Makalah Pengeluaran Investasi Masyarakat
BAB I
PENDHULUAN
A.
Latar
Belakang
Investasi
merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal
mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya
pembangunan. Penggairahan iklim investasi di Indonesia dimulai dengan
dindangkannya undang-undang No.1 /tahun 1967 tentang penanaman modal asing
(PMA) dan Undang-undang No. 6/tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri
(PMDN).perbaikan iklim penanamn modal tak henti-hentinya dilakukan pemerintah,
terutama sejak awal repelita IV atau tepatnya tahun 1984. Melalui berbagai
paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dilakukan penyederhanaan mekanisme
perijinan, penyederhanaan tata cara impor barang modal, pelunakan syarat-syarat
investasi, serta perangsangan investasi untuk sector-sektor dan di
daerah-daerah tertentu.
Untuk
melakukan incestasi di pasar modal diperlukan pengalaman serta naluri bisnis
untuk menganalisis efek-efek mana yang akan dibeli, mana yang akan dijual, dan
mana yang tetap dimiliki. Mereka yang ingin berkecimpung dalam jual beli saham
harus meninggalkan budaya ikut-ikutan, berjudi, dan sebagainya yang tidak
rasional. Sebagai investor harus rasional dalam menghadapi pasar jual beli
saham. Selain itu, investor harus mempunyai ketajaman perkiraan masa depan
perusahaan yang sahamnya akan dibeli atau dijual.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian investasi?
2. Bagaimanakah
perkembangan dan sasaran umum investasi?
3. Bagaimanakah
pembentukan modal domestic bruto?
4. Bagaimanakah
investasi swasta-pMDN dan PMA?
5. Bagaimanakah
kebijakan investasi Indonesia?
6. Bagaimanakah
determinan investasi swasta di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian investasi.
2. Mengetahui
perkembangan dan sasaran umum investasi.
3. Mengetahui
pembentukan modal domestic bruto.
4. Mengetahui
investasi swasta-pMDN dan PMA.
5. Mengetahui
kebijakan investasi Indonesia.
6. Mengetahui
determinan investasi swsta di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
INVESTASI
Investasi
dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanaman-penanaman modal
atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau
perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi
barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Pertambahan
jumlah barang modal ini memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih
banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang.
(Sadono:
Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
Faktor-faktor
utama yang menentukan tingkat investasi adalah:
1.
Tingkat keuntungan yang diramalkan akan
diperoleh.
2.
Pajak
3.
Suku bunga.
4.
Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa
yang akan datang.
5.
Kemajuan teknologi.
6.
Tingkat pendapatan nasional dan
perubahan-perubahannya.
7.
Keuntungan yang diperoleh
perusahaan-perusahaan.
Ada
tiga tipe pengeluaran investasi. Pertama,
investasi dalam barang tetap (business
fixed investment) yang melingkupi peralatan dan struktur dimana dunia usaha
membelinya untuk dipergunakan dalam produksi. Kedua, investasi perumahan
(residential investment) melingkupi perumahan baru dimana orang membeliya untuk
ditempati atau pemilik modal membeli untuk disewakan. Ketiga, investasi
inventori (inventory investment) meliputi bahan baku dan bahan penolong, barang
setengah jadi dan barang jadi.
Peranan
investasi terhadap kapasitas produksi nasional memang sangat besar, karena investasi
merupakan penggerak perekonomian, baik untuk penabahan faktor produksi maupun
berupa peningkatan kualitas faktor produksi, investasi ini nantinya akan memperbesar
pengeluaran masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan bekerja
multilier effect. Faktor produksi akan mengalami penyusutan, sehingga akan
mengurangi produktivitas dari faktor-faktor produksi tersebut. Supaya tidak terjadi
penurunan produktivitas (kapasitas) nasional harus diimbangi dengan investasi
baru yang lebih besar dari penyusutan faktor-faktor produksi. Akhirnya
perekonomian masyarakat (nasional) akan berkembang secara dinamis dengan naiknya investasi yang lebih besar dari penyusutan
faktor produksi tersebut. Bila penambahan investasi lebih kecil dari penyusutan
faktor-faktor produksi, maka terjadi stagnasi perekonomian untuk dapat berkembang.
