Studi Gender : Masalah Ekofeminisme



BAB I
PENDAHULUAN
Ekofemisme

  1. LATAR BELAKANG
Masyarakat mempunyai pandangan yang rancu  mengenai Konsep sex (jenis kelamin) dan gender. Konsep gender yang sebenarnya merupakan peran dan perilaku laki-laki dan perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering kali dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang tak dapat diubah. Hal tersebut menjadi masalah karena kekeliruan tersebut menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
Dalam membahas gender, sosiologi melihat dari teori makro (fungsional struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro (interaksionisme simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip konsensus dan keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang paling sesuai, agar dalam kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi. Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga, istri atau perempuan dalam posisi yang tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual, dan pemilikan properti. Janet Chafetz menganalisis bahwa perempuan menduduki posisi yang rendah dalam masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis kelamin. Sedangkan teori sistem dunia yang selama ini hanya memperhitungkan kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap telah mengurangi kontribusi perempuan di bidang produksi ekonomi karena mengabaikan pekerjaan perempuan dalam rumah tangga.
Dari teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik mengidentifikasi bahwa individu berusaha memelihara identitas gendernya di berbagai situasi serta memahami bagaimana arti menjadi perempuan atau laki-laki. Sementara itu, etnometodologi menganggap bahwa identitas gender individu diperoleh melalui interaksi dalam berbagai situasi. Dengan demikian, melalui budaya yang berbeda individu akan mengidentifikasi peran gendernya secara berbeda sesuai dengan situasi sosial.

  1. RUMUSAN MASALAH
a.      Apakah Pengertian Ekofeminisme?
b.      Bagaimana Sejarah Munculnya Ekofeminisme?
c.       Bgaimana Ekofeminisme di Indonesia?

  1. TUJUAN
a.      Memahami Pengertian ekofeminisme
b.      Memahami Sejarah munculnya ekofeminisme
c.       Mengetahui Ekofeminisme di Indonesia.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Ekofeminisme
Ekofeminisme salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Dalam Ekofeminisme perempuan ditempatkan sebagai “sosok yang lain” sejajar dengan sosok yang lainnya yang diabaikan dalam patriarkhi seperti kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam. Budaya Patriarkhi menyebabkan adanya dominasi terhadap perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan menempatkan mereka sebagai subordinate dibawah laki-laki yang mempunyai sifat yang unggul, netral, pengelola “sah” bumi dan seisinya.
Dalam menggali keterkaitan antara penindasan “sosok yang lain” (perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin), kerusakan alam dan dominasi patrarkhi, ekofeminisme menggunakan pendekatan analisis gender dan lebih memfokuskan keterkaitan ini pada penindasan perempuan, kerusakan alam serta dominasi patriarki sebagai penyebabnya. Hal tersebut disebabkan Pertama, Ekofeminis melihat yang paling dirugikan dari kerusakan alam adalah perempuan. Kedua, Peranan gender perempuan (sebagai pengatur dari ekonomi domestik) bertindihan (overlap) dengan permasalahan kerusakan alam dan lingkungan. Ketiga, beberapa ideologi barat berisikan konsep-konsep pendominasian alam oleh gender laki-laki.
                        Ekofeminisme merupakan upaya atau gerakan perempuan untuk menyelamatkan lingkungan. Lingkungan yang rusak menyebabkan dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan berpengaru terhadap keberlangsungan kehidupan makhluk di bumi ini, khususnya perempuan. Sehingga perempuan merasa memiliki hak untuk turun langsung dalam perbaikan linkungan.



