Makalah Demokrasi Parlementer
BAB
I
PENDAHULUAN
. LATAR
BELAKANG
Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah
cita- cita rakyat Indonesia yang telah
berasil dicapai, walaupun hal itu harus dicapai dengan segala kesulitan
dan pengorbanan seluruh rakyat Indonesia pada saat itu. Namun walaupun telah
merdeka dan diakui di mata dunia, bangsa Indonesia pada saat itu menghadapi
harus menentukan masa depannya sendiri . pda masa itu di samping kemerdekaan
telah diraih disisi lain banuyak terdapat kemiskinan, rendahnya tingkat
pendidikan, dan tradisi-tradisi otoriter , maka banyak hal yang bergantung pada
kearifan dan nasib baik pemimpin negri. Dalam tahun 1950 kendali pemerintah
masih di tangan kaum nasionalis perkotaan dari generasiyang lebih tua dari
partai- partai sekuler.
Masalah- masalah social yang dihadapi
bangsa Indonesia setelah terlepas dari belenggu penjajah, sisa- sisa
penderitaan rakyat mendorong para elite negri untuk segera melakukan penataan
dalam hal pemerintahan dan institusi.
Dari belanda dan jepang Indonesia mewarisi tradisi- tradisi,
asumsi-asumsi dan struktur hokum sebuah Negara polisi. Rakyat Indonesia pada
waktu itu sebagian terdiri dari mereka yang buta huruhdabn terbiasa dengan
kekuasaan yang otoriter dan peternalistik, dan berda dalam posisi yang sulit
untuk meminta pertaggungjawanban dari para elite politik. Mereka yang sadar
politik adalah mereka yang tinggal di perkotaan, para politikus Jakarta yang
mengusung demokrasi,kebanyakan adalah para elite politik yang merasa sebagai
pengikut suatu budaya perkotaan baru yang lebih unggul di bandingkan masyarakat
di daerah.
Untuk menata dan membangun birokrasi
suatu Negara yang baru mulai berdiri sangatlah susah, sangat sulit dalam
menentukan system pemerintahan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia, Untuk
itu pada tahun 1950 tidak mengheramnkan bila percobaan demokrasi mengfalami
kegagalan. Banyak terjadi korupsi, kesatuan wilayah mulaiterancam, keadilan
social belum tercapai, banyak nya permasalahan ekonomi yang belum terpecahkan.
Dengan mempelajari terbentuk Demokrasi parlementer, serta pelaksanaanya kita
dapat menyimpulkan pelajaran- pelajaran yang dapat diambil untuk meningkatkan
dan memperbaiki system pemerintahan yang sesuai untuk diterapkan di Negara
Indonesia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah
latar belakang dibentuknya Demokrasi Parlementer
?
2. Bagaimanakah
kepemimpinan dalam periode- periode Demokrasi Parlementer ?
3. Apakah
penyebab gagalnya Demokrasi
Parlementer ?
C.
TUJUAN
1. Mengetahui latar Belakang dibentuknya Demokrasi Parlementer.
2. Mengetahui kepemimpinan dalam periode-periode Demokrasi Parlementer.
3. Mengetahui
penyebab gagalnya Demokrasi Parlementer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses
Terbentuknya Demokrasi Parlementer
Pada
tahun 1950, para polikus Jakarta tentu saja membentuk suatu sistem parlementer
seperti yang paling baik yang mereka ketahui: demokrasi multi partai dari
negeri Belanda. Kabinet bertanggung jawab kepada pelemen satu majelis (Dewan
Perwakilan Rakyat) yang jumlah anggotanya 232 orang yang mencerminkan apa yang
dianggap sebagai kekuatan-kekuatan partai Masyumi mendapatkan 49 kursi (21%),
PNI 36 kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), Partai Katholik 9
kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%), dan Murba 4 kursi (1,75),
sedangkan lebih dari 42% kursi dibagi diantara partai-partai atau perorangan-perorangan
lainya, yang tak satupun dari mereka ini mendapatkan dari 17 kursi. Ini
merupakan suatu struktur yang tidak menopang pemerintah yang kuat, tetapi
umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila
pemilihan umum di laksanakan. Soekarno selaku presiden, tidak memiliki
kekuasaan riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet
baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
B.