(Nasution: Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
B.
PERKEMBANGAN
DAN SASARAN UMUM INVESTASI
Semenjak
diberlakukannya undang-undang No 1
tahun 1967 jo no.11/tahun 1970 tentang
PMA dunia usaha meningkat pesat terutama dalam dasawarsa 1980 sesudah
pemerintah meluncurkan sejumlah paket kebijaksanaan deregulasi, total investasi
dan debdal terirokratisasi .dalam dasawarsa 1970 bagian tersebar dari penanaman
modal negeri berasal dari sector pemerintah. Selama paruh waktu pertama
dasawarsa 1990 sebagaian besar investasi domestic berasal dari dunia usaha.
Dalam
PJP I peningkatan investasi. nilai investasi total bisa mencapai bilangan 34,7
triliun. itu berarti setiap tahun mengalami kenaikan 10 persen. Pada masa sepuluh
tahun pertama 1970 investasi menurun peranan investasi swasta tapi investasi pemerintah.
pada tahun 1980 hingga tahun 1987 sejalan merosotnya dari sector minyak bumi
dan pembayaran utang luar negeri, penerapan investasi pemerintah menurun.
Perkembangan investasi sepanjang PJP I bahkan melebihi pertumbuhan produksi
nasional. Rasio investasi terhadap produksi nasional melonjak. Lonjakan rasio
ini merupakan pertanda kenaikan kapasitas produk nasional. Namun tak kalah
pentingnya, kenaikan investasi yang cukup berarti dimungkinkan dalam
pembiayaannya, baik tabungan dalam negeri maupun luar negeri.
Mayoritas
investasi oleh pihak swasta tertanam di sector sekunder atau sector pengolahan
baik PMDN maupun PMA berdasarkan jumlah proyek maupun investasinya. Dalam hal
ini di ukur menurut nilai peretujuan investasi, subsector industry tekstil lebih
dinikmati dalam negeri mnamun kalau investor luar negeri lebih menyukai sector
industry kimia dan farmasi.
Khusus
mengenai PMA, nilai investasi terbesar dari jepang pada sector nilai
proyek-proyek otomotif dan mnufaktur. Selain jepang ada juga Australia, Amerika
Serikat, Jerman, Singapura dan Belanda. Indonesia menghadapi berbagai tantangan
dalam mencerahkan iklim investasi masa datang, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Di dalam negeri tantangan berupa masih belum memadainya sarana dan
prasarana perekonomian berupa barang-barng public. sementara keuanga pemerintah
lebih efisien di banding swasta. Tantangan lain adalah rendahnya produktivitas
pekerja dan efisiensi produksi, kelangkaan tenaga kerja yang terampil. Dan
disamping tantangan yang di miliki ada juga peluang yakni kemantapan situasi
politik di dalam Negara, SDM yang berkompeten, keterbukaan perekonomian kita.
C.
PEMBENTUKAN
MODAL DOMESTIK BRUTO
Pertumbuhan ekonomi berarti
perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang
diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.
Perkembangan ekonomi yang berlaku dari waktu ke waktu dan menyebabkan
pendapatan nasional rill semakin berkembang. Tingkat pertumbuhan ekonomi
menunjukan prestasi kenaikan pendapatan nasional rill pada suatu tahun tertentu
dibandingkan dengan pendapatan nasional
rill pada tahun sebelumnya. (Sadono:Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP (Gross National Product) tanpa memandang bahwa
kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan penduduk dan tanpa
memandang apakah perubahan dalam struktur ekonominya.
(Suryana
Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
PDB diyakini sebagai indikator
ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu negara. Perhitungan
pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu
negara. Pada umumnya perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari
pendapatan nasionalnya sebagai gambaran, Bank Dunia menentukan apakah suatu
negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang melalui pengelompokan
besarnya PDB, dan PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang
dan jasa dalam perekonomian.
(Herlambang:Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
Menurut Samuelson, PDB adalah
jumlah output total yang dihasilkan dalam batas wilayah suatu negara dalam satu
tahun. PDB mengukur nilai barang dan jasa yang di produksi di wilayah suatu
negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu periode waktu tertentu.
Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak
dimasukan ke dalam PDB. Sebagai gambaran PDB
Indonesia baik oleh warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara
asing (WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak diikuti sertakan produk WNI di
luar negeri.
Sukirno mendefinisikan PDB sebagai
nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksi oleh faktor-faktor
produksi milik warga negara tersebut dan warga Negara asing. Sedangkan Wijaya menyatakan
bahwa PDB adalah nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang
dan jasa-jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam suatu periode waktu
tertentu biasanya satu tahun. Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir
barang-barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara selama periode
tertentu biasanya satu tahun.
(Ni Nyoman:Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
·
Pengaruh Produk Domestik Bruto Terhadap
Investasi
Terdapat keterkaitan yang erat antara
pertumbuhan ekonomi dalam pendapatan nasional
dan investasi. Hubungan keduanya menjadi suatu sorotan para ekonom,
baik dari kalangan Klasik maupun Neo Klasik. Teori pendapatan nasional
Keynesian yang menggunakan pendekatan pengeluaran agregatif dimana besarnya pendapatan
nasional suatu negara diukur dari komponen-konponen expenditure para pelaku
ekonominya lewat anggaran-anggarannya yaitu, sektor rumah tangga (consumtion),
perilaku usaha dan dunia usaha tercermin lewat komponen investasi yang ditanam
(I), pemerintah melalui anggaran belanjanya (G) dan sektor perdagangan internasional yang tercermin
lewat nilai ekspor/impor netto-nya. Teori diatas selanjutnya menurunkan
pertimbangan parsial pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam
melakukan investasi. Seperti halnya
dalam konsumsi yang dilakukan oleh
sektor rumah tangga, investasi oleh para pengusaha ditentukan oleh beberapa
faktor. Salah satu diantara faktor-faktor penting yang dipertimbangkan adalah
besarnya nilai pendapatan
nasional yang dicapai.
(Sukirno
Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
Sudono, dalam kebanyakan analisa
mengenai penentuan pendapatan nasional pada umumnya variabel investasi yang
dilakukan oleh pengusaha berbentuk investasi autonomi (besaran /nilai
tertentu investasi yang selalu sama pada berbagai tingkat pendapatan nasional). Tetapi
adakalanya tingkat pendapatan nasional sangat besar pengaruhnya pada
tingkat investasi yang
dilakukan.
(Isa Salim Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa pendapatan nasional yang tinggi akan
memperbesar pendapatan masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang
tinggi itu akan memperbesar permintaan atas barang-barang dan jasa. Maka
keuntungan yang dicapai oleh sektor usaha dapat mencapai targetnya, dengan
demikian pada akhirnya akan mendorong dilakukan investasi-investasi baru pada sektor
usaha. Dengan demikian, apabila nilai pendapatan nasional semakin
bertambah tinggi, maka investasi akan
bertambah tinggi pula. Dan sebaliknya semakin rendah nilai pendapatan nasional,
maka nilai permintaan investasinya akan semakin rendah pula. Pengembangan yang
dilakukan para ekonom Neo Klasik pada teori Keynes ini terlihat pada formulasi
yang dikembangkannya pada model akselerator investasi. Dijelaskan bahwa laju investasi
adalah sebanding dengan perubahan output dalam perekonomian.
Pembentukan modal domestic bruto
dalam konteks agregat yakni melihat sumbangan dan perkembangan variable I dalam
identitas pendapatan nasional Y=C. Data I merupakan data keseluruhan domestic
secara bruto, meliputi investasi oleh swasta (PMDN dan PMA) maupun oleh
pemerintah. Cara kedua adalah PMDN dan PMA saja. Perkembangan investasi berdasarkan
dana perbankan atau kebijakan moneter. Perkembangan investasi dalam kontek
agregat, pembentukan modal domestic bruto dalam hal ini. Hal ini dipandang
sebagai kesatuan pemahaman, dan pembahasan tentang investasi. Data pembentukan
modal domestic bruto (I) dalam kontek pendapatan nasional. Data pembentukan
modal bruto mempunyai 2 unsur yaitu pembentukan modal tetap domestic bruto dan
ditambah perubahan stok.