B.        Sejarah Munculnya Ekofeminisme
Pergerakan ekofeminis yang pertama dimulai sekitar tahun 1974 oleh sekelompok perempuan di utara India, mereka menamakan dirinya ”chipko Movement”. Mereka memprotes penebangan hutan yang dilakukan oleh kolonial Inggris. Gerakan Chipko merupakan manivestasi dari filsafat Gandhian Satyagrahas yang mencoba menyelamatkan dan melestarikan hutan tradisional atau ”forest culture”. Hutan tradisional menjadi begitu penting bagi masyarakat india karena dari dalamnya mengandung tanah, air dan oksigen yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terutama sangat berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup perempuan.
Alasan yang pertama karena sebagian besar perempuan timur dalam kehidupannya sangat bergantung pada pohon-pohonan dan hasil hutan. Tingkat ketergantungan mereka terhadap alam sangat tinggi yaitu tercatat 60 % di 32 negara di Afrika, 80% di 18 negara di Asia dan 40% di Amerika Latin dan kepulauan Karibia. Ketika para laki-laki menghabiskan waktunya di ladang atau berburu, para perempuan tinggal bersama anak-anaknya di hutan, mereka mengandalkan pohon-pohonan serta hasil hutan untuk keberlangsungan hidup mereka. Pohon-pohonan dan hasil hutan tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka tetapi dapat memenuhi hampir semua kebutuhan di ranah domestik. Yang kedua, Ada sejumlah kebiasaan, hal yang tabu dan sah dan waktu yang menghambat yang dihadapi perempuan sedang kan laki-laki tidak menghadapinya. Hal tersebut seperti perempuan dan laki-laki memiliki akses yang berbeda atas sebidang tanah. Di Tanzania, perempuan tidak memiliki hak sama sekali untuk mendiami sebidang tanah, mereka harus meminta izin kepada suami mereka atau laki-laki lain untuk mengolah sebidang tanah. Perempuan di sebagian besar negara berkembang tidak memiliki dukungan hukum untuk berpartisipasi dan ikut mengelola lingkungan lokal mereka.
Di daerah rural (pedesaan), perempuan sebagai buruh upah yang sangat miskin (menyiangi, mengangkut air dan kayu, dan melakukan pekerjaan rumah tangganya). Mereka hidup tanpa pendidikan, status, organisasi untuk melindungi atau hak kepemilikan tanah yang dapat menjadikan mereka turut serta dalam pengontrolan lingkungan. Yang ketiga, pendapat dari pendatang khususnya pengelola hutan dari barat mengenai ketidak beruntungan perempuan di dunia ketiga, sangat berbeda. Mereka menganjurkan beberapa teknik untuk menghadapi kekurangan pohon-pohonan. Akan tetapi hal tersebut tidaklah benar sebab mereka hanyalah pendatang, perempuan-perempuan itu sendiri yang mengetahui bagaimana cara mempertahankan hidupnya dalam alam dan lingkungan yang sudah ia kenal dengan baik. Sejak produksi berskala kecil yang menjadi prioritas lokal banyak dilakukan, peranan perempuan sangatlah penting untuk menyokong itu semua, jika kehidupan alam terancam akibat munculnya komersialisasi perambahan hutan, maka dengan demikian kehidupan perempuan akan terganggu dan implikasinya juga akan mengakibatkan punahnya perempuan secara tidak langsung.
Permasalahan lainnya yang mengancam kehidupan perempuan, adalah kekeringan atau kebanjiran. Kekeringan dan banjir merupakan bencana alam (natural disaster) yang dapat terjadi secara alami ataupun merupakan dampak atas kerusakan alam oleh manusia. Seperti kekeringan diakibatkan tidak adanya cadangan air tanah atau pemerintah yang tidak membuat bendungan sebagai sarana untuk menapung air hujan agar dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Banjir dapat disebabakan karena penebangan hutan secara liar yang mengakibatkan semakin berkurangnya tanaman yang berfungsi untuk menyerap air dan menyimpannya dalam waktu tertentu. Dampak dari dua jenis bencana ini sangat fatal yaitu dapat merusak ekosistem dan dapat memusnahkan seluruh makhluk hidup, tak terkecuali manusia terutama masyarakat yang miskin yang sebagian besarnya adalah perempuan dan anak-anak.
Hal demikian dapat terjadi karena sebagian besar perempuan terjadi dunia ketiga menjadi buruh dengan penghasilan sangat kecil bahkan sebagian besar diantaranya tidak memiliki penghasilan sama sekali, hidupnya digantungkan pada suami dan alam. Oleh karena itu tidak heran bahwa telah terjadi fenomena yaitu 80-90% keluarga miskin di dunia merupakan keluarga yang dikepalai oleh perempuan.Terjadinya fenomena yang demikian disebabkan karena sulitnya perempuan memiliki akses ekonomi yang lebih luas, jika alam saja yang akrab oleh keseharian perempuan di kelola dan diatur oleh laki-laki hingga menimbulkan berbagai bencana alam, apalagi ranah publik yang semuanya di dominasi oleh laki-laki.
Perempuan tidak hanya mendapat dampak dari bencana alam, kerusakan hutan atau polusi air saja, tetapi penderitaan perempuan khususnya perempuan di dunia ketiga terus berlangsung terutama para perempuan yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani baik petani ladang maupun petani di sawah. Pada kenyataannya, petani perempuan jam bekerja lebih lama, mempunyai lebih sedikit aset dan upah yang lebih rendah daripada petani laki-laki, dan mempunyai ketergantungan yang paling tinggi. Sebagian besar mereka tidak memiliki pendidikan dan kompetensi yang cukup. Petani perempuan sangat miskin sebab akses untuk memperoleh kredit usaha sangat terbatas. Tanpa adanya kredit perempuan tidak dapat membeli ternak, pupuk atau bibit untuk meningkatkan produksi.
Petani perempuan bekerja lebih keras dalam hidupnya disamping ia harus mengatasi persoalan pekerjaannya di sawah atau diladang, bebannya semakin bertambah karena ia tidak dapat terlepas dari pekerjaan domestiknya. Terkadang para terkadang para perempuan melakukan keduanya tanpa upah sama sekali karena beberapa masyarakat menganggapnya bahwa kedua hal tersebut merupakan suatu kewajiban perempuan sebagai yang bertanggungjawab dalam rumah tangga. Masalah yang terakhir yang harus dihadapi perempuan di dunia ketiga adalah masalah sampah. Sampah merupakan bagian yang tak terhindarkan dalam kehidupan, semakin besar konsumsi masyarakat maka semakin banyak pula sampah yang dihasilkan.
Di beberapa negara maju, sampah diolah sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan bagi suatu ekosistem, namun di negara-negara dunia ketiga sampah menjadi masalah yang sangat rumit hingga masalah sampah tidak terselesaikan akibatnya sampah semakin menumpuk dan menjadi racun. Dalam hal ini sebenarnya perempuan mempunyai peranan penting untuk menanggulangi permasalahan sampah ini. Sebagian besar sampah tersebut di produksi dari kegiatan rumahtangga seperti sampah sisa konsumsi, sampah pembungkus makanan, dll. Perempuan dapat membantu menaggulangi ini dengan membantu memilah-milah sampah kering dan sampah basah, untuk di daur ulang. Akan tetapi hal ini tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah.
Akibatnya penduduknya hidup dengan sampah. Yang paling menderita dari ini semua adalah penduduk miskin yang tinggal di pemukiman dekat pembuangan sampah. Sebagian besar diantara penduduk yang miskin tersebut adalah perempuan dan anak-anak dan yang paling mendapatkan dampak dari sampah tersebut seperti penyaki pes, diare, dll adalah perempuan dan anak-anak karena merekalah yang paling banyak menghabiskan waktunya di daerah tersebut.
Pergerakan ekofeminis muncul karena kerusakan lingkungan seperti hutan menjadi begitu penting bagi masyarakat karena dari dalamnya mengandung tanah, air dan oksigen yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan hidup seluruh makhluk hidup terutama sangat berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup perempuan. Alasannya karena sebagian besar perempuan timur dalam kehidupannya sangat bergantung pada pohon-pohonan dan hasil hutan.
jika kehidupan alam terancam akibat munculnya komersialisasi perambahan hutan, maka dengan demikian kehidupan perempuan akan terganggu dan implikasinya juga akan mengakibatkan punahnya perempuan secara tidak langsung. Permasalahan lainnya yang mengancam kehidupan perempuan, adalah kekeringan atau kebanjiran dan bencana lain yang di akibatkan kerusakan termasuk adanya polusi. Hal demikian dapat terjadi karena sebagian besar perempuan terjadi dunia ketiga menjadi buruh dengan penghasilan sangat kecil bahkan sebagian besar diantaranya tidak memiliki penghasilan sama sekali, hidupnya digantungkan pada suami dan alam.

