalitas
remaja
·
Membolos Sekolah
D. PENYEBAB TERJADINYA KENAKALAN REMAJA
- Krisis
identitas Perubahan
biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua
bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi
dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan
ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
- Kontrol
diri yang lemah Remaja
yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat
diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku
‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah
laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk
bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
- Kurangnya
kasih sayang orang tua.
- Kurangnya
pengawasan dari orang tua.
- Pergaulan
dengan teman yang tidak sebaya atau Teman sebaya yang kurang baik
- Komunitas/lingkungan
tempat tinggal yang kurang baik.
- Peran
dari perkembangan iptek yang berdampak negatif.
- Tidak
adanya bimbingan kepribadian dari sekolah.
- Pedidikan
etika, moral dan keagamaan yang kurang optimal
- Minimnya
media penyalur bakat dan hobinya
- Kebasan
yang berlebihan
- Masalah
yang dipendam
- Masalah
Keluarga : Perceraian
orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau
perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada
remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan
anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap
eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
- Maraknya
kenakalan remaja merupakan indikasi melemahnya rasa bela negara di
kalangan generasi muda.
E. CARA MENGATASI KENAKALAN REMAJA
- Kegagalan
mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau
diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak
mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya
dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya
gagal pada tahap ini.
- Perlunya
kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal apapun.
- Adanya
pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. contohnya: kita boleh saja
membiarkan dia melakukan apa saja yang masih sewajarnya, dan apabila menurut
pengawasan kita dia telah melewati batas yang sewajarnya, kita sebagai
orangtua perlu memberitahu dia dampak dan akibat yang harus ditanggungnya
bila dia terus melakukan hal yang sudah melewati batas tersebut.
- Biarkanlah
dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda umur 2 atau 3 tahun
baik lebih tua darinya. Karena apabila kita membiarkan dia bergaul dengan
teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang gaya hidupnya sudah
pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup yang mungkin
seharusnya belum perlu dia jalani.
- Pengawasan
yang perlu dan intensif terhadap media komunikasi seperti tv, internet,
radio, handphone, dll.
- Perlunya
bimbingan kepribadian di sekolah, karena disanalah tempat anak lebih
banyak menghabiskan waktunya selain di rumah.
- Perlunya
pembelanjaran agama yang dilakukan sejak dini, seperti beribadah dan
mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan iman kepercayaannya.
- Dukungan
terhadap hobi dan inat remaja. Jangan pernah kita mencegah hobinya maupun
kesempatan mengembangkan bakat yang disukai selama bersifat Positif.
Karena dengan melarangnya dapat menggangu kepribadian dan kepercayaan
dirinya.
- Orang
tua harus menjadi tempat curhat yang nyaman untuk anak anda, sehingga anda
dapat membimbing dia ketika ia sedang menghadapi masalah.
- Adanya
motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
- Kemauan
orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang
harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
- Remaja
pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi
arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
- Remaja
membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman
sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.