Pembentukan modal tetap domestic
bruto mencakup pengadaan, pembuatan, atau pembelian barang modal baru dari
dalam negeri dan barang modal baru dari luar negeri. Barang modal yang di beli
atau di buat sendiri adalah barang yang tahan lama untuk di produksi dan usia
pakai lebih dari 1 tahun.
Pembentukan
modal tetap domestic bruto di bedakan atas 2:
a.
Pembentukan modal tetap domestic berupa
bangunan
b.
Pembentukan modal tetap berupa
mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan produksi
Data yang digunakan dasar Adala dari
BPS dalam menghitung pembentukan modal tetap domestic bruto adalah data
penyediaan bahan atau barang yang di gunakan untuk perkiraan bangunan, data
penyediaan barang modal berupa mesin, alat perlengkapan untuk pembentuk modal
tetap domestic bruto.
·
DATA INVESTASI INDONESIA TAHUN 2003-2009
Posisi
Kredit Investasi Perbankan Menurut Sektor Ekonomi 2003 - 2009
|
|||||||||||||||||||
(Miliar
Rupiah)
|
|||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||
Akhir
Periode
|
Pertanian
|
Pertambangan
|
Perindustrian
|
Perdagangan
|
Jasa-jasa
|
Lainnya
|
Jumlah
|
||||||||||||
2003
|
|
12,535
|
|
2,110
|
|
31,046
|
|
14,174
|
|
34,451
|
|
142
|
|
94,458
|
|
||||
2004
|
|
13,427
|
|
4,155
|
|
36,621
|
|
19,578
|
|
43,180
|
|
163
|
|
117,124
|
|
||||
2005
|
|
15,631
|
|
3,635
|
|
39,312
|
|
22,196
|
|
52,018
|
|
187
|
|
132,979
|
|
||||
2006
|
|
19,233
|
|
5,392
|
|
40,781
|
|
25,685
|
|
58,407
|
|
182
|
|
149,680
|
|
||||
2007
|
|
24,084
|
|
10,642
|
|
44,712
|
|
30,699
|
|
74,727
|
|
207
|
|
185,071
|
|
||||
2008
|
|
29,826
|
|
11,465
|
|
56,054
|
|
39,200
|
|
119,444
|
|
223
|
|
256,212
|
|
||||
2009
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
|
Januari
|
31,396
|
|
11,766
|
|
57,619
|
|
38,715
|
|
119,877
|
|
225
|
|
259,598
|
|
||||
|
Februari
|
31,165
|
|
11,513
|
|
58,779
|
|
39,201
|
|
122,749
|
|
227
|
|
263,634
|
|
||||
|
Maret
|
31,638
|
|
11,710
|
|
56,113
|
|
39,757
|
|
121,979
|
|
224
|
|
261,421
|
|
||||
|
April
|
31,708
|
|
10,947
|
|
55,924
|
|
39,836
|
|
121,376
|
|
271
|
|
260,062
|
|
||||
|
Mei
|
32,943
|
|
10,239
|
|
54,570
|
|
39,799
|
|
124,142
|
|
283
|
|
261,976
|
|
||||
|
Juni
|
35,686
|
|
10,322
|
|
55,833
|
|
40,259
|
|
126,050
|
|
291
|
|
268,441
|
|
||||
|
Juli
|
35,466
|
|
10,105
|
|
55,828
|
|
40,559
|
|
131,617
|
|
317
|
|
273,892
|
|
||||
|
Agustus
|
35,410
|
|
13,239
|
|
57,458
|
|
41,134
|
|
132,256
|
|
339
|
|
279,836
|
|
||||
|
September
|
35,282
|
|
12,600
|
|
54,906
|
|
42,174
|
|
132,859
|
|
294
|
|
278,115
|
|
||||
D.
INVESTASI
SWASTA – PMDN DAN PMA
Penanaman
modal oleh pihak swasta di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun seiring
dengan situasi ekonomi di tanah air dan dunia internasional. Terhitung sejak 1
Januari 1967 sampai dengan 30 April 1995, secara komulatif telah disetujui
9.237 proyek PMDN dengan nilai total investasi Rp 322.894,9 miliar dan 3.383
proyek PMA dengan nilai total investasi US$ 109.305,7 juta. Gairah investasi
swasta menampakkan tanda-tanda menggembirakan mulai tahun 1980. Nilai investasi
yang dimohonkan, dan kemudian disetujui, meningkat pesat sejak saat itu,
terutama penanaman modal dalam negeri. Kemudian mulai tahun 1987 meningkat
lebih pesat lagi.