Periode
dan Tokoh dalam Demokrasi Parlementer
Setelah
Konferensi Meja Bundar kabinet pertama di bawah Republik Indonesia Serikat
berada di bawah pimpinan wakil Presiden Mohammad Hatta. Dengan bantuan Sutan
Sjahrir, Hatta terutama bertugas untuk membereskan berbagai masalah yang
berhubungan dengan pemindahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia. Hatta
kemudian meletakkan jabatan perdana menteri saat Indonesia kembali menjadi
negara kesatuan pada 17 agustus 1950. Tugas utama Hatta adalah menjalankan apa
yang disepakati dalam KMB. Hatta pun mengantar Indonesia menjadi anggota PBB
pada bulan september 1950.
Dalam
tugas itu Hatta masih harus menghadapi masalah dengan para pasukan KNIL yang
tak puas dan mengadakan pemberontakan dengan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
dipimpin Westerling di Bandung dan juga situasi yang mirip di Sulawesi Selatan.
Agustus 1950 Indonesia kembali ke negara kesatuan, Hatta meletakkan jabatan
sebagai perdana menteri dan tetap sebagai wakil Presiden.
Setelah
itu kabinet demi kabinet jatuh bangun silih berganti enam kali hingga diberlakukannya
keadaan darurat Maret 1957. Kabinet-kabinet masa Demokrasi Parlementer adalah
sebagai berikut:
Masa Kerja
|
Perdana Menteri
|
Pendukung Utama
|
|
1
|
Desember
1949 -Agustus 1950
|
Mohammad
Hatta
|
tokoh
non-partai
|
2
|
September
1950 – Maret 1951
|
Mohammad
Natsir
|
Masjumi,
P.S.I.
|
3
|
April
1951 – Februari 1952:
|
Sukiman
|
Masjumi,
PNI
|
4
|
April
1952 – Juni 1953
|
Wilopo
|
PNI
, Masjumi, P.S.I.
|
5
|
Juli
1953 – Juli 1955
|
Ali
Sostroamidjojo
|
PNI,
NU, P.S.I.I.
|
6
|
Agustus
1955 – Maret 1956
|
Burhanuddin
Harahap
|
Masjumi
|
7
|
Maret
1956 – Maret 1957
|
Ali
Sostroamidjojo
|
PNI
|
(ditabelkan dari sumber: Herbert
Feith, 1962)
Mengenai kabinet-kabinet ini beberapa
pakar peneliti Indonesia membedakan karakter berdasarkan tokoh yang dominan
dalam tiap kabinet. Bernard Dahm membagi
dalam dua jenis karakter, tokoh administrator dan tokoh ideologis. Feith lebih
tegas menyebut tokoh ideologis sebagai “solidarity
Maker”. Contoh paling menonjol adalah pada dua karakter Dwitunggal pimpinan
nasional. Sukarno lebih menonjol sebagai tokoh penggalang solidaritas, sedang
Hatta menonjol sebagai ahli dalam manajemen kenegaraan.
Selama tujuh kali ganti kabinet, empat
kabinet pertama merupakan kabinet administrator yang harus mengatasi berbagai
persoalan bangsa. Kabinet Ali pertama merupakan kelompok yang lebih ideologis,
mementingkan solidaritas politik di dalam dan luar negeri (penyelenggara
Konperensi Asia Afrika). Kabinet Burhanuddin Harahap yang berumur hanya enam
bulan bekerja keras mengatasi inflasi dan menyelenggarakan pemilihan umum yang
sudah tertunda sejak 1953. Kabinet Ali kedua hanya mengganti kabinet sebelumnya
amat lemah karena situasi politik mulai berubah dengan hasil pemilihan umum
yang tak memuaskan para politisi sendiri.
Partai-partai yang bermain dalam kancah
politik masa ini tak bisa dibaca secara jelas, terutama kiprah penggiatnya.
Dalam tiap partai terdapat anggota senior yang telah berkiprah pada masa penjajahan.
Golongan senior ini sering bertentangan dengan generasi muda dalam partainya
sendiri karena, umumnya para senior lebih “ideologis” dibanding generasi muda
yang lebih pragmatis melihat masalah penyelenggaraan negara. Sukiman dan Wilopo
adalah tokoh PNI muda yang bersikap lebih toleran pada Masjumi dan P.S.I.
dibanding seniornya.
