BAB I
PENDAHULUAN
Ekofemisme |
- LATAR BELAKANG
Masyarakat mempunyai pandangan yang
rancu mengenai Konsep
sex (jenis kelamin) dan gender. Konsep gender yang sebenarnya merupakan peran
dan perilaku laki-laki dan perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering
kali dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang tak dapat diubah. Hal tersebut
menjadi masalah karena kekeliruan tersebut menimbulkan ketidakadilan, terutama
bagi perempuan.
Dalam membahas gender, sosiologi melihat dari teori makro
(fungsional struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro (interaksionisme
simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip konsensus dan keharmonisan
yang dianut, struktural fungsional menganggap pembagian kerja antara suami dan
istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang paling sesuai, agar dalam
kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi.
Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga, istri atau
perempuan dalam posisi yang tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual,
dan pemilikan properti. Janet Chafetz menganalisis bahwa perempuan menduduki
posisi yang rendah dalam masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis
kelamin. Sedangkan teori sistem dunia yang selama ini hanya memperhitungkan
kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap telah mengurangi kontribusi
perempuan di bidang produksi ekonomi karena mengabaikan pekerjaan perempuan
dalam rumah tangga.
Dari teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik
mengidentifikasi bahwa individu berusaha memelihara identitas gendernya di
berbagai situasi serta memahami bagaimana arti menjadi perempuan atau
laki-laki. Sementara itu, etnometodologi menganggap bahwa identitas gender
individu diperoleh melalui interaksi dalam berbagai situasi. Dengan demikian, melalui
budaya yang berbeda individu akan mengidentifikasi peran gendernya secara
berbeda sesuai dengan situasi sosial.
- RUMUSAN MASALAH
a.
Apakah
Pengertian Ekofeminisme?
b.
Bagaimana
Sejarah Munculnya Ekofeminisme?
c.
Bgaimana
Ekofeminisme di Indonesia?
- TUJUAN
a.
Memahami
Pengertian ekofeminisme
b.
Memahami
Sejarah munculnya ekofeminisme
c.
Mengetahui
Ekofeminisme di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ekofeminisme
Ekofeminisme salah satu cabang feminis
gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan
perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang
mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Dalam Ekofeminisme
perempuan ditempatkan sebagai “sosok yang lain” sejajar dengan sosok yang
lainnya yang diabaikan dalam patriarkhi seperti kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam. Budaya Patriarkhi
menyebabkan adanya dominasi terhadap perempuan, kelompok ras berwarna,
anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan menempatkan mereka sebagai subordinate
dibawah laki-laki yang mempunyai sifat yang unggul, netral, pengelola “sah”
bumi dan seisinya.
Dalam menggali keterkaitan antara penindasan
“sosok yang lain” (perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok
miskin), kerusakan alam dan dominasi patrarkhi, ekofeminisme menggunakan
pendekatan analisis gender dan lebih memfokuskan keterkaitan ini pada
penindasan perempuan, kerusakan alam serta dominasi patriarki sebagai
penyebabnya. Hal tersebut disebabkan Pertama, Ekofeminis melihat yang paling dirugikan dari kerusakan alam adalah perempuan. Kedua,
Peranan gender perempuan (sebagai pengatur dari ekonomi domestik) bertindihan
(overlap) dengan permasalahan kerusakan alam dan lingkungan. Ketiga, beberapa
ideologi barat berisikan konsep-konsep pendominasian alam oleh gender
laki-laki.
Ekofeminisme
merupakan upaya atau gerakan perempuan untuk menyelamatkan lingkungan.
Lingkungan yang rusak menyebabkan dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan
berpengaru terhadap keberlangsungan kehidupan makhluk di bumi ini, khususnya
perempuan. Sehingga perempuan merasa memiliki hak untuk turun langsung dalam
perbaikan linkungan.
B.
Sejarah
Munculnya Ekofeminisme
Pergerakan
ekofeminis yang pertama dimulai sekitar tahun 1974 oleh sekelompok perempuan di
utara India, mereka menamakan dirinya ”chipko Movement”. Mereka memprotes
penebangan hutan yang dilakukan oleh kolonial Inggris. Gerakan Chipko merupakan
manivestasi dari filsafat Gandhian Satyagrahas yang mencoba menyelamatkan dan
melestarikan hutan tradisional atau ”forest culture”. Hutan tradisional menjadi
begitu penting bagi masyarakat india karena dari dalamnya mengandung tanah, air
dan oksigen yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terutama sangat
berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup perempuan.