1. Perkembangan Semasa Pjp I
Dalam
Pelita I maupun Pelita II, mayoritas penanaman modal tertuju ke sektor industri
pengolahan. Selama Pelita I persetujuan PMDN masih terpusat di Jawa. Baru sejak
Pelita II penyebaran ke luar Jawa mulai terlaksana, terutama ke Sumatera.
Walaupun demikian, Jawa tetap dominan menyerap proyek-proyek PMDN dan PMA yang
ada.
Beberapa
hal penting yang berkenaan dengan kebijaksanaan investasi selama kurun dua
Pelita pertama layak untuk diketahui. Pada tahun 1973 pemerintah membentuk
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menggantikan lembaga embrionalnya yang
bernama Team Teknis Penanaman Modal. Pada tanggal 22 Januari 1974, setelah
melalui satu Sidang Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional, terbit Instruksi
Presiden yang mengharuskan investasi-investasi asing di masa yang akan datang
berbentuk usaha patungan (joint venture)
dengan pemodal pribumi. Instruksi tersebut dikeluarkan dalam rangka
meningkatkan peran serta golongan ekonomi nasional, termasuk golongan ekonomi
lemah yang sebagian besar dipegang oleh penduduk pribumi. Instruksi itu juga
mengatur ketentuan perbandingan penguasa saham perusahaan PMDN antara pribumi
dan nonpribumi. Intinya, perbandingan penguasa saham antara pribumi dan
nonpribumi di dalam perusahaan PMDN harus diusahakan agar mencapai keseimbangan
minimal 50%:50%.
Selama
Pelita III, jumlah PMDN berkembang pesat, baik dalam jumlah proyek maupun nilai
investasinya. Periode Pelita III merupakan satu-satunya kurun waktu sepanjang
era PJP I dimana dominasi PMA yang disetujui bukan berasal dari Jepang. Gairah
investasi meningkat luar biasa pada Pelita IV. Jumlah proyek serta nilai
investasi domestik dan asing melonjak hebat. Dibandingkan Pelita sebelumnya,
PMDN yang disetujui meningkat sekitar 100%. Sektor yang menarik para investor
adalah sektor industri pengolahan, dengan lokasi pilihan utama wilayah Jawa
Barat dan DKI Jakarta atau persisnya kawasan Jabotabek. Dalam periode Pelita IV
(1 April 1984-31 Maret 1989), terbit sejumlah keputusan penting berkenaan
dengan penanaman modal. Diantaranya Instruksi Presiden No. 5/ Tahun 1984; Surat
Keputusan Ketua BKPM No. 10/ Tahun 1985; serta Instruksi Menteri Dalam Negeri
No. 20 dan No. 21/ Tahun 1986. Dokumen-dokumen yang saling melengkapi dan
mendukung ini pada intinya berisikan kebijaksanaan penyederhanaan prosedur
perijinan penanaman modal dan penyempurnaan modal serta penyempurnaan Daftar
Skala Prioritas. Kebijaksanaan deregulatif inilah yang antara lain merangsang
investasi semasa Pelita IV sehingga perkembangannya amat mengesankan.
Penanaman
modal oleh kalangan swasta semakin marak sepanjang babakan Pelita V. Sepanjang
periode ini pemerintah secara beruntun meluncurkan sejumlah kebijakan
deregulasi dalam bidang penanaman modal. Pada Pelita V, angka persetujuan PMDN
dan PMA membumbung tinggi, bahkan relatif masih berlanjut hingga permulaan Repelita
VI yang merupakan babakan awal era Pembangunan Jangka Panjang tahap kedua.
2. Ketimpangan Investasi
Situasi
penanaman modal di tanah air, sebagaimana halnya dengan keadaan ekonomi
Indonesia pada umumnya, tak luput dari gejala ketidakmerataan. Ketimpangan
investasi terjadi secara sektoral dan secara regional. Secara sektoral,
sebagian besar modal yang ditanam, baik modal dalam negeri maupun modal asing,
tertumpuk di sektor industri pengolahan. Sedangkan, investor asing tidak
tertarik pada penanaman modal di sektor yang menjadi sumber nafkah utama bagi
mayoritas rakyat Indonesia. Mereka menjatuhkan pilihan kedua pada sektor
perdagangan.