Dalam situasi demikianlah kabinet demi
kabinet jatuh oleh mosi tidak percaya dari Parlemen. Tohokan pada kabinet dapat
datang dari segala persoalan, baik yang nyata maupun yang hanya dijadikan
alasan untuk menjatuhkan. Masalah penyelesaian KMB dan nasib Irian merupakan
sasaran tembak pada semua kabinet masa itu.
1. Kabinet
Mohamad Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Kesempatan
menentukan formasi kabinet pertama periode ini diberikan pada Masjumi sebagai
partai terbesar dalam parlemen. Presiden memberikan mandat pada Mohammad Natsir
yang bekerjasama dengan P.S.I. dalam menentukan menteri-menterinya. Kabinet di
bawah Mohamad Natsir mencoba membenahi negara setelah Indonesia memperoleh
kedaulatannya. Dalam bidang keamanan Natsir berhasil dalam menumpas bandit dan
teror di Sumatera dan membungkam gerakan separatis Republik Maluku Selatan
(RMS). Ribuan senjata api dapat dikumpulkan kembali. Dengan Kahar Muzakar,
panglima di Sulawesi Selatan, perundingan berjalan baik. Gerakan Darul Islam di
Jawa Barat (dilakukan pasukan Hizbullah pimpinan Kartosuwirjo) yang sulit
diajak berunding baru berhasil ditumpas tahun 1958.
Tugas
yang paling berat adalah membahas masalah Irian Barat dengan pihak Belanda,
karena dalam kesepakatan KMB (Konferensi Meja Bundar) Irian Barat untuk
sementara waktu masih berada di bawah pemerintah Kerajaan Belanda. Perundingan
berlangsung sangat sulit hingga Natsir mendapat kecaman luas dari parlemen
maupun dari media surat kabar. Tak sampai satu tahun Kabinet Natsir
mengundurkan diri. Irian Barat sebetulnya masalah diplomatik yang sangat sulit
diselesaikan secara internasional sampai pada tahun 1963 melalui PBB Irian
diberikan pada pemerintah Indonesia. Selama masa Demokrasi Parlementer masalah
Irian merupakan umpan tembak kabinet-kabinet selama bertahun-tahun (Smith,
1983: 84).
2. Kabinet
Sukiman (26 April 1951 – 23 Februari 1952)
Setelah
jatuhnya kabinet Natsir Presiden memberikan mandat pada Mr. Sartono selaku
ketua PNI dan pimpinan DPR untuk membentuk kabinet baru. Sartono sulit
mendapatkan kerjasama dengan Masjumi hingga akhirnya mandat dikembalikan.
Presiden kemudian menunjuk Sukiman (tokoh PNI muda) untuk jadi formatur, dan
berhasil membentuk kabinet di bawah pimpinannya.
Kabinet
Sukiman merupakan gabungan para menteri dari unsur PNI dan Masjumi. Saat itu NU
(Nahdatul Ulama) tak bersedia ikut duduk dalam kabinet dan memilih keluar dari
Masjumi untuk membentuk partai sendiri. Masjumi yang tadinya merupakan partai fusi
Muhammadiyah dan NU bentukan Jepang kembali memisahkan diri seperti keadaannya
pada masa penjajahan Belanda.
Serangan
pada kabinet ini terutama mengarah kepada kecurigaan masyarakat bahwa,
diam-diam Sukiman setuju menerima bantuan MSA (Mutual Security Aid, pakta pertahanan Amerika, Inggris dan beberapa
negara di Pasifik). Perundingan ini dianggap menyalahi kebijakan nasional
sebagai negara bebas aktif, tak memihak salah satu blok militer. Masyarakat dan
media menentang keras usaha ini, hingga akhirnya kabinet Sukiman menangguhkan
perjanjian tersebut.
Masalah
yang cukup peka adalah Menteri Kehakiman melepaskan 950 orang tahanan politik
yang bersimpati pada partainya, merupakan sebagian dari 17.000 tahanan yang
terlibat usaha pemberontakan hasil tangkapan pihak tentara. Tentara merasa
diasingkan dengan pelepasan tanpa konsultasi itu (Feith, 1962: 185). Kejadian
ini menjadi awal dari ketidakcocokan tentara dengan penguasa sipil. Didera
masalah luar negeri dan terjerat masalah dalam negeri, kabinet Sukiman hanya
dalam 10 bulan akhirnya jatuh.