Alasan
yang pertama karena sebagian besar perempuan timur dalam kehidupannya sangat
bergantung pada pohon-pohonan dan hasil hutan. Tingkat ketergantungan mereka terhadap alam
sangat tinggi yaitu tercatat 60 % di 32 negara di Afrika, 80% di 18 negara di Asia dan 40% di Amerika Latin dan
kepulauan Karibia. Ketika para laki-laki
menghabiskan waktunya di ladang atau berburu, para perempuan tinggal bersama
anak-anaknya di hutan, mereka mengandalkan pohon-pohonan serta hasil hutan untuk keberlangsungan hidup mereka. Pohon-pohonan dan
hasil hutan tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka tetapi
dapat memenuhi hampir semua kebutuhan di ranah
domestik. Yang kedua, Ada sejumlah kebiasaan, hal yang tabu dan sah dan waktu yang menghambat yang dihadapi
perempuan sedang kan laki-laki tidak menghadapinya. Hal tersebut seperti
perempuan dan laki-laki memiliki akses yang berbeda
atas sebidang tanah. Di Tanzania, perempuan tidak memiliki hak sama sekali
untuk mendiami sebidang tanah, mereka harus meminta izin kepada suami mereka
atau laki-laki lain untuk mengolah sebidang tanah. Perempuan di sebagian besar
negara berkembang tidak memiliki dukungan hukum untuk berpartisipasi dan ikut
mengelola lingkungan lokal mereka.
Di
daerah rural (pedesaan), perempuan sebagai buruh upah yang sangat miskin
(menyiangi, mengangkut air dan kayu, dan melakukan pekerjaan rumah tangganya).
Mereka hidup tanpa pendidikan, status, organisasi untuk melindungi
atau hak kepemilikan tanah yang dapat menjadikan
mereka turut serta dalam pengontrolan lingkungan. Yang ketiga, pendapat dari pendatang khususnya pengelola
hutan dari barat mengenai ketidak beruntungan perempuan di dunia ketiga, sangat
berbeda. Mereka menganjurkan beberapa teknik untuk menghadapi kekurangan
pohon-pohonan. Akan tetapi hal tersebut tidaklah
benar sebab mereka hanyalah pendatang, perempuan-perempuan itu sendiri yang mengetahui bagaimana cara mempertahankan
hidupnya dalam alam dan lingkungan yang sudah ia kenal dengan baik. Sejak
produksi berskala kecil yang menjadi prioritas lokal banyak dilakukan, peranan
perempuan sangatlah penting untuk menyokong itu semua, jika kehidupan alam terancam
akibat munculnya komersialisasi perambahan hutan, maka dengan demikian
kehidupan perempuan akan terganggu dan implikasinya juga akan mengakibatkan
punahnya perempuan secara tidak langsung.
Permasalahan
lainnya yang mengancam kehidupan perempuan, adalah kekeringan atau kebanjiran.
Kekeringan dan banjir merupakan bencana alam (natural disaster) yang dapat terjadi secara alami ataupun merupakan dampak atas
kerusakan alam oleh manusia. Seperti kekeringan diakibatkan tidak adanya
cadangan air tanah atau pemerintah yang tidak membuat bendungan sebagai sarana
untuk menapung air hujan agar dapat dimanfaatkan
pada musim kemarau. Banjir dapat disebabakan karena penebangan hutan secara
liar yang mengakibatkan semakin berkurangnya tanaman yang berfungsi untuk menyerap
air dan menyimpannya dalam waktu tertentu. Dampak dari dua jenis bencana ini
sangat fatal yaitu dapat merusak ekosistem dan dapat memusnahkan seluruh makhluk hidup, tak terkecuali manusia terutama
masyarakat yang miskin yang sebagian besarnya adalah perempuan dan anak-anak.
Hal
demikian dapat terjadi
karena sebagian besar perempuan terjadi dunia ketiga
menjadi buruh dengan penghasilan sangat kecil bahkan sebagian besar diantaranya
tidak memiliki penghasilan sama sekali, hidupnya
digantungkan pada suami dan alam. Oleh karena itu tidak heran bahwa telah terjadi fenomena yaitu 80-90% keluarga miskin di
dunia merupakan keluarga yang dikepalai oleh perempuan.Terjadinya fenomena yang
demikian disebabkan karena sulitnya perempuan
memiliki akses ekonomi yang lebih luas, jika alam saja yang akrab oleh
keseharian perempuan di kelola dan diatur oleh laki-laki hingga menimbulkan
berbagai bencana alam, apalagi ranah publik yang semuanya di dominasi oleh
laki-laki.