C.      Ekofeminisme di Indonesia
     Pembangunan telah menyebabkan perempuan yang berada dalam kondisi miskin, semakin dimiskinkan oleh sebuah sistem yang menciptakan kebijakan ekonomi dan politik negara maju untuk menjajah negara miskin dan berkembang seperti Indonesia dengan menjual jargon globalisasi. Belum lagi tindakan kekerasan yang dialaminya baik kekerasan fisik dan psikis yang dialami oleh perempuan yang dilakukan aparat keamanan. Jangankan kesejahteraan, keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung sebagai sebuah nilai didalam cerita pembangunan yang dipraktekkan oleh pengurus negara.
     Ecofeminist lahir didasari atas sebuah kondisi dimana bumi yang digambarkan sebagai ibu, telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang berkuasa dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme. Ecofeminist kemudian lahir untuk menjawab sebuah kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan didalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. Bagi perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara. Perempuan adalah tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam, karena itulah perempuan kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap resiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.
Ecofeminisme sesungguhnya adalah sebuah cara pandang atau menganalisis persoalan lingkungan hidup, dengan menggunakan pisau analisis feminis. Dimana feminis menilai sebuah persoalan itu pada akar persoalan yang terjadi, dampak yang ditimbulkan, khususnya spesifik pada kelompok rentan antara lain perempuan, dan apa yang mendasari perjuangan atau gerakan ini untuk terus besar. Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset alam belum merefleksikan sisi pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-laki, bahkan oleh perempuan sendiri.
Walaupun dengan bahasa yang sedarhana dan mungkin tidak terdengar heroik dimata aktifis gerakan perempuan dan gerakan lingkungan, yang dipraktekkan oleh sosok Werima dan perempuan-perempuan lainnya melawan industri tambang di Indonesia, telah mengajarkan kepada kita, bahwa perempuan sebagai korban yang lebih rentan terhadap daya rusak industri pertambangan yang telah menghancurkan kehidupan, bisa memperjuangkan hak-haknya dengan cara yang diyakininya sebagai perempuan.
Ditengah perdebatan apakah ecofeminist ada di Indonesia dengan segala definisi dan fragmentasi gerakan yang mengikutinya, dengan penuh keyakinan saya menyatakan bahwa ecofeminist telah ada sejak lama di Indonesia. Werima Mananta mewakili perempuan di Indonesia yang mulai melihat ketidakadilan yang dialaminya, sebagai sebuah relasi yang utuh atas ketidakadilan yang dibangun oleh sebuah sistem kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Ecofeminisme bukan hanya sebuah sudut pandang (wacana), melainkan merupakan sebuah ideology bagaimana cara bersikap, berprilaku untuk melawan hegemoni neoliberalisme. Karena selama ini kritik terhadap feminis adalah masih asiknya para feminis tersebut “terjebak” dalam sebuah kehidupan konsumtif yang menghalalkan proses neoliberalisme terus masuk kedalam aliran darah manusia. Secara sadar maupun tidak, pola hidup yang dijalani oleh para “feminis” tersebut justru menenggelamkan mereka dalam sebuah kegamangan berideologi sebagaimana ideologi feminisme yang diyakininya. Perjuangan Werima Mananta telah mengajarkan kepada kita sebagai perempuan, bagaimana mereka berjuang menuntut keadilan yang diyakininya.



