Makalah Study Gender : Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan

MAKALAH STUDY GENDER
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Indonesia
Dosen Pengampu: Nur Hidayah, M.Si






Disusun Oleh :
ARIF GUNAWAN                  09416241023




PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011

Kata Pengantar


Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah Studi Gender yang diampu Nur Hidayah, M.Si oleh Tema yang kami bahas dalam makalah ini adalah tentang kesetaraan gender dalam pendidikan.
Makalah ini dibuat dengan maksud mendidik dan melatih siswa agar lebih kritis, terdidik, mealtih untuk bekerja sama dan lebih memahami dalamkesetaraan gender. Selain itu dengan membuat makalah ini diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan dalam pembelajaran mata kuliah studi gender, dengan kegiatan pembuatan makalah seperti ini diharapkan mahasiswa dapat aktif dalam belajar, juga membaca.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermangfaat dan berguna, khususnya bagi kami penulis. Tiada kesempurnaan di dunia ini, dan kami rasamasih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, kami mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini.





Yogyakarta, 13 September 2011


Penyusun             




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam sau dekade terakhir ini, upaya penyadaran gender menjadi perbincangan serius di kalangan aktivitas perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun politisi.Perbincangan dilakukan karena banyaknya kejadian dalam masyarakat bias gender sehingga merugikan perempuan maupun masyarakat secara keseluruhan.
Perempuan biasanya tidak memperoleh kesempatan pendidikan yang memadai.Hal ini bisa kita liat dari banyaknya cerita dalam buku-buku pelajaran dan bacaan wajib yang menggambarkan peran laki-laki dan perempuan. Cerita-cerita itu sering menempatkan laki-laki pada peran sentral, sedangkan perempuan hanya dijadikan sebagai tokoh pelengkap dan tidak jarang keberadaanya dihilangkan sama sekali.
Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan. 

Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan.Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%.

Kini setelah reformasi, cerita-cerita dalam buku pelajaran sekolah yang lebih mengekploitasi keperkasaan laki-laki belum banyak berubah. Mengubah aras pendidikan menjadi tidak bias gender juga bukan problem yang sederhana. Hal ini dikarenakan kurikulum pendidikan kita secara sistematis dirumuskan oleh suatu kebijakan yang berbias gender untuk jangka waktu tertentu.
Bias gender juga namapak dalam proses belajar mengajar. Seperti kalimat-kalimat yang mengandung bias gender misalnya: Ibu memasak, Ani mencucu piring, Ayah ke kantor, Amir bermain sepak bola menegaskan adanya bias gender. Hubungan guru dan murid yang berbias gender misalnya, permintaan untuk menghapus papan tulis yang ditujukan kepada anak perempuan.

B.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan gender?
2.      Apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender?
3.      Bagaimana upaya penyadaran gender di dalam pendidikan?
4.      Bagaimana kesetaraan gender dalam pendidikan?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256).Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menyatakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan. Gender dalam Wikipedia bahasa Indonesiamenyaakan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia. Gender dipahami sebagai suatu konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi. Hal ini merupakan hasil bentukan ketentuan kehidupan bersosial bukan biologis.Gender mengacu ke peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara social.Peran tersebut dipelajari berubah dari waktu ke waktu dan beragam menurut budaya dan antar budaya.
Gender sebagai konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan social dan budaya masyarakat. Caplan ( 1987 ) dalam The Kultural Construction of Sexuality menyaakan  bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian justru terbentuk melalui proses budaya dan social. Oleh karena itu watak social dan budaya selalu mengalami perubahan dalam sejarah, gender juga berubah dari waktu ke waktu, dari suatau tempat ke tempat yang lain. Sementara jenis kelamin sebagai kodrat Tuhan dan tidak dapat mengalami perubahan dengan konsekuensi-konsekuensi logisnya.Adapun ideology gender adalah segala aturan, nilai, mitos, sterotipe yang mengatur hubungan laki-laki perempuan yang didahului oleh pembentukan identitas feminism dan maskulin.


