Makalah Pengeluaran Investasi Masyarakat

BAB I
PENDHULUAN

A.    Latar Belakang
Investasi merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan. Penggairahan iklim investasi di Indonesia dimulai dengan dindangkannya undang-undang No.1 /tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan Undang-undang No. 6/tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN).perbaikan iklim penanamn modal tak henti-hentinya dilakukan pemerintah, terutama sejak awal repelita IV atau tepatnya tahun 1984. Melalui berbagai paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dilakukan penyederhanaan mekanisme perijinan, penyederhanaan tata cara impor barang modal, pelunakan syarat-syarat investasi, serta perangsangan investasi untuk sector-sektor dan di daerah-daerah tertentu.
Untuk melakukan incestasi di pasar modal diperlukan pengalaman serta naluri bisnis untuk menganalisis efek-efek mana yang akan dibeli, mana yang akan dijual, dan mana yang tetap dimiliki. Mereka yang ingin berkecimpung dalam jual beli saham harus meninggalkan budaya ikut-ikutan, berjudi, dan sebagainya yang tidak rasional. Sebagai investor harus rasional dalam menghadapi pasar jual beli saham. Selain itu, investor harus mempunyai ketajaman perkiraan masa depan perusahaan yang sahamnya akan dibeli atau dijual.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian investasi?
2.      Bagaimanakah perkembangan dan sasaran umum investasi?
3.      Bagaimanakah pembentukan modal domestic bruto?
4.      Bagaimanakah investasi swasta-pMDN dan PMA?
5.      Bagaimanakah kebijakan investasi Indonesia?
6.      Bagaimanakah determinan investasi swasta di Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian investasi.
2.      Mengetahui perkembangan dan sasaran umum investasi.
3.      Mengetahui pembentukan modal domestic bruto.
4.      Mengetahui investasi swasta-pMDN dan PMA.
5.      Mengetahui kebijakan investasi Indonesia.
6.      Mengetahui determinan investasi swsta di Indonesia.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN INVESTASI
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanaman-penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal ini memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang.
(Sadono: Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
Faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah:
1.      Tingkat keuntungan yang diramalkan akan diperoleh.
2.      Pajak
3.      Suku bunga.
4.      Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa yang akan datang.
5.      Kemajuan teknologi.
6.      Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya.
7.      Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan.
Ada tiga tipe pengeluaran investasi.  Pertama, investasi  dalam barang tetap (business fixed investment) yang melingkupi peralatan dan struktur dimana dunia usaha membelinya untuk dipergunakan dalam produksi. Kedua, investasi perumahan (residential investment) melingkupi perumahan baru dimana orang membeliya untuk ditempati atau pemilik modal membeli untuk disewakan. Ketiga, investasi inventori (inventory investment) meliputi bahan baku dan bahan penolong, barang setengah jadi dan barang jadi.
Peranan investasi terhadap kapasitas produksi nasional memang sangat besar, karena investasi merupakan penggerak perekonomian, baik untuk penabahan faktor produksi maupun berupa peningkatan kualitas faktor produksi, investasi ini nantinya akan memperbesar pengeluaran masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan bekerja multilier effect. Faktor produksi akan mengalami penyusutan, sehingga akan mengurangi produktivitas dari faktor-faktor produksi tersebut. Supaya tidak terjadi penurunan produktivitas (kapasitas) nasional harus diimbangi dengan investasi baru yang lebih besar dari penyusutan faktor-faktor produksi. Akhirnya perekonomian masyarakat (nasional) akan berkembang secara dinamis dengan  naiknya investasi yang lebih besar dari penyusutan faktor produksi tersebut. Bila penambahan investasi lebih kecil dari penyusutan faktor-faktor produksi, maka terjadi stagnasi perekonomian untuk dapat berkembang.
(Nasution: Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).