Perempuan
tidak hanya mendapat dampak dari bencana alam, kerusakan hutan atau polusi air
saja, tetapi penderitaan perempuan khususnya perempuan di dunia ketiga terus berlangsung
terutama para perempuan yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani baik
petani ladang maupun petani di sawah. Pada
kenyataannya, petani perempuan jam bekerja lebih lama, mempunyai lebih sedikit
aset dan upah yang lebih rendah daripada petani laki-laki, dan mempunyai
ketergantungan yang paling tinggi. Sebagian besar mereka tidak memiliki
pendidikan dan kompetensi yang cukup. Petani perempuan sangat miskin sebab
akses untuk memperoleh kredit usaha sangat terbatas. Tanpa adanya kredit
perempuan tidak dapat membeli ternak, pupuk atau
bibit untuk meningkatkan produksi.
Petani
perempuan bekerja lebih keras dalam hidupnya disamping ia harus mengatasi persoalan
pekerjaannya di sawah atau diladang, bebannya semakin bertambah karena ia tidak
dapat terlepas dari pekerjaan domestiknya. Terkadang para terkadang para
perempuan melakukan keduanya tanpa upah sama sekali karena beberapa masyarakat
menganggapnya bahwa kedua hal tersebut merupakan suatu kewajiban perempuan
sebagai yang bertanggungjawab dalam rumah tangga. Masalah yang terakhir yang harus dihadapi perempuan di dunia
ketiga adalah masalah sampah. Sampah merupakan bagian yang tak terhindarkan
dalam kehidupan, semakin besar konsumsi masyarakat maka semakin banyak pula
sampah yang dihasilkan.
Di
beberapa negara maju, sampah diolah sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan
bagi suatu ekosistem, namun di
negara-negara dunia ketiga sampah menjadi masalah yang
sangat rumit hingga masalah sampah tidak terselesaikan akibatnya sampah semakin
menumpuk dan menjadi racun. Dalam hal ini sebenarnya perempuan mempunyai
peranan penting untuk menanggulangi permasalahan sampah ini. Sebagian besar
sampah tersebut di produksi dari kegiatan rumahtangga seperti sampah sisa
konsumsi, sampah pembungkus makanan, dll. Perempuan
dapat membantu menaggulangi ini dengan membantu memilah-milah sampah kering dan sampah basah, untuk di daur ulang. Akan tetapi hal
ini tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah.
Akibatnya
penduduknya hidup dengan sampah. Yang paling menderita dari ini semua adalah penduduk
miskin yang tinggal di pemukiman dekat pembuangan sampah. Sebagian besar
diantara penduduk yang miskin tersebut adalah perempuan dan anak-anak dan yang
paling mendapatkan dampak dari sampah tersebut seperti penyaki pes, diare, dll
adalah perempuan dan anak-anak karena merekalah yang paling banyak menghabiskan
waktunya di daerah tersebut.
Pergerakan
ekofeminis muncul karena kerusakan lingkungan seperti hutan menjadi begitu
penting bagi masyarakat karena dari dalamnya mengandung tanah, air dan oksigen
yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terutama sangat
berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup perempuan. Alasannya karena
sebagian besar perempuan timur dalam kehidupannya sangat bergantung pada
pohon-pohonan dan hasil hutan.
jika kehidupan alam terancam akibat munculnya
komersialisasi perambahan hutan, maka dengan demikian kehidupan perempuan akan
terganggu dan implikasinya juga akan mengakibatkan punahnya perempuan secara
tidak langsung. Permasalahan lainnya yang mengancam kehidupan perempuan, adalah
kekeringan atau kebanjiran dan bencana lain yang di akibatkan kerusakan
termasuk adanya polusi. Hal demikian dapat
terjadi karena sebagian besar perempuan terjadi
dunia ketiga menjadi buruh dengan penghasilan sangat kecil bahkan sebagian
besar diantaranya tidak memiliki penghasilan sama sekali, hidupnya digantungkan pada suami dan alam.
C.
Ekofeminisme
di Indonesia
Pembangunan telah menyebabkan perempuan yang
berada dalam kondisi miskin, semakin dimiskinkan oleh sebuah sistem yang
menciptakan kebijakan ekonomi dan politik negara maju untuk menjajah negara
miskin dan berkembang seperti Indonesia dengan menjual jargon globalisasi.
Belum lagi tindakan kekerasan yang dialaminya baik kekerasan fisik dan psikis
yang dialami oleh perempuan yang dilakukan aparat keamanan. Jangankan
kesejahteraan, keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung sebagai sebuah
nilai didalam cerita pembangunan yang dipraktekkan oleh pengurus negara.