D.     Ekofeminisme dan Krisis Ekologi

Negara kita saat ini mengalami krisis sumber daya alam luar biasa besar. Salah satu dampak krisis ekologi antara lain bencana alam dan banjir seperti terjadi baru-baru ini di Wasior, Teluk Wodama, Papua, yang menewaskan 72 orang. Berdasar fakta itu bisa dikatakan, kondisi ekologi Indonesia sangat memprihatinkan.

Kerusakan alam yang mengakibatkan bencana tak lain akibat ulah jahil manusia, yang kebanyakan laki-laki. Itu jadi salah satu isu sensitif cita-cita kerja kesetaraan gender. Sebab, ada urgensi pengarusutamaan gender untuk menyelamatkan lingkungan hidup atau sering dikenal sebagai ekofeminisme.

Berkait dengan permasalahan itu, dalam pandangan umum masyarakat terkini muncul istilah politik ekologi, yang dimaknai dengan suatu pandangan yang mengkaji aspek politik, ekonomi, sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan dan kekayaan alam. Dalam politik itu pula, kajian feminisme mewarnai untuk menemukan solusi yang pas dalam menangani permasalah alam.

Itulah ekologi politik feminis (ekofeminisme), yakni kerangka pemikiran feminis untuk mengeksplorasi pengetahuan perempuan tentang tubuh mereka. Hasil eksplorasi, baik berupa pengetahuan, akses, maupun kontrol, dilanjutkan dengan bagaimana gender berelasi dalam ranah sosial dan kekuasaan.

Hal itu tentu sangat memengaruhi proses reproduksi perempuan, akses, dan kontrol serta kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber daya kehidupan. Gerakan Perempuan Ekologi politik feminis juga meletakkan perempuan sebagai individu yang bergerak aktif, baik dalam peran, fungsi, maupun posisi. Lebih jelasnya, ekofeminisme meneropong beberapa area khusus, seperti pembangunan, penggunaan sumber daya alam, rekonstruksi agraria, dan transformasi perkotaan.