Ketimapangan
sektoral investasi tak pelak merupakan salah satu sumber ketimpangan pertumbuhan
antar sektor. Oleh karenanya, mudah difahami mengapa sektor industri pengolahan
tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Dominasi investai yang sangat
mencolok di sektor industri pengolahan telah memacu pertumbuhan sektor ini
dengan sangat cepat.
Ketimpangan-ketimpangan
penanaman modal, apakah sektoral ataupun regional, tentu saja tak layak
dibiarkan berlarur-larut. Harus ada upaya penyebaran distribusinya ke
sektor-sektor di luar industri pengolahan dan ke daerah-daerah luar Jawa. Sektor-sektor
lain perlu ditanami modal secara signifikan agar bisa mengimbangi pertumbuhan
sektor industri pengolahan. Daerah-daerah di luar Jawa perlu disiapkan untuk
menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Berbagai kebijaksanaan formal yang selama
ini telah digulirkan untuk maksud tersebut, agaknya masih belum memadai.
Pemerintah perlu memancingnya dengan tindakan nyata agar para calon investor
tertarik untuk lebih menyebarkan penanaman modalnya, tidak hanya mengerubungi
sektor industri pengolahan, tidak selalu berkutat di pulau Jawa. Dalam hal ini,
penyediaan atau pengadaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan faktor
strategis.
3. Kesenjangan Realisasi Investasi
Masalah
yang timbul dalam pencaturan investasi swasta di tanah air bukan semata-mata
persoalan ketimpangan sektoral dan regional. Akan tetapi juga masalah
kesenjangan antara rencana yang disetujui dengan realisasi investasinya.
Data-data mengenai perkembangan investasi yang mengesankan, harus dicerna
secara hati-hati dan arif.
Banyak
faktor bisa dikemukakan untuk menjelaskan sebab-sebab rendahnya tingkat
realisasi investasi swasta. Sebagian dari faktor itu bersifat
subjektif-internal, artinya berkaitan dengan situasi perekonimian di dalam
negeri Indonesia sendiri, termasuk keadaan si calon investor. Sebagian lagi
bersifat objektif-eksternal, yakni bertalian dengan konstelasi perekonomian
internasional atau dunia pada umumnya. Faktor subjektif-internal misalnya
adalah gejala ekonomi biaya tinggi di tanah air, sehingga mengurungkan niat
investor untuk merealisasikan rencana investasinya. Sedangkan faktor
objektif-eksternal dapat berupa lebih menariknya investasi di luar negeri
daripada di dalam negeri. Baik karena hasil-balik yang lebih besar di luar
negeri, ataupun karena fasilitas atau kemudahan berinvestasi di sana, atau
karena kemudahan dan kemurahan sumberdaya di Negara lain (misalnya bahan baku
dan tenaga kerja).
E.
KEBIJAKSANAAN
INVESTASI
Semasa
orde lama Indonesia sempat menentang msuknya modal asing, khususnya modal dari
Negara-negara barat. Bukan hanya modal, kita pun sempat bersikap anti produk
mereka, bahkan juga anti musik barat. Karena rejim pemerintahan pada waktu itu lebih
condong bergaul dengan Negara-negara blok timur yang komunis. Modal asing dan
barang-barang impor yang membanjiri pasaran dalam negeeri keika itu pada
umumnya datangnya dari Negara uni Soviet dan RRC. Pada tahun-tahun awal
pemerintahannya, rejim orde baru menerbitkan dua undang-undang berkenaan dengan
investasi, yaitu Undang-Undang No. 1/Tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA)
dan undang-Undang No. 6/Tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri. Dalam
UU No. 1/Tahun 1967 antara lain ditetapkan:
·
Penanaman modal dibebaskan dari ajak
deviden serta pajak perusahan selama lima tahun; keringanan pajak perusahaan
PMA sebesar levih dari 50% selama lima tahun; ijim untuk menutup
kerugian-kerugian perusahaan sampai periode sesudah tax boliday itu, dan pembebasan penanam modal asing dari bea impor
atas mesin serta perlengkapan dan bahan baku.