B.     Pengertian Kesetaraan Gender
Tujuan memahami gender adalah untuk memutuskan ketimpangan gender dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,social budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya.
Kesadaran akan kesetaraan gender telah menjadi wacana public yang terbuka, sehingga hamper tidak ada sudut kehidupan manapun yang tidak tersentuh wacana ini. Gender telah menjadi prespektif baru yang sedang diperjuangkan untuk menjadi control bagi kehidupan social, sejauh mana prinsip keadilan, penghargaan martabat manusia dan perlakuan yang sama di hadapan apapun antar sesame manusia termasuk laki-laki dan perempuan.
Nmaun demikian kesetaraan sepertinya samar-samar dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.Alasannya karena prinsip-prinsip kesetaraan dijabarkan dalam konteks sosio-historis tertentu, dan adanya bias gender (kelaki-lakian) di dalam penafsiran agama yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

C.    Penyadaran Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Upaya penyadaran ditempuh dengan harapan membantu perempuan sendiri menemukan jati diri dan perannya di tengah masyarakat yang terus berubah.Tidak disangka bahwa kita masih hidup dalam budaya, pandangan dan ideologi yang didominasi oleh patriaki.Di tengah masyarakat, laki-laki masih merupakan figure sentral karena memang pendidikan semenjak di tengah keluarga kemudian di lanjutkan di sekolah, dan pekerjaan terjadi demikian.
Proses penyadaran dapat dilakukan dalam dunia pendidikan dengan membenahi beberapa aspek seperti kurikulum, buku pelajaran, metode pengajaran, Garis Besar Progam Pengajaran (GBPP). Selama Orde Baru berkuasa, pendidikan cenderung diarahkan untuk mencapai keseragaman ketimbang memberi kesempatan pada anak didik untuk berkreasi.
Dengan memperhatiakan aspek pendidikan, diharapkan sedini mungkin anak didik memberi tempat dan perhatian pada masalah gender, tidak sekedar jenis kelamin.Melainkan berimplikasi langsung dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.Harus diakui, untuk mengubah pendidikan menjadi tidak berbias gender bukanlah langkah mudah.Kurikulum pendidikan kita telah disusun secara sistematis untuk jangka waktu tertentu.
Dalam dunia pendidikan ada tiga akses yang perlu di perhatikan untuk mewujudkan kesetaraan tersebut yakni kesetaraan akses terhadap fasilitas pendidikan, dalam peranan termasuk pengambilan kebijakan, dan kesetaraan dalam menerima manfaat.
Dunia pendidikan menanamkan dan mengembangkan model-model sehingga betul-betul menginspirasi keluarga, masyarakat untuk memperhatikan (kesetaraan gender) ini secara terus menerus.Dengan adanya program wajib belajar sembilan tahun untuk anak laki-laki maupun perempuan, kini pembedaan gender dalam bidang pendidikan dasar dan menengah sudah hampir tidak ada lagi.