3. Kabinet
Wilopo (1 April1952 – 2 Juni 1953)
Kabinet
Wilopo yang didukung partai Masjumi dan P.S.I. sebetulnya mempunyai modal bagus
untuk membenahi masalah negara. Di dalamnya duduk Sumitro Djojohadikusumo,
doktor ekonomi dari Rotterdam yang piawai menangani masalah keuangan. Selain
itu duduk pula Insinyur Djuanda dan Ahli hukum Sjafruddin Prawiranegara. Tapi
rupanya masalahnya sangat kompleks seperti diutarakan Sumitro dalam diskusi
dengan Benjamin Higgins penasihat ekonomi PBB: “…arena politik Indonesia
merupakan kancah perjoangan. Banyak sekali tujuan-tujuan sosial serta ekonomi
yang harus dicapai dan yang kesemuanya malah cenderung memperlambat pengambilan
keputusan mengenai proyek-proyek pembangunan tertentu”. (Higgins dalam Smith
1983: 86)
Kesulitan
makin menjadi-jadi dengan perseteruan Angkatan Darat dengan Parlemen yang
sedang membahas pengurangan anggaran untuk tentara karena situasi ekonomi yang
memburuk. Dalam parlemen muncul juga kecurigaan tentara akan melakukan kudeta.
Saling tak suka dan curiga makin meruncing hingga pada tanggal 17 Oktober 1952
Angkatan Darat berdemonstrasi membawa tank dan meriam ke istana, dan mengusung
ribuan massa yang menuntut dibubarkannya Parlemen. Demonstran itu dikomando
oleh para pemuda berikat kepala merah yang berperan sebagai pengatur gerakan.
Dalam memoarnya Manai Sophian (1991: 335) menuliskan bahwa massa tersebut
berasal dari Tanjung Priok dan Senen, diusung dengan truk yang disediakan
tentara. Kudeta lunak ini berhasil
dijinakkan Presiden Sukarno dengan keahliannya berpidato, massa meninggalkan
istana dengan damai atas perintahnya.
Akibat
peristiwa itu cukup besar, para pendukung tentara pusat segera dipecat. Selama
bulan Oktober dan November para panglima, yang baru saja dilantik oleh pimpinan
pusat untuk memimpin pasukan‑pasukan daerah, digulingkan oleh para mantan
panglima. Pada bulan Desember 1952 Nasution diskors dan se lama tiga tahun dia
tetap berada dalam daftar non aktif. Selama masa itu dia menjadi lebih matang
untuk mempertimbangkan kembali taktik‑taktiknya, kemudian menyimpulkan bahwa
lebih baik menghadapi Sukarno sebagai sekutu daripada sebagai lawan. (Ricklef
1981:369)
Di
dalam tubuh Angkatan Darat mulai mendua antara pro dan kontra peristiwa, tetapi
juga tentara mulai memikirkan posisinya yang makin lemah dan perlu mencari cara
yang lebih cerdik bermain dalam politik. Saat itu Nasution membentuk Partai
IPKI (Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia) yang menjadi wadah tentara dalam
Pemilihan Umum yang direncanakan tahun 1955. Peristiwa itu juga memperbesar
kepercayaan diri Presiden Sukarno bahwa karismanya masih memukau rakyat
Indonesia. Kepercayaan ini digunakan sebagai penyeimbang dalam berbagai konflik
politik masa itu.
Akibat
yang nyata adalah jatuhnya Kabinet Wilopo yang tadinya diharapkan sebagai
“kabinet teknokrat” yang akan membereskan
masalah sosial ekonomi negeri ini. Selain peristiwa 17 Oktober, kabinet juga
diserang keras atas peristiwa pemindahan paksa petani dari perkebunan asing di
Sumatera Utara yang mengakibatkan kematian lima petani. Menjelang jatuhnya
kabinet ini juga muncul pemberontakan kaum Muslim garis keras di bawah
Kartosuwirjo di Jawa Barat. Pemberontakan ini diikuti oleh Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan.
4. Kabinet
Ali Pertama (Juli 1953 – Juli 1955)
Setelah
selama dua bulan bernegosiasi dan “dagang sapi” (istilah ini muncul pada tahun
1953 di surat kabar-surat kabar sebagai kiasan politik untuk negosiasi politik
antar partai) maka terbentuklah Kabinet di bawah Ali tokoh PNI, Sostroamidjojo.
Kabinet Ali berhubungan baik dengan Sukarno. Meskipun Sukarno melepaskan keanggotaan
sebagai PNI demi netralitas sebagai negarawan, tapi kedekatannya dengan PNI tak
dapat dipungkiri.
Melalui
Kabinet Ali, Sukarno memperluas kiprah politiknya ke dunia internasional yang
dimulai dengan kontak antar negara pemrakarsa konferensi Kolombo di Ceylon.
Kemudian forum diperluas pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung yang
dihadiri wakil dari 29 negara. Kegiatan ini mengangkat nama Indonesia, dan
tentunya juga nama Sukarno di kancah internasional. Tetapi di dalam negeri
kebijakan ini menuai kritik dari masyarakat, partai politik lawan PNI dan surat
kabar, karena dianggap pemborosan dalam situasi ekonomi yang buruk.
Sebagian
menteri kabinet Ali adalah wajah baru dan enam orang adalah tokoh masa
perjuangan yang dekat dengan Presiden. Berbeda dengan kabinet sebelumnya,
tokoh-tokohnya tak terlalu merasa didesak untuk menyelesaikan masalah ekonomi.
Mereka lebih giat dengan isu-isu seperti nasionalisasi, Indonesianisasi pada
berbagai usaha pribumi, seperti; perbankan, perkapalan, usaha impor, penggilingan
padi dan lain-lain yang semula dikuasai oleh pengusaha Belanda dan Cina. Namun
juga pada kabinet ini inflasi mulai melaju cepat menyebabkan nilai valuta asing
tak realistis, hingga memukul para penghasil barang ekspor (Feith, 1962: 343).
Kabinet
ini pun dikenal sebagai kabinet yang lebih menerima politik berhaluan kiri,
dengan persetujuan prinsip dari Ali untuk menjaga komunis tetap hidup selama
masa pemerintahan Sukarno (Smith 1986: 109). Menteri pertahanan Iwa
Kusumasumantri yang juga berhaluan kiri mengusulkan dibentuknya “pasukan
sukarela” untuk memberantas pemberontakan Darul Islam di pedalaman Jawa Barat.
Pada saat itu pula Daud Beureuh berhubungan dengan pemberontak di Jawa Barat
dan melakukan pemberontakan pula di Aceh atas nama negara Islam (Feith, 1962:
345). Gangguan demi gangguan datang mengguncang jalannya kabinet yang masa
kerjanya paling panjang dibanding yang lain, terutama dari pihak tentara yang
mulai berkonsolidasi kembali. Berbagai keputusan pengangkatan pejabat di
kalangan tentara dihalangi oleh kepala staf Angkatan Darat. Masa itu muncul
tokoh pembangkang Kolonel Zulkifli Lubis yang bersikap berhadapan dengan
kabinet Ali.
Kabinet
Ali juga menghadapi masalah dalam rencana Pemilihan Umum yang akan
diselenggarakan pada bulan September 1955 (untuk wakil dalam parlemen) dan
Desember 1955 (wakil Konstituante). Kampanye berlangsung panas hingga jatuh
korban di pihak tentara sebagai penjaga ketertiban. Meskipun kemudian
demonstrasi dilarang oleh tentara, tapi kerusuhan tetap terjadi di mana-mana.
Nada
pesimisme makin menjadi-jadi karena tingginya inflasi dan lajunya impor barang
mewah hingga kabinet masa itu dijuluki “Kabinet Opel” oleh kaum oposisi dan
surat kabar. Perkawinan Sukarno dengan seorang janda, Hartini, juga menuai
kritik besar di masyarakat. Sukses diplomasi internasional karena
penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tak cukup untuk mengangkat
popularitasnya di dalam negeri. Apalagi dengan dibongkarnya kasus “Hospitality Committee”
(penyediaan perempuan teman tidur bagi para tamu delegasi KAA) membuat
peristiwa besar itu menjadi cacat di mata masyarakat.
Pukulan
terakhir datang dari pihak tentara dengan memboikot upacara pelantikan pejabat
Angkatan Darat oleh Kabinet yang tak disetujui kelompok tentara.
Ketakberhasilan bernegosiasi dengan pihak tentara dan ditambah berbagai
kegagalan ekonomi akhirnya membuat Kabinet Ali Sostroamidjojo meletakkan
jabatan. Di sini terlihat pihak tentara mulai mendapatkan kemenangan dalam
politik dengan keberhasilannya menjatuhkan kabinet.
5. Kabinet
Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet
pimpinan Burhanuddin Harahap yang berlatar Masjumi mendapat tugas “memulihkan kewibawaan moral
pemerintah, menyelenggarakan pemilihan umum dan mempercepat pembentukan
parlemen yang baru” (Feith, 417-418). Yang mengkhawatirkan adalah sikap tentara
menangkapi orang dengan berbagai dugaan korupsi. Bahkan pada hari pelantikan,
kabinet Polisi Militer menangkap bekas Menteri Kehakiman atas tuduhan korupsi.
Tekanan
datang dari partai-partai yang berkuasa untuk memanipulasi data perekonomian
agar pemerintah tampak berhasil menjelang Pemilihan Umum. Pada bulan September
harga bensin diturunkan untuk meraih simpati dalam pemilihan umum. Pada kabinet
ini pula pertama dibentuk badan baru untuk mengatasi korupsi dan mengawasi
lintas valuta asing.
Dalam
masa ini pula Indonesia mulai membuka perundingan dengan Belanda mengenai
rencana pembentukan Uni Indonesia – Belanda dan penyelesaian masalah Irian
Barat, yang lama terabaikan. Semula media menyangsikan keberanian kabinet ini
untuk bersikap tegas pada Belanda. Justru kabinet inilah yang pada awal 1956
membatalkan persekutuan kerjasama dengan Belanda yang selama itu tak pernah
mencapai realisasi.
Dalam
mengatasi pemberontakan Darul Islam di Jawa dan Sumatera, kabinet ini selalu
mengalami kegagalan. Juga kabinet ini tak dapat menggalang kerjasama dengan
pihak militer. Hal ini terlihat dari ditentangnya pengangkatan pejabat
militer tanpa konsultasi, baik dari Angkatan
Darat maupun angkatan Udara. Ketidakharmonisan tampak nyata dengan diangkatnya
Kolonel Nasution, yang saat itu masih dalam sanksi non aktif, sebagai kepala
staf. Juga kabinet Burhanuddin Harahap tak berjalan mesra dengan Presiden,
terbukti dengan penolakan memberi izin rencana pidato Sukarno di Bandung dalam
rangka kampanye.
Pemilihan
Umum yang menjadi tugas utama kabinet ini
berjalan sukses. Pada hari pemilihan umum 29 September 1955 rakyat
berbondong-bondong dengan khidmat menjalani prosesi yang baru pertama kali
diadakan sejak merdeka. Meski terdapat kritik di sana-sini tentang kecurangan,
tapi pemilihan umum ini dianggap pemilihan umum pertama di Indonesia yang
jujur.
1
|
PNI (Partai Nasional Indonesia)
|
8.434.654
|
2
|
Masjumi (Majelis Syuro Indonesia)
|
7.903.886
|
3
|
NU (Nahdatul Ulama)
|
6.955.141
|
4
|
PKI (Partai Komunis Indonesia)
|
6.176.914
|
5
|
P.S.I.I. (Partai Sarekat Islam Indonesia)
|
1.091.160
|
6
|
Parkindo (Partai Kristen Indonesia)
|
1.03.325
|
7
|
Partai Katolik
|
770.740
|
8
|
P.S.I. (Partai Sosialis Indonesia)
|
753.191
|
9
|
IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
|
539.824
|
Perolehan Pemilihan Umum Parlemen 1955 Tk. Nasional
Partai
yang memperoleh di bawah 500ribu suara: Perti, GPP, PRN, PPPRI, Partai Murba,
Partai Buruh, PRI, PIR-Wongso, PIR-Hazairin, Permai, Baperki, Gerinda, Partai Persatuan
Daya, PRIM, AKUI, Acoma, PPTI, PRD, R.Soedjono dkk (sumber:
Feith, Pemilihan Umum 1955, Gramedia)
Hasil Pemilihan Umum ternyata
mengecewakan kaum politisi karena tak sesuai dengan bayangan mereka tentang
posisi partainya. Ketidakpuasan ini terutama muncul dari para politisi yang
sejak awal kemerdekaan melalui komposisi parlemen bayangan mendapat kedudukan
baik, ternyata setelah pemungutan suara popularitasnya tak seperti yang diduga.
Justru partai Komunis yang tak pernah secara nyata duduk dalam pemerintahan
meraih posisi ke empat. Kursi Parlemen hasil Pemilihan Umum dibagi antara 28
partai sesuai formasi hasil Pemilihan Umum. Tentu ini tak menyenangkan bagi 20
partai yang tadinya selama kemerdekaan memperoleh kenyamanan tanpa berjuang.
Kegalauan juga terjadi saat
Konstituante hasil Pemilihan Umum tak berhasil mengatasi perbedaan pandangan
dalam membuat Undang-Undang Dasar baru. Berbagai masalah di atas ditambah
dengan naiknya harga beras nyaris dua kali lipat di Jawa (dan lebih tinggi lagi
di luar Jawa) membuat kabinet Burhanuddin Harahap meletakkan mandat pada Maret
1956.
6. Kabinet
Ali Kedua (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Ali
Sostroamidjojo kembali beroleh mandat untuk kedua kalinya memimpin kabinet,
meski secara umum khalayak kurang senang menerimanya. Keleluasaan dan
kecongkakan kaum elite, orang kaya baru, sikap bermewah-mewah, korupsi di
kalangan pegawai negeri, mencari keuntungan untuk diri sendiri, menjadi ciri
masa itu yang memperlihatkan lemahnya persatuan dan tujuan bersama secara nasional.
Dalam
masa kerjanya yang nyaris setahun Kabinet Ali berusaha menyusun kembali agenda
pembangunan dengan mengundangkan “Rencana Lima Tahun”, mengatur: kepemilikan
tanah, otonomi daerah dan pembagian keuangan pusat daerah, wajib militer,
undang-undang perkawinan. Tapi kabinet hingga lima bulan waktu habis hanya
untuk berdebat tanpa kata sepakat. Sementara Sukarno mengembangkan terus kiprah
internasionalnya dengan mengunjungi berbagai negara besar bersama delegasi yang
besar pula.
Kabinet
Ali kedua seperti juga yang pertama, menekankan kembali gerakan
nasionalisasinya. Kabinet memutuskan organisasi pribumi mana saja yang boleh
mengambil alih usaha ekspedisi pelabuhan yang semula dipegang oleh orang
Belanda dan Cina. Hal ini kemudian dapat kecaman karena sangat rawan korupsi.
Ketidaksenangan masyarakat juga muncul karena kebijakan otonomi yang
berlarut-larut. Kecurigaan terhadap pemerintah pusat menjadi benih munculnya
kembali gerakan kesukuan yang menebar kebencian antar suku.
Hubungan
dengan pihak tentara merupakan krisis terbesar masa kabinet ini. Pemerintah
pusat tak berhasil menjalankan kebijakan terhadap militer di daerah. Sejak masa
revolusi kekuatan nyata di daerah berada di tangan tentara. Rakyat terpencil
melihat tentara sebagai wujud pejuang yang memerdekakan Indonesia, dan militer
di daerah bertindak sebagai semacam “warlord”
yang lebih berkuasa dari kepala staf di Jakarta. (Smith, 1983: 115) Untuk menunjang kesejahteraan tentara,
panglima daerah melakukan penyelundupan ke luar negeri. Kegiatan itu menonjol
terutama di Sumatera dan Sulawesi Utara.
Nasution
sebagai kepala staf di pusat menghadapi banyak musuh dalam tubuh Angkatan Darat
sendiri. Musuh utama adalah Kolonbel Simbolon yang sebenarnya lebih senior dari
Nasution untuk menduduki jabatan kepala staf. Bahkan wakil kepala staf sendiri,
Zulkifli Lubis, berusaha menggulingkan kepala stafnya sendiri dengan dukungan
kalangan panglima. Tapi niat itu bisa digagalkan hingga Lubis dipecat dan
meneruskan tentangannya dengan membela panglima daerah. Peristiwa ini yang
antara lain melahirkan pembrotakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Pertahanan Rakjat Semesta) di Sulawesi.
Kabinet
Ali kedua ini mendapat kecaman keras juga dari pihak pers dalam kasus dugaan
korupsi bekas Menteri Kehakiman, Roeslan Abdoelgani yang tak kunjung diproses.
Selain inti gejolak anti Belanda makin memanas dengan serangan-serangan pada
orang, perusahaan ataupun kedutaan asing yang digerakkan oleh pemuda komunis.
Sementara itu Sukarno mulai lepas tangan dari kabinet yang pasti akan jatuh
ini.
Sukarno
mulai menyebar pidato tentang tak efektifnya kerja parlemen. Sukarno juga
mengkritik mengenai ketidakcocokan demokrasi liberal yang dijalankan sambil
meghembuskan gagasannya tentang “Demokrasi Terpimpin”. Situasi tak menentu ini
menyebabkan Mohamad Hatta meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden.
Ketidakpuasan
di kalangan militer pun memuncak dengan munculnya bibit pemberontakan di
Sumatera (PRRI: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta
(Perjuangan Rakjat Semesta). Sukarno dalam pidatonya mencurigai keterlibatan
pihak asing yang menjadi pendukung para pemberontak. Nasution mulai mendekati
Presiden dan mengumumkan keadaan darurat perang untuk mengatasi kekacauan.
Kabinet Ali kedua praktis berhenti dengan diumumkannya keadaan darurat (SOB) 14
Maret 1957.
C.
Berakhirnya
Demokrasi Parlementer
Situasi makin memanas baik secara umum di masyarakat
maupun di kalangan militer. Ketidakpuasan muncul di mana-mana dan masyarakat
makin pesimis mengenai harapan kesejahteraan dan kemakmuran yang dijanjikan.
Situasi ini menjadi kesempatan Sukarno untuk mengambil alih pucuk pimpinan,
meninggalkan sistem parlementer yang selama tujuh tahun berjalan dirasakan tak
memberikan solusi yang baik, dan juga kurang memberi wewenang pada dirinya
untuk lebih berperan besar dalam pemerintahan.
Mengatasi situasi perpecahan dan pemberontakan, pada
tanggal 14 Maret 1957 Presiden Soekarno, atas dukungan A.H. Nasution,
mengumumkan keadaan darurat perang (SOB, Staat
van Oorlog en Beleg) (Ricklefs,1981: 386).
Dalam hal ini Nasution berhasil mencapai ambisinya untuk mengecilkan
pengaruh parlemen dan memberi keleluasaan lebih besar pada militer (dalam hal
ini Angkatan Darat) untuk menduduki posisi strategis dalam pemerintahan.
Tentara memperoleh sumber dana cukup karena saat nasionalisasi perusahaan
Belanda, pimpinan usaha diberikan pada para petinggi militer.
Langkah SOB ini berlanjut dengan pencanangan Demokrasi
Terpimpin, pembentukan Kabinet Presidensil, dan pembubaran Konstituante yang
dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum 1955 karena tak berhasil merumuskan
Undang-Undang Dasar yang baru. Tentangan yang muncul dapat diatasi oleh
Undang-undang Keadaan Darurat. Pada masa sesudahnya Masjumi yang pertama kena
dampaknya dan dibubarkan karena tak bisa menerima konsep Nasakom (kerjasama
dalam pemerintahan antara golongtan Nasional – Agama – Komunis). Partai berikut
yang dibubarkan adalah P.S.I. dan Murba. Dalam pers korbannya adalah Mochtar
Lubis dari harian Indonesia Raya yang selalu kritis terhadap pemerintah.
Pengekangan kebebasan makin diketatkan dan keuntungan diraih oleh golongan
Komunis yang makin dekat dengan Sukarno. Setelah PNI dan NU dijinakkan, saingan
utama Partai Komunis tinggal Angkatan Darat.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Republik Indonesia
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Sejak saat itu
otoritas pemerintahan dipegang Presiden sendiri sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata dan Pemimpin Besar Revolusi. Demikianlah akhir periode
demokrasi pertama yang sangat dinamis di Indonesia
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia
dimulai sejak Pemerintah Indonesia mengganti bentuk Negara Federal, Republik
Indonesia Serikat, menjadi negara kesatuan Republik Indonesia pada bulan
Agustus 1950. Masa itu ditandai oleh situasi politik yang
sangat dinamis, di mana berbagai ideologi dan kepentingan saling berebut
mengisi kemerdekaan yang baru diperoleh.
Selama
kurun waktu 1950-1959 sering
terjadi
pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah
mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang
ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku
Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur
untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan
negosiasi-negosiasi yang rumit. Kabinet
Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung
penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya
persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak
kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai
besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet
parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.
Penyebab
kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi parlementer adalah akibat
kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia
ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah.
Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di
parlemen.
Demokrasi Parlementer
berakhir bulan Maret 1957 saat Presiden
Sukarno dan Kolonel Nasution menyatakan negara dalam keadaan darurat (SOB) dan
Demokrasi Parlementer diganti menjadi demokrasi terpimpin di bawah komando
langsung Presiden Soekarno.
Semoga bermanfaat ...