B.     PERKEMBANGAN DAN SASARAN UMUM INVESTASI
Semenjak diberlakukannya undang-undang  No 1 tahun  1967 jo no.11/tahun 1970 tentang PMA  dunia usaha  meningkat pesat  terutama dalam dasawarsa 1980 sesudah pemerintah meluncurkan sejumlah paket kebijaksanaan deregulasi, total investasi dan debdal terirokratisasi .dalam dasawarsa 1970 bagian tersebar dari penanaman modal negeri berasal dari sector pemerintah. Selama paruh waktu pertama dasawarsa 1990 sebagaian besar investasi domestic berasal dari dunia usaha.
Dalam PJP I peningkatan investasi. nilai investasi total bisa mencapai bilangan 34,7 triliun. itu berarti setiap tahun mengalami kenaikan 10 persen. Pada masa sepuluh tahun pertama 1970 investasi menurun peranan investasi swasta tapi investasi pemerintah. pada tahun 1980 hingga tahun 1987 sejalan merosotnya dari sector minyak bumi dan pembayaran utang luar negeri, penerapan investasi pemerintah menurun. Perkembangan investasi sepanjang PJP I bahkan melebihi pertumbuhan produksi nasional. Rasio investasi terhadap produksi nasional melonjak. Lonjakan rasio ini merupakan pertanda kenaikan kapasitas produk nasional. Namun tak kalah pentingnya, kenaikan investasi yang cukup berarti dimungkinkan dalam pembiayaannya, baik tabungan dalam negeri maupun luar negeri.
Mayoritas investasi oleh pihak swasta tertanam di sector sekunder atau sector pengolahan baik PMDN maupun PMA berdasarkan jumlah proyek maupun investasinya. Dalam hal ini di ukur menurut nilai peretujuan investasi, subsector industry tekstil lebih dinikmati dalam negeri mnamun kalau investor luar negeri lebih menyukai sector industry kimia dan farmasi.
Khusus mengenai PMA, nilai investasi terbesar dari jepang pada sector nilai proyek-proyek otomotif dan mnufaktur. Selain jepang ada juga Australia, Amerika Serikat, Jerman, Singapura dan Belanda. Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mencerahkan iklim investasi masa datang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri tantangan berupa masih belum memadainya sarana dan prasarana perekonomian berupa barang-barng public. sementara keuanga pemerintah lebih efisien di banding swasta. Tantangan lain adalah rendahnya produktivitas pekerja dan efisiensi produksi, kelangkaan tenaga kerja yang terampil. Dan disamping tantangan yang di miliki ada juga peluang yakni kemantapan situasi politik di dalam Negara, SDM yang berkompeten, keterbukaan perekonomian kita.

C.    PEMBENTUKAN MODAL DOMESTIK BRUTO
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Perkembangan ekonomi yang berlaku dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional rill semakin berkembang. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukan prestasi kenaikan pendapatan nasional rill pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional  rill pada tahun sebelumnya. (Sadono:Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf). Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP (Gross   National Product) tanpa memandang bahwa kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan penduduk dan tanpa memandang apakah perubahan dalam struktur ekonominya.
(Suryana Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
PDB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya perbandingan  kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasionalnya sebagai gambaran, Bank Dunia menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang melalui pengelompokan besarnya PDB, dan PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian.
(Herlambang:Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
Menurut Samuelson, PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan jasa yang di produksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak dimasukan ke dalam PDB. Sebagai gambaran PDB   Indonesia baik oleh warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak diikuti sertakan produk WNI di luar negeri.
Sukirno mendefinisikan PDB sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan warga Negara asing. Sedangkan Wijaya menyatakan bahwa PDB adalah nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam suatu periode waktu tertentu biasanya satu tahun. Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir barang-barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara selama periode tertentu biasanya satu tahun.
(Ni Nyoman:Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
·         Pengaruh Produk Domestik Bruto Terhadap Investasi
           Terdapat keterkaitan yang erat antara pertumbuhan ekonomi dalam pendapatan  nasional dan  investasi. Hubungan  keduanya menjadi suatu sorotan para ekonom, baik dari kalangan Klasik maupun Neo Klasik. Teori pendapatan nasional Keynesian yang menggunakan pendekatan pengeluaran agregatif dimana besarnya pendapatan nasional suatu negara diukur dari komponen-konponen expenditure para pelaku ekonominya lewat anggaran-anggarannya yaitu, sektor rumah tangga (consumtion), perilaku usaha dan dunia usaha tercermin lewat komponen investasi yang ditanam (I), pemerintah melalui anggaran belanjanya (G) dan sektor   perdagangan internasional yang tercermin lewat nilai ekspor/impor netto-nya. Teori diatas selanjutnya menurunkan pertimbangan parsial pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam melakukan investasi. Seperti  halnya dalam konsumsi yang dilakukan  oleh sektor rumah tangga, investasi oleh para pengusaha ditentukan oleh beberapa faktor. Salah satu diantara faktor-faktor penting yang dipertimbangkan   adalah   besarnya   nilai   pendapatan   nasional yang dicapai.
(Sukirno Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf).
           Sudono, dalam kebanyakan analisa mengenai penentuan pendapatan nasional pada umumnya variabel investasi yang dilakukan oleh pengusaha berbentuk investasi autