BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila ditinjau
dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya Pemerintah Indonesia menjaga
kestabilan mata uang telah menuju ke arah yang lebih baik. Prof. M. Sadli,
2005, mengungkapkan bahwa inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden
Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (kalau
perlu uang, cetak saja). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi
akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena
Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of
development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman
reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan
penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary
expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada
sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.
Pada tahun
1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga tingkat
inflasi dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa krisis
moneter Indonesia dan Asia 1997 Inflasi kembali meningkat menjadi 11,10% dan
kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana saat itu nilai tukar
rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp 10.014,- per
dolar AS (1998). Setelah itu Pemerintahan Habibie melakukan kebijakan moneter
yang sangat ketat dan menghasilkan tingkat inflasi yang (paling) rendah yang
pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999.
Selanjutnya pada
tahun 2000 hingga 2006 Inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang
tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10%. Inflasi tahun 2005 dengan nilai
sebesar 17,11% adalah inflasi tertinggi pasca krisis moneter Indonesia
(1997/1998), tekanan akan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM)
diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga
minyak di pasar internasional menyebakan Pemerintah berusaha untuk menghapuskan
subsidi BBM. Hal tersebut sangat mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia
mengingat konsumsi BBM mencapai 47.4 % (tahun 2000) dari total konsumsi energi
Indonesia.
Inflasi bergerak
pada angka yang sangat mendekati yaitu 6,60% (2006) dan 6,59% (2007). Bila saja
inflasi yang terjadi pada tahun 2005 dapat diabaikan dengan alasan bahwa BBM
sebagai faktor utama yang mempengaruhi inflasi tahun 2005 berada diluar kendali
Pemerintah, maka tingkat inflasi dalam 2000-2006 tahun terakhir dapat dikatakan
cukup terkendali.
Pemerintah
(pasca reformasi) sepertinya telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi,
namun berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri pasca reformasi (1997) masih
sangat tinggi mempengaruhi pergerakan perekonomian Indonesia. Inflasi yang
terjadi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat
inflasi Malaysia dan Thailand yang berkisar 2%, bahkan Singapura yang berada di
bawah 1%. Bila sektor-sektor riil dalam negeri tidak dibangkitkan maka upaya di
sektor moneter menjaga kestabilan makro ekonomi dalam jangka panjang hanya akan
menjadi hal yang sia-sia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian inflasi?
2.
Apa saja jenis-jenis, teori, biaya
inflasi dan cara menghitung inflasi?
3.
Apa dampak inflasi dan cara mencegah
inflasi?
4.
Bagaimana perkembangan inflasi di
Indonesia, serta penyebab dan pengendaliannya?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian inflasi.
2.
Mengetahui jenis-jenis, teori, biaya,
dan cara menghitung inflasi.
3.
Mengetahui dampak inflasi dan cara mencegah inflasi.
4.
Mengetahui perkembangan inflasi di
Indonesia, serta penyebab dan pengendaliannya
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inflasi
Inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi,
kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan)
sebagian besar dari harga barang-barang lain, Boediono (1982: 155). Dalam
praktek, inflasi dapat diamati dengan mengamati gerak dari indek harga. Tetapi
di sini harus diperhitungkan ada tidaknya suppressed
inflation (inflasi yang ditutupi).
Akibat
inflasi secara umum adalah menurunnya daya beli masyarakat karena secara riel
tingkat pendapatannya juga menurun. Jadi, misalkan besarnya inflasi pada tahun
yang bersangkutan naik sebesar 5% sementara pendapatan tetap, maka itu berarti
secara riel pendapatan mengalami penurunan sebesar 5% yang akibatnya relatif
akan menurunkan daya beli sebesar 5% juga, Putong (2002: 254).
B. Rumus Menghitung Inflasi
Adapun
rumus untuk menghitung inflasi adalah:
1.
2.
In
adalah inflasi, IHKn adalah harga konsumen tahun dasar (dalam hal
ini nilainya 100, IHKn-1 adalah indeks harga konsumen tahun
berikutnya. Dfn adalah GNP atau PDB deflator tahun berikutnya, Dfn-1
adalah GNP atau PDB deflator tahun awal (sebelumnya).
C. Jenis Inflasi
1.
Berdasarkan sifatnya. Berdasarkan
sifatnya inflasi dibagi menjadi 4 kategori utama, Putong (2002: 260), yaitu:
a. Inflasi
merayap/rendah (creeping Inflation), yaitu inflasi yang besarnya kurang dari
10% pertahun.
b.
Inflasi
menengah (galloping inflation) besarnya antara 10-30% pertahun.
c.
Inflasi
berat (high inflation), yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% pertahun.
d.
Inflasi
sangat tinggi (hyper inflation), yaitu inflasi yang ditandai oleh naiknya harga
secara drastis hingga mencapai 4 digit (di atas 100%).
2. Berdasarkan sebabnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong
(2002: 260), yaitu:
a.
Demand
Pull Inflation. Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang
tinggi di satu pihak, di pihak lain kondisi produksi telah mencapai kesempatan
kerja penuh (full employment), akibatnya adalah sesuai dengan hukum permintaan,
bila permintaan banyak sementara penawaran tetap, maka harga akan naik.
b. Cost Push Inflation. Inflasi ini disebabkan turunnya
produksi karena naiknya biaya produksi (naiknya biaya produksi dapat terjadi
karena tidak efisiennya perusahaan, nilai kurs mata uang negara yang
bersangkutan jatuh / menurun, kenaikan harga bahan baku industri, adanya
tuntutan kenaikan upah dari serikat buruh yang kuat dan sebagainya).
Akibat dari kedua macam
inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari
segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation,
biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) menaik bersama-sama dengan
kenaikan harga umum. Sebaliknya dalam kasus cost inflation, biasanya kenaikan
harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (kelesuan usaha).
Perbedaan yang laindari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari
kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output)
mendahului kenaikan barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah
dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost inflation kita melihat kenaikan harga
barang-barang akhir (output) mengikuti kenaikan harga barang-barang
input/faktor produksi.
Kedua macam inflasi ini
jarang sekali dijumpai dalam praktek dalam bentuk yang murni. Pada umumnya,
inflasi yang terjadi di berbagai negara di dunia adalah kombinasi dari kedua
macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama
lain, Boediono (1982: 157-158).
3. Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong
(2002: 260), yaitu:
a.
Inflasi
yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena
terjadinya defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada
anggaran belanja negara.
b. Inflasi yang berasal dari luar negeri, karena
negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang
tinggi, harga-harga barang dan juga ongkos produksi relatif mahal, sehingga
bila terpaksa negara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga jualnya di
dalam negeri tentu saja bertambah mahal.
D. Teori
Inflasi
Secara garis besar ada 3 (tiga) kelompok teori
mengenai inflasi. Ketiga teori itu adalah, Boediono (1982: 169-170):
1.
Teori Kuantitas (persamaan pertukaran dari Irving Fisher: MV=PQ)
Teori
kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini masih
sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama
di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini mengatakan bahwa penyebab
utama dari inflasi adalah:
a.
Pertambahan jumlah uang yang beredar
b.
Psikologi (harapan) masyarakat mengenai
kenaikan harga-harga (expectations) di masa mendatang.
Tambahan jumlah uang beredar sebesar x% bisa
menumbuhkan inflasi kurang dari x%, sama dengan x% atau lebih besar dari x%,
tergantung kepada apakah masyarakat tidak mengharapkan harga naik lagi, akan
naik tetapi tidak lebih buruk daripada sekarang atau masa-masa lampau, atau
akan naik lebih cepat dari sekarang, atau masa-masa lampau.
2.
Teori Keynes
Teori
Keynes mengatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat hidup di luar batas
kemampuan ekonomisnya. Teori ini menyoroti bagaimana perebutan rezeki antara
golongan-golongan masyarakat bisa menimbulkan permintaan agregat yang lebih
besar daripada jumlah barang yang tersedia (yaitu, apabila timbul inflationary
gap). Selama inflationary gap tetap ada, selama itu pula proses inflasi
berkelanjutan. Teori ini menarik karena:
a.
Menyoroti peranan system distribusi
pendapatan dalam proses inflasi,
b.
Menyarankan hubungan antara inflasi dan
faktor-faktor non-ekonomis.
3.
Teori strukturalis
Teori
strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di
negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran
(inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang.
Teori strukturalis adalah teori inflasi jangka panjang. Disebut teori inflasi
jangka panjang karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor structural dari
perekonomian (yang, menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa berubah
secara gradual dan dalam jangka panjang). Menurut teori ini, ada 2 (dua)
ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa
menimbulkan inflasi.
a.