Ecofeminist lahir didasari
atas sebuah kondisi dimana bumi yang digambarkan sebagai ibu, telah
dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang berkuasa dengan
melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme. Ecofeminist kemudian
lahir untuk menjawab sebuah kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada
kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan didalam mengelola
lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. Bagi perempuan, bumi adalah
ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh
korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus
negara. Perempuan adalah tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya
alam, karena itulah perempuan kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan
terhadap resiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.
Ecofeminisme sesungguhnya
adalah sebuah cara pandang atau menganalisis persoalan lingkungan hidup, dengan
menggunakan pisau analisis feminis. Dimana feminis menilai sebuah persoalan itu
pada akar persoalan yang terjadi, dampak yang ditimbulkan, khususnya spesifik
pada kelompok rentan antara lain perempuan, dan apa yang mendasari perjuangan
atau gerakan ini untuk terus besar. Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset
alam belum merefleksikan sisi pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah
menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola dan menentukan pangan telah
membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami
oleh laki-laki, bahkan oleh perempuan sendiri.
Walaupun dengan bahasa yang sedarhana dan
mungkin tidak terdengar heroik dimata aktifis gerakan perempuan dan gerakan
lingkungan, yang dipraktekkan oleh sosok Werima dan perempuan-perempuan lainnya
melawan industri tambang di Indonesia, telah mengajarkan kepada kita, bahwa
perempuan sebagai korban yang lebih rentan terhadap daya rusak industri
pertambangan yang telah menghancurkan kehidupan, bisa memperjuangkan hak-haknya
dengan cara yang diyakininya sebagai perempuan.
Ditengah perdebatan apakah ecofeminist
ada di Indonesia dengan segala definisi dan fragmentasi gerakan yang
mengikutinya, dengan penuh keyakinan saya menyatakan bahwa ecofeminist
telah ada sejak lama di Indonesia. Werima Mananta mewakili perempuan di
Indonesia yang mulai melihat ketidakadilan yang dialaminya, sebagai sebuah
relasi yang utuh atas ketidakadilan yang dibangun oleh sebuah sistem
kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Ecofeminisme bukan hanya
sebuah sudut pandang (wacana), melainkan merupakan sebuah ideology bagaimana
cara bersikap, berprilaku untuk melawan hegemoni neoliberalisme. Karena selama
ini kritik terhadap feminis adalah masih asiknya para feminis tersebut
“terjebak” dalam sebuah kehidupan konsumtif yang menghalalkan proses
neoliberalisme terus masuk kedalam aliran darah manusia. Secara sadar maupun
tidak, pola hidup yang dijalani oleh para “feminis” tersebut justru
menenggelamkan mereka dalam sebuah kegamangan berideologi sebagaimana ideologi
feminisme yang diyakininya. Perjuangan Werima Mananta telah mengajarkan kepada
kita sebagai perempuan, bagaimana mereka berjuang menuntut keadilan yang
diyakininya.
D. Ekofeminisme dan Krisis Ekologi
Negara kita saat ini mengalami krisis sumber daya alam luar biasa besar. Salah satu dampak krisis ekologi antara lain bencana alam dan banjir seperti terjadi baru-baru ini di Wasior, Teluk Wodama, Papua, yang menewaskan 72 orang. Berdasar fakta itu bisa dikatakan, kondisi ekologi Indonesia sangat memprihatinkan.
Kerusakan alam yang mengakibatkan bencana tak lain akibat ulah jahil manusia, yang kebanyakan laki-laki. Itu jadi salah satu isu sensitif cita-cita kerja kesetaraan gender. Sebab, ada urgensi pengarusutamaan gender untuk menyelamatkan lingkungan hidup atau sering dikenal sebagai ekofeminisme.
Berkait dengan permasalahan itu, dalam pandangan umum masyarakat terkini muncul istilah politik ekologi, yang dimaknai dengan suatu pandangan yang mengkaji aspek politik, ekonomi, sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan dan kekayaan alam. Dalam politik itu pula, kajian feminisme mewarnai untuk menemukan solusi yang pas dalam menangani permasalah alam.
Itulah ekologi politik feminis (ekofeminisme), yakni kerangka pemikiran feminis untuk mengeksplorasi pengetahuan perempuan tentang tubuh mereka. Hasil eksplorasi, baik berupa pengetahuan, akses, maupun kontrol, dilanjutkan dengan bagaimana gender berelasi dalam ranah sosial dan kekuasaan.