D.    Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran tetapi merupakan salah satu narasumber bagi segala pengetahuan karenanya instrument efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu tersebut. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk sekolah.
Penelitian seluruh siswa SMP di tiga wilayah (Surakarta, Semarang, dan Tegal) menunjukkan terjadinya kctidaksejajaran gender.Laki-laki masih dominan dalam perilaku di kelas, di sekolah, dau bahkan dalam pergaulana di sekolah.Para siswa masih terbagi ke dalam prototipe perempuan adalah orang yang "feminin" dan lalaki-laki adalah orang yang "maskulin".Tugas dan peran perempuan yang mama adalah 3M (memask, menciwi, dan merawat anak/suami, sedangkan laid¬laki adalah pencari nafkali.Dalain bidang pekerjaan, perempuan hanya ada wilayah doinestik dan laki-laki di wilayah publik.Oleh karena itu, laki-laki "hams" sekolah sampai linggi.Mengenai hal pendidkau, perempuan amenolak secara tegas terhadap pernyataan bahwa perempuan tidak pelit sekolah sampai tinggi.Kesemua hal di atas lebili bayak disebahkan oleh pola anak di rumah.Mereka didik oleh orang tuanya dengan ideologi gender, yaitu laki-laki harus hisa melindungi, bertatiggung jawab, tangkas, dan kuat; sedangkan perempuan barns pandai mengurus nrmah, metnbantu ibunya, dan hams lembut, sopan.Selain perlakuan guru terhadap siswa yang masih "melindungi" siswa perempuan dari "kekerasan, kekasaran, kejahilan laki-laki". Hegitu juga dalam bidang olahraga,misalnya. Hal itu semakin mngukuhkan stereotipe yang genderis.Penyebab lainnya adalah bahasa (Indonesia). Dalam buku-buku bahasa Indonesia, kognisi anak didik dikontruksi sedemikian rupa yang juga sangat gender's: perempuan "habitatnya" adalah di dapur, sumur, dan kasur, sedangkan laki-laki di luar rumah.
Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupaya sudah terakomodasi dalam kurikulum 2004 tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya pembangunan sumber daya manusia yang unggul di segala bidang tanpa memandang jenis kelamin.
Ada tiga aspek permaslahan gender dalam pendidikan yaitu:
·         Akses (fasilitas pendidikan yang sulit dicapai)
·       Partisipasi (tercakup dalam bidang studi dan statistic pendidikan, banyaknya perempuan mengambil bidang keguruan karena pandangan yang mengatakan bahwa peran guru sebagai Pembina juga pengasuh digambarkan sebagai kodrat perempuan sebagai ibu) .
Indikasi berlangsungnya sosialisasi gender dalam pembelajaran sekolah jelas terlihat tegas melalui konstruksi tersebut untuk itu perlu perubahan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender  karena berakibat ketimpangan pada salah satu gender khususnya perempuan.
Di samping itu perilaku yang tampak dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru , guru-murid, murid-murid baik di dalam maupun di luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun istirahat berlangsung akan menampakan konstruksi gender yang terbangun selama ini , yaitu bias.
Pemerintah secara terus menerus menyuarakan penyetaraan gender seperti yang diamanatkan oleh UU 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Artinya setiap warga Negara berarti laki-laki dan perempuan bukan laki-laki saja yang selama ini diprioritaskan oleh keluarga untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.Akibatnya bila perempuan bekerja mendapat upah lebih rendah daripada laki-laki.
Gender dalam pendidikan tidak lepas dari faktor lainnya seperti organisasi keluarga dan pekerjaan, surplus ekonomi, kecanggihan tekhnologi, kepadatan penduduk dan lainnya. Karna kesemuanya adalah variabel yang saling mempengaruhi banyak hal tentang gender begitupun didalam fenomena pendidikan.
Berbicara tentang gender bukan ingin menyalahi kodrat tetapi justru mengembalikan kodrat pada proporsi dan fungsi sosialnya bagaimanakah dijalankan secara setara oleh kaum laki-laki dan perempuan. Sekolah merupakan salah satu alat Negara yang berperan dalam menciptakan hegemoni yang menggiring kebutuhan pembangunan termasuk diantaranya melanggengkan budaya gender. Pendidikan merupakan media sosialisasi yang terbaik, mengubah paradigma pendidikan yang tidak berbias gender, perbaikan kurikulum, menata hubungan guru dan murid, metode pembelajaran yang lain, akan menjadi jalan pembuka kesadaran gender berawal.
Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah".Jadi, orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya.Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.
Dibandingkan dengan fenomena yang ada dimasa lalu gender sudah banyak memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki di masa sekarang. Dulu banyak fenomena dimana orang tua lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-lakinya dengan berbagai alasan, tapi tidak dipungkiri mungkin saat ini masih bisa terjadi.



BAB III
PENUTUP

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256).Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,social budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Proses penyadaran dapat dilakukan dalam dunia pendidikan dengan membenahi beberapa aspek seperti kurikulum, buku pelajaran, metode pengajaran, Garis Besar Progam Pengajaran (GBPP). Selama Orde Baru berkuasa, pendidikan cenderung diarahkan untuk mencapai keseragaman ketimbang memberi kesempatan pada anak didik untuk berkreasi.
Pemerintah secara terus menerus menyuarakan pengarusutaman gender seperti yang diamanatkan oleh UU 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Artinya setiap warga Negara berarti laki-laki dan perempuan bukan laki-laki saja yang selama ini diprioritaskan oleh keluarga untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.Akibatnya bila perempuan bekerja mendapat upah lebih rendah daripada laki-laki.





Daftar Pustaka

·         Muawanah, Elfi. 2009. Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: TERAS
·         Mujiran, Paulus. 2002. Pernik-pernik Pendidikan: Manifestasi dalam Keluarga, Sekolah dan Penyadaran Gender.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

·        Kemendiknas