Ketegaran yang pertama berupa
“ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh
secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini
disebabkan karena :
1)
Harga di pasar dunia dari barang-barang
ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan dibanding dengan harga
barang-barang impor yang harus dibayar.
2)
Supply atau produksi barang-barang
ekspor yang tidak responsive terhadap kenaikan harga (supply barang-barang
ekspor yang tidak elastis). Kelambanan pertumbuhan ekspor ini berarti
kelambanan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan untuk
konsumsi maupun untuk investasi. Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil
kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada penggalakan produksi dalam
negeri dari barang yang sebelumnya diimpor (import substitution strategy).
b.
Ketegaran yang kedua berkaitan dengan
ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri.
E. Biaya
Inflasi
Biaya Inflasi yang
diharapkan muncul karena hal-hal sebagai berikut, Putong (2002: 262-263):
1.
Shoe
leather cost (biaya kulit sepatu) adalah istilah yang menyatakan bahwa bila
inflasi sesuai dengan harapan maka relatif penetapan suku bunga bank akan lebih
besar dari tingkat inflasi.
2.
Menu
cost (biaya menu), yaitu biaya yang muncul karena perusahaan harus sering mengubah
harga dan itu berarti harus mencetak dan mengedarkan katalog baru.
3. Complaint
and opportunity loss cost (biaya komplain dan hilangnya kesempatan). Bila
perusahaan dengan sengaja tidak mau mengganti katalog baru, maka perusahaan
akan mengalami kerugian karena harga akan naik sementara perusahaan menjual
dengan harga lama. Bila tidak sengaja, maka perusahaan akan mendapat komplain
dari pelanggan karena harga tidak sesuai dengan catalog (khusus untuk Negara
yang konsumerismenya relative sangat baik).
4.
Biaya
perubahan peraturan/undang-undang pajak.
5.
Biaya
ketidaknyamanan hidup.
Biaya inflasi yang
tidak diharapkan:
1.
Redistribusi
pendapatan antara debitor dengan kreditor.
2.
Penurunan
nilai uang pensiunan.
F.
Dampak Inflasi
1.
Bila
harga barang secara umum naik terus-menerus, maka masyarakat akan panik,
sehingga perekonomian tidak berjalan normal, karena di satu sisi ada masyarakat
yang berlebihan uang memborong barang, sementara yang kekurangan uang tidak
bisa membeli barang, akibatnya negara rentan terhadap segala macam kekacauan
yang ditimbulkannya.
2.
Sebagai
akibat dari kepanikan tersebut maka masyarakat cenderung untuk menarik tabungan
guna membeli dan menumpuk barang sehingga banyak bank di rush, akibatnya bank
kekurangan dana dan berdampak pada tutup atau bangkrut, atau rendahnya dana
investasi yang tersedia.
3.
Produsen
cenderung memanfaatkan kesempatan kenaikan harga untuk memperbesar keuntungan
dengan cara mempermainkan harga di pasaran, sehingga harga akan terus menerus
naik.
4.
Distribusi
barang relatif tidak adil karena adanya penumpukan dan konsentrasi produk pada
daerah yang masyarakatnya dekat dengan sumber produksi dan yang masyarakatnya
memiliki banyak uang.
5.
Bila
inflasi berkepanjangan, maka produsen banyak yang bangkrut karena produknya
relatif akan semakin mahal sehingga tidak ada yang mampu membeli.
6.
Jurang
antara kemiskinan dan kekayaan masyarakat semakin nyata yang mengarah pada
sentimen dan kecemburuan ekonomi yang dapat berakhir pada penjarahan dan
perampasan.
7.
Dampak
positif dari inflasi adalah bagi pengusaha barang-barang mewah (highend) yang
mana barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise).
8.
Masyarakat
akan semakin selektif dalam mengkonsumsi, produksi akan diusahakan seefisien
mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan.
9.
Inflasi
yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri menjadi
semakin dipercaya dan tangguh.
10.
Tingkat
pengangguran cenderung akan menurun karena masyarakat akan tergerak untuk
melakukan kegiatan produksi dengan cara mendirikan atau membuka usaha, Putong
(2002: 263-264).