·
Jaminan tidak akan dinasionkisasikannya
perusahaan-perusahaan asing dan kalaupun dinasionalisasikan akan diganti rugi.
·
Masa operasional PMA adalah 30 tahun
dengan perpanjangannya tergabtung pada hasil perundingan ulang.
·
Keleluasaan bag penanam modal asing
untuk membawa serta atau memilih personil manajemennya dan untuk menggunakan
tenaga ahli asing bgi pekerjaan-pekerjaan yang belum bisa ditangani oleh
tenaga-tenaga Indonesia.
·
Kebebasan untuk mentransfer dalam bentuk
uang semula (valuta asing) keuntungan dan dana penyusutan yang diperoleh dari
penjualan saham yang disediakan bagi orang-orang Indonesia.
·
Sektor-sektor atau bidang usaha yang
dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu meliputi pekerjaan umum (seperti
pelabuhan dan pembangkit tenaga listrik); media masa; pengangkutan (pelayaran
dan penerbangan); prasarana; serta segala industry yang berhubungan dengan
kegiatan produksi untuk keperluan pertahanan Negara.
UU No. 6/Tahun 1968
berintikan pemberian sejumlah kemudahan dalam bidang perpajakan dan kredit
kepada para penanam modal dalam negeri. Undang-undang ini disempurnakan dengan
UU No. 12/Tahun 1970.
1. BKPM
dan Peraturan Investasi
Tidak
lama setelah memberlakukan UU no. 6/Tahun 1967, dalam sebuah keputusan
Presidium Kabinet No. 17/EK/I/1967 tanggal 19 Januari 1967, pemerintah
membentuk sebuah lembaga untuk mengatur serta menangani perihal investasi
barnama Badan Pertimbangan penanaman modal. Namun sekitar setahum kemudian,
melalui keputusan Presiden No. 285/1968 badan tersebut digantikan oleh lembaga
lain bernama Team Teknis Penanaman Modal. Lima tahun kemudian, dengan keputusan
Presiden No. 10/1973 tanggal 26 Mei 1973, Organisasi ini diganti lagi menjadi
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Pada
tanggal 3 oktober 1977 pemerintah mengeluarkan keputusan yang memberikan
wewenang penuh dan tunggal kepada BKPM untuk mengurusi penanaman modal. Dengan
keputusan itu, BKPM bertanggungjawab penuh menangani investasi. Kedudukannya
langsung dibawah presiden, tidak lagi sebagai sebuah lembaga yang sekedar
melayani departemen dan instansi pemerintah lain.
Pemantapan
institusional dalam rangka merangsang penanaman modal diiringi dengan berbagai
ketentuan di bidang peraturan dan perundang-undangan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi pada umumnya berkisar di masalah
pengaturan penguasaan saham, prosedur perijinan, penggunaan tenaga kerja,
kaitan dengan upaya peningkatan ekspor, keringanan pajak, serta ketentuan
mengenai sector atau bidang usaha yang boleh ( masih terbuka ) dan tidak boleh
( masih tertutup) untuk dimasuki oleh investasi baru. Peihal terakhir,
pemerintah mengumumkannya melalui sebuah daftar bernama daftar skala prioritas
(DSP, sebutannya dulu) atau Daftar Negative Investasi ( DNI, sebutannya kini). Pada
tahun 1984-1985 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penyederhanaan prosedur
perijinan penanaman modal. Untuk tingkat nasional, ketentuan itu digariskan
dalam instruksi presien no. 5/ tahun 1984 dan surat keputusan ketua BKPM No.
10/1985. Untuk pelaksanaannya operasionalnya di tingkat daerah kebijaksanaan
serupa dituangkan melalui instruksi Menteri Dalam Negeri No. 20 dan No. 21
tahun/1986.
2.
Deregulasi Investasi
Penyederhanaan-penyederhanaan
peraturan di bidang penanaman modal berlanjut terus sepanjang tahun 1990-an.