Hal itu tentu sangat memengaruhi proses reproduksi perempuan, akses, dan kontrol serta kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber daya kehidupan. Gerakan Perempuan Ekologi politik feminis juga meletakkan perempuan sebagai individu yang bergerak aktif, baik dalam peran, fungsi, maupun posisi. Lebih jelasnya, ekofeminisme meneropong beberapa area khusus, seperti pembangunan, penggunaan sumber daya alam, rekonstruksi agraria, dan transformasi perkotaan.
Francoise mengemukakan ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya fokus pada subordinasi perempuan, tetapi subordinasi alam-lingkungan di bawah kepentingan manusia. Jadi ekofeminisme sekaligus mengkritik pilar-pilar modernisme yang lain, yakni antroposentrisme dan androsentrisme. Gerakan itulah yang sebaiknya diembuskan dalam labirin kehidupan kaum Hawa. Usaha faktual dalam mengelola dan mencintai kesejukan alam tak hanya didominasi laki-laki, tetapi menjadi basis gerakan perempuan.
Karena itu, kaum perempuan dapat mengedepankan gagasan progresif tentang kesetaraan dan hak di ranah publik, sambil menjadi tokoh sentral di garda depan dalam penyelamatan lingkungan. Gerakan ekofeminisme merupakan alternatif untuk menyelamatkan perempuan dan lingkungan.
Vandana Shiva dan Maria Mies (1993) menandaskan, gerakan kapitalisme global mendorong pemiskinan perempuan dan lingkungan. Sistem politik dan ekonomi internasional pun masih menandakan bayang hitam penindasan terhadap perempuan dan perusakan lingkungan. Karena itu, gerakan ekofeminisme strategis diletupkan. Keadilan Ekologi Di belahan bumi Indonesia, perjuangan menegakkan keadilan ekologi terus digalakkan. Berbagai perlawanan terus dilakukan kelompok perempuan. Di belahan bumi lain, juga terus bergolak, sebagaimana dilakukan Vandana Shiva di India yang terkenal dengan kelompok ibu-ibu memeluk pohon untuk menyelamatkan hutan dari ancaman eksploitasi industri.
Di dalam bukunya dengan tegas dinyatakan, pembangunan telah menyebabkan perempuan miskin makin dimiskinkan. Sebab, sejumlah kebijakan ekonomi dan politik negara maju dipergunakan untuk menjajah negara miskin dan berkembang dengan menjual jargon globalisasi sebagai mitos pembangunan yang tidak akan pernah memikirkan keselamatan, apalagi kesejahteraan, rakyat yang hidup di negara miskin dan berkembang.
Ekofeminisme lahir dilandasi kondisi yang dialami ibu-ibu yang dieskploitasi, dijarah, dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang melanggengkan budaya partiarki dan feodalisme. Ekofeminisme lahir untuk menjawab kebutuhan akan penyelamatan bumi dengan berbasis kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan.
Perempuan berada pada titik strategis untuk memperjuangkan nasib sumber daya alam. Di rumah tangga, segala persoalan dan solusi bermuara. Rumah juga menjadi inspirasi kelahiran kesadaran untuk perjuangan kemanusiaan di tengah krisis ekologis dan finansial global. Gerakan perempuan untuk meredam bencana perlu dihadirkan dan direvitalisasi kembali. Musibah kerusakan lingkungan menjadi refleksi untuk mengetengahkan reaksi atas persoalan bencana di negeri ini. (Siti Ulfatul Khasanah (2010.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ekofeminisme lahir dilandasi kondisi yang dialami ibu-ibu yang dieskploitasi, dijarah, dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang melanggengkan budaya partiarki dan feodalisme. Ekofeminisme lahir untuk menjawab kebutuhan akan penyelamatan bumi dengan berbasis kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan.
Walaupun bukanlah kodrat seorang wanita untuk cengeng atau lemah,
namun karena terbentuk tanpa sadar dengan budaya yang dianut membuat hal ini
terasa wajar untuk beberapa kalangan, bahkan menganggap itu merupakan kodrat.
Sebenarnya cengeng dan sikap lemah sering di maknai berbeda, bukan cengeng
namun sifat halus yang dimiliki wanita sehingga dia mampu merasakan keadaan di
sekitarnya, terlihat lemah namun itu merupakan senjata sebagian perempuan untuk
mendapatkan simpati dari laki-laki. Dengan kehalusan, kesabaran dan ketelitian
inilah perempuan yakin mampu memelihara alam lebih baik dari laki-laki. Namun disamping itu semua,
peranan negara juga teramat penting dalam menciptakan kebijakan-kebijakan untuk
mendorong aktivitas penyelamatan alam dan lingkungan.
Daftar
pustaka
Shiva,
vandana dan mies, maria ( Terjemahankelik ismunanto dan lilik).
2005.Geofeminisme: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE
Press