G. Cara
Mencegah dan Mengatasi Inflasi
Dengan menggunakan
persamaan Irving Fisher MV=PQ, dapat dijelaskan bahwa inflasi timbul karena MV
naik lebih cepat daripada Q. Jadi untuk mencegah inflasi variabel M atau V
harus dikendalikan, lalu volume Q ditingkatkan. Untuk mengatur M, V, dan Q
dapat dilakukan dengan berbagi kebijakan Nopirin (2005: 34-35), yaitu:
1. Kebijaksanaan Moneter
a. Mengatur jumlah uang yang beredar (M). Salah satu
komponennya adalah uang giral. Uang giral dapat terjadi dalam dua cara, yaitu
seseorang memasukkan uang kas ke bank dalam bentuk giro dan seseorang
memperoleh pinjaman dari bank berbentuk giro, yang kedua ini lebih inflatoir.
Bank sentral juga dapat mengatur uang giral dengan menaikkan cadangan minimum,
sehingga uang beredar lebih kecil. Cara lain yaitu menggunakan discount rate.
b. Memberlakukan politik pasar terbuka (jual/beli surat
berharga), dengan menjual surat berharga, bank sentral dapat menekan
perkembangan jumlah uang beredar.
2. Kebijakan Fiskal
Dengan cara
pengurangan pengeluaran pemerintah serta menekan kenaikan pajak yang dapat
mengurangi penerimaan total, sehingga inflasi dapat ditekan.
3. Kebijakan yang Berkaitan dengan Output
Dengan
menaikkan jumlah output misal dengan cara kebijaksanaan penurunan bea masuk
sehingga impor barang meningkat atau penaikan jumlah produksi, bertambahnya
jumlah barang di dalam negeri cenderung menurunkan harga.
4. Kebijaksanaan Penetuan Harga dan Indexing
Dengan penentuan ceiling harga, serta mendasarkan pada
indeks harga tertentu untuk gaji/upah (dengan demikian gaji/upah secara riil
tetap). Kalau indeks harga naik, maka gaji/upah juga naik, begitu pula kalau
harga turun.
5. Sanering
Sanering
berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi.
Kebijakan sanering antara lain: Penurunan nilai uang, Pembekuan sebagian simpanan pada bank – bank dengan
ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka
panjang oleh pemerintah.
6. Devaluasi
Devaluasi
adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri.
Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi agar nilai
mata uang dalam negeri tetap stabil. Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan
dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing.
Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang
sendiri terhadap mata uang asing.
H. Perkembangan
Inflasi di Indonesia[1]
Seperti halnya yang
terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena inflasi di
Indonesia masih menjadi satu dari berbagai penyakit ekonomi makro yang
meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir
pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat
ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung
kerawanan jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan
miskin yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya
krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah
satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung
meningkat pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah
dengan semakin besarnya presentase golongan masyarakat miskin.
Sehingga bisa
dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia termasuk dalam katagori
tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan masyarakat ekonomi bawah
yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat dikatakan
bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.
I. Sumber-sumber
Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih
lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi
di Indonesia, yaitu:
1.
Jumlah uang
beredar
Menurut sudut pandang
kaum moneteris jumlah uang beredar adalah factor utama penyebab timbulnya
inflasi di Indonesia. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar
(48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar
(51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di
sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses
pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi
dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan
kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang
dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah
uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat inflasi Indonesia
juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali
Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai
awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan
defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek
langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sector keuangan (terutama
dalam hal penurunan reserve requirement).
2.
Defisit
Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang
umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun
sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran
berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal
yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali
menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.
Selama pemerintahan
Orde Lama defisit anggaran belanja dibiayai dari dalam negeri dengan pencetakan
uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward
looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi
sejak era Orde Baru, deficit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar
negeri yang relatif aman terhadap inflasi.
Dalam era pemerintahan
Orde Baru, kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi sejak Pembangunan
Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat
besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari
masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di
dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga
kemampuan sector swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan, menyebabkan
pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini menyebabkan
pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan rutin. Artinya, peran
pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan,
sehingga menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau
dapat dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara. Pada
saat terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di
sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun semakin
meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi
di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi
domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional yang
masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan permintaan
(investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat
ke pemerintah, seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya
tekanan inflasi.
Tetapi, sejak
berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas, sejalan dengan
merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982), menyebabkan
kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional semakin berkurang
pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai
penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara
bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan nasional beralih ke pihak
swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi pun beralih dari
pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta).
Tekanan inflasi pada
periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor
swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor
perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik
yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non
komersial maupun komersial pun semakin meningkat. Akibatnya, tetap saja terjadi
defisit anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu sebabnya
karena pemerintah tetap saja harus menyediakan infrastruktur dan suprastruktur
pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini
dapat dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan
infrastruktur ekonomi masih sangat
terbatas.