Isinya khusus menyangkut upaya-upaya untuk lebih memikat lagi penanaman modal
asing. Peraturan ini dikenal sebagai ketentuan “disinvestasi”. Kemudian,
sejumlah paket deregulasi yang terdiri atas sejumlah keputusan presiden dan
peraturan menteri diluncurkan pada tanggal 7 juli 1992. Paket kebijaksanaan ini
mengatur 10 bidang. Dua bidang menyangkut import, sedangkan 8 bidang berkaitan
dengan investasi atau produksi.
Lima belas tahun
kemudian, pemerintah menderegulasi kembali sejumlah peraturan dalam bidang
penanaman modal. Rangkaian kebijaksanaan yang diluncurkan tanggal 23 Oktober
1993 ini, dikenal dengan sebutan Pakto 1993, mengatur 6 bidang. Dua bidang
berkaitan dengan penanaman modal, khususnya menyangkut pengalihan saham PMA dan
perijinan. Pakto 1993 ini diluncurkan sebagai tanggapan pemerintah atas reaksi
dunia usaha terhadap PP No. 17/tahun 1992. Kalangan pengusaha menilai PP
tersebut tidak menarik. Oleh karena itu, Pakto 1993 lebih bersifat pelunakan
terhadap ketentuan-ketentuan di PP No. 17/tahun 1992, Khususnya mengenai alih
saham atau disinvestasi bagi PMA 100%.
Deregulasi demi
deregulasi telah diluncurkan, namun semua itu ternyata masih dipandang belum
cukup, baik oleh dunia usaha maupun oleh pemerintah. Pada tahun 1994 keluar
peraturan baru yang ramai menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat luas,
peraturan pemerintah No. 20/tahun 1994 ini memperlunak lagi ketentuan tentang
penanaman modal asing 100%.empat hal tersebut adalah perihal permodlan, lokasi usaha, kegiatan
usaha, dan ijin usaha.
F.
DETERMINAN
INVESTASI SWASTA DI INDONESIA
Variable-variabel yang mempengaruhi
investasi swasta di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh produk
domestic bruto, tingkat suku bunga baik di dalam maupun di luar negeri, jumlah
uang beredar, pengeluaran pemerintah, serta kebijaksanaan-kebijaksanaan
deregulasi yang dikeluarkan pemerintah. Adhita Prawatyo meneliti pengaruh
variable-variabel tersebut secara parsial dengan mengajukan model-model sebagai
berikut:
1. InIS₁
= ɑ₀ + ɑ₁InPDB
+ ɑ₂InMBMBB₁
+ ɑ₃D
2. InIS₁
= b₀
+ b₁InSBDN + b₂InSBLN₁
+b₃D
3. InIS₁
= c₀
+ c₁InUB₁
+ c₂D
4. InIS₁
= d₀
+ d₁Inpp₁
+ d₂D
Peneliti mengajukan
juga impor barang modal dan bahan baku (MBMBB) sebagai salah satu argumen atau
determinan, namun ternyata tidak signifikan. Dalam hal ini,
IS : investasi swasta (PMDN +
PMA)
PDB :
produk domestik bruto
MBMBB : impor
barang modal dan bahan baku
SBDN :
tingkat suku bunga di dalam negeri
SBLN :
tingkat suku bunga di luar negeri
UB :
jumlah uang beredar (MI)
PP :
pengeluaran pemerintah
D : kebijakan deregulasi pemerintah
(dummy)
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Investasi
dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanaman- penanaman modal
atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau
perlengkapan-perlengkapan produksi untuk
menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia
dalam perekonomian.
Faktor-faktor utama yang menentukan
tingkat investasi adalah:
1.
Tingkat keuntungan yang diramalkan akan diperoleh.
2.
Suku bunga.
3.
Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa yang akan datang.
4.
Kemajuan teknologi.
5.
Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya.
6.
Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan.
Investasi Swasta
– PNDM dan PMA
Penanaman modal
oleh pihak swasta di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun seiring dengan
situasi ekonomi di tanah air dan dunia internasional.
Kebijaksanaan
Investasi
ü BKPM
dan Peraturan Investasi
ü Deregulasi
Investasi
DAFTAR
PUSTAKA
Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Halim, Abdul.
2005. Analisis Investasi. Jakarta:
Salemba Empat.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=13¬ab=12