Francoise mengemukakan ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya fokus pada subordinasi perempuan, tetapi subordinasi alam-lingkungan di bawah kepentingan manusia. Jadi ekofeminisme sekaligus mengkritik pilar-pilar modernisme yang lain, yakni antroposentrisme dan androsentrisme. Gerakan itulah yang sebaiknya diembuskan dalam labirin kehidupan kaum Hawa. Usaha faktual dalam mengelola dan mencintai kesejukan alam tak hanya didominasi laki-laki, tetapi menjadi basis gerakan perempuan.

Karena itu, kaum perempuan dapat mengedepankan gagasan progresif tentang kesetaraan dan hak di ranah publik, sambil menjadi tokoh sentral di garda depan dalam penyelamatan lingkungan. Gerakan ekofeminisme merupakan alternatif untuk menyelamatkan perempuan dan lingkungan.

Vandana Shiva dan Maria Mies (1993) menandaskan, gerakan kapitalisme global mendorong pemiskinan perempuan dan lingkungan. Sistem politik dan ekonomi internasional pun masih menandakan bayang hitam penindasan terhadap perempuan dan perusakan lingkungan. Karena itu, gerakan ekofeminisme strategis diletupkan. Keadilan Ekologi Di belahan bumi Indonesia, perjuangan menegakkan keadilan ekologi terus digalakkan. Berbagai perlawanan terus dilakukan kelompok perempuan. Di belahan bumi lain, juga terus bergolak, sebagaimana dilakukan Vandana Shiva di India yang terkenal dengan kelompok ibu-ibu memeluk pohon untuk menyelamatkan hutan dari ancaman eksploitasi industri.

Di dalam bukunya dengan tegas dinyatakan, pembangunan telah menyebabkan perempuan miskin makin dimiskinkan. Sebab, sejumlah kebijakan ekonomi dan politik negara maju dipergunakan untuk menjajah negara miskin dan berkembang dengan menjual jargon globalisasi sebagai mitos pembangunan yang tidak akan pernah memikirkan keselamatan, apalagi kesejahteraan, rakyat yang hidup di negara miskin dan berkembang.

Ekofeminisme lahir dilandasi kondisi yang dialami ibu-ibu yang dieskploitasi, dijarah, dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang melanggengkan budaya partiarki dan feodalisme. Ekofeminisme lahir untuk menjawab kebutuhan akan penyelamatan bumi dengan berbasis kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan.

Perempuan berada pada titik strategis untuk memperjuangkan nasib sumber daya alam. Di rumah tangga, segala persoalan dan solusi bermuara. Rumah juga menjadi inspirasi kelahiran kesadaran untuk perjuangan kemanusiaan di tengah krisis ekologis dan finansial global. Gerakan perempuan untuk meredam bencana perlu dihadirkan dan direvitalisasi kembali. Musibah kerusakan lingkungan menjadi refleksi untuk mengetengahkan reaksi atas persoalan bencana di negeri ini. (Siti Ulfatul Khasanah (2010.

 

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

 Ekofeminisme lahir dilandasi kondisi yang dialami ibu-ibu yang dieskploitasi, dijarah, dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang melanggengkan budaya partiarki dan feodalisme. Ekofeminisme lahir untuk menjawab kebutuhan akan penyelamatan bumi dengan berbasis kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan.

Walaupun bukanlah kodrat seorang wanita untuk cengeng atau lemah, namun karena terbentuk tanpa sadar dengan budaya yang dianut membuat hal ini terasa wajar untuk beberapa kalangan, bahkan menganggap itu merupakan kodrat. Sebenarnya cengeng dan sikap lemah sering di maknai berbeda, bukan cengeng namun sifat halus yang dimiliki wanita sehingga dia mampu merasakan keadaan di sekitarnya, terlihat lemah namun itu merupakan senjata sebagian perempuan untuk mendapatkan simpati dari laki-laki. Dengan kehalusan, kesabaran dan ketelitian inilah perempuan yakin mampu memelihara alam lebih baik dari laki-laki. Namun disamping itu semua, peranan negara juga teramat penting dalam menciptakan kebijakan-kebijakan untuk mendorong aktivitas penyelamatan alam dan lingkungan.





Daftar pustaka

Shiva, vandana dan mies, maria ( Terjemahankelik ismunanto dan lilik). 2005.Geofeminisme: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press