3.
Faktor-faktor
dalam Penawaran Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan penyesuaian dari
faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat ini
lebih banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural
bottleneck) yang ada di Indonesia. Harga bahan pangan merupakan salah satu
penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh ketegaran structural yang terjadi di sektor pertanian sehingga
menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan. Ketergantungan perekonomian
Indonesia yang besar terhadap sector pertanian, yang tercermin oleh peranan
nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang
sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga
bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat
mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang
selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap.
Timbulnya excess
demand ini disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan
bahan pangan tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian,
khususnya pangan. Di sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan
oleh berbagai hal, diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode
pertanian yang kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian
seperti, perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian
ke sektor non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas
lahan yang digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan
pertanian yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan
pengembangan kota.
Menurut hasil study
empiris yang dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), adalah: Pertama, imported
inflation ini terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil
di Indonesia terhadap barang-barang impor, baik capital goods; intermediated
good; maupun row material. Transmisi imported inflation di
Indonesia ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata
uang asing dan perubahan harga barang impor di negara asalnya. Bila suatu
ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing,
maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh
produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun
beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini
menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri
subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat
inflasi di dalam negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor,
depresiasi tersebut tidak akan membawa
dampak buruk yang signifikan.
Berkaitan dengan posisi
hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990- an, telah membengkak
dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari
40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui
hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan
ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial, apabila terjadi
fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat mengakibatkan
tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.
Kedua, administrated
goods adalah barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh
pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam
mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung
pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM,
maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait
dengan BBM juga akan ikut dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat
memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah
perbedaan antara actual output (output yang diproduksi) dengan potential
output (output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan full
employment). Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena
faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan
atau efisien.
Keempat, interest
rate juga merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di
Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam
menentukan manakah yang menjadi independent variable atau dependent, antara
inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan
investasi (sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan
dalam komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga
perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi di Indonesia,
yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat
suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan
meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi.
Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest
rate-price spiral.
J. Pengendalian
Inflasi di Indonesia
Inflasi di Indonesia
relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi
bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih
besar dari pada demand pull inflation.
Memang dalam periode
tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan
inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal
tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural
ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara
penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sector pertanian,
yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah
Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan
tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen
moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market
mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa
pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka
pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju
perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki structural
bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama
dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat
menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya
berkarakteristik jangka panjang.
Seperti halnya yang terjadi
di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi,
inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported
inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari
terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing
lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu
harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya
dolar Amerika.
Dalam menstabilkan
nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan instrumen
moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang
diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk
menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan
tingkat harga umum. Tight money policy yang dilakukan dengan cara
menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market mechanism) sangat
tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money suplly,
tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil.
Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya interest
rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah
terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha)
yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan
timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut
dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread
pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada
sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor
moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka
waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya
struktur perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya,
maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya dilakukan melalui
konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara
pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi
hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada
berbagai hambatan dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah
disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
1.
Meningkatkan Supply
Bahan Pangan
Meningkatkan supply bahan
pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di
sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi
dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu
dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta
swasembada pangan.
2.
Mengurangi
Defisit APBN
Mungkin dalam masa
krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan, tetapi dalam
jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk mengurangi
defisit anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan
rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga
dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalam
negeri, diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap
pinjaman dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya
akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
3.
Meningkatkan
Cadangan Devisa
Pertama, perlu
memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current account),
terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan
demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga,
diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus
semakin meningkat.
Kedua, diusahakan agar
dapat mengurangi ketergantungan industri domestic terhadap barang-barang luar
negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri hulu
yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai
sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan
industri yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam
negeri.
Ketiga, mengubah sifat
industri dari yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi
ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export.
Keempat, membangun
industri yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memiliki
kandungan komponen lokal yang relatif tinggi pula.
4.
Memperbaiki
dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi
kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas
sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri
manufaktur nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur
distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan
permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku
bunga dan menyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses
industrialisasi nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam
perekonomian agar market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan
mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat
menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan
debirokrasi di sektor riil karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat
menyebabkan high cost economy.
BAB III
Pentup
Pentup
A. Kesimpulan
Inflasi adalah kecenderungan dari
harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut
meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang
lain.
Inflasi digolongkan menurut beberapa
cara, dapat menurut laju inflasi (ringan, sedang, berat, hiper inflasi), sebab
awalnya (demand atau cost inflation), asalnya (domestic atau imported
inflation).
Ada 3 teori utama mengenai inflasi.
Teori Kuantitas menekankan bahwa penyebab utama inflasi adalah pertambanahn
jumlah uang beredar dan psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa
mendatang. Teori Keynes: inflasi terjadi karenan masyarakat hidup diluar batas
kemampuan sekonomisnya.. Teori strukturalis: sebab inflasi adalah dari kekakuan
struktur ekonomi.
Biaya
Inflasi. Biaya Inflasi yang diharapkan muncul adalah: Shoe leather cost, Menu
cost, Complaint
and opportunity loss cost, Biaya
perubahan peraturan/undang-undang pajak, dan Biaya ketidaknyamanan hidup. Biaya
inflasi yang tidak diharapkan: Redistribusi pendapatan antara debitor dengan
kreditor dan Penurunan nilai uang pensiunan.
Dampak
inflasi antara lain engara rentan timbul
kekacauan, masyarakat menarik tabungan, bank kekurangan dana dam bangkrut,
harga semakin naik, distribusi barang tidak adil, produsen bangkrut, dampak
positifnya adalah masyarakats emakinselektif memilih barang, menumbuhkan
industri kecil, dan pengangguran berkurang karena banyak wirausahawan.
Upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi inflasi adalah yang berkaitan
dengan Kebijaksanaan Moneter, Kebijakan Fiskal, Kebijakan yang Berkaitan dengan
Output, Kebijaksanaan Penetuan Harga dan Indexing, Sanering, dan Devaluasi.
B. Saran
Dengan dua pendekatan (moneterist dan
strukturalist) pada komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja
dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka
panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan
menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan berakibat pada
membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Adwin. 1999. INFLASI DI
INDONESIA: SUMBER-SUMBER PENYEBAB DAN PENGENDALIANNYA, Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Kristen Petra.
Bank Indonesia. 2010. Data Inflasi, (Online), (diakses dari (http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Data+Inflasi/,
pada 11 November 2010).
Boediono. 1982. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 2 Ekonomi Makro Edisi 4.
Yogyakarta: BPFE.
Nopirin.
2000. Ekonomi Makro, Buku 2, Edisi 1.
Yogyakarta: BPFE.
Putong, Iskandar. 2002. Ekonomi Mikro & Makro, Jilid 2. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Soleh, Muhammad. 2008. Perkembangan Moneter (Inflasi) Indonesia,
(Online), (diakses dari http://muhammadsoleh.blogspot.com/2008/02/perkembangan-moneter-inflasi-indonesia.html,
pada 27 September 2010).
LAMPIRAN
Kurva Demand Inflation Kurva
Cost Inflastion
Data
Inflasi (sumber: Bank Indonesia)
Bulan dan tahun
|
Tingkat inflasi
|
Oktober 2010
|
5.67 %
|
September 2010
|
5.80 %
|
Agustus 2010
|
6.44 %
|
Juli 2010
|
6.22 %
|
Juni 2010
|
5.05 %
|
Mei 2010
|
4.16 %
|
April 2010
|
3.91 %
|
Maret 2010
|
3.43 %
|
Februari 2010
|
3.81 %
|
Januari 2010
|
3.72 %
|
Desember 2009
|
2.78 %
|
November 2009
|
2.41 %
|
Oktober 2009
|
2.57 %
|
September 2009
|
2.83 %
|
Agustus 2009
|
2.75 %
|
Juli 2009
|
2.71 %
|
Juni 2009
|
3.65 %
|
Mei 2009
|
6.04 %
|
April 2009
|
7.31 %
|
Maret 2009
|
7.92 %
|
Februari 2009
|
8.60 %
|
Januari 2009
|
9.17 %
|
Desember 2008
|
11.06 %
|
November 2008
|
11.68 %
|
Oktober 2008
|
11.77 %
|
September 2008
|
12.14 %
|
Agustus 2008
|
11.85 %
|
Juli 2008
|
11.90 %
|
[1]
Point H, I, J diambil dari Atmaja,
Adwin. 1999. INFLASI DI INDONESIA:
SUMBER-SUMBER PENYEBAB DAN PENGENDALIANNYA, Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Vol. 1, No. 1, Mei 1999, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Kristen Petra, hal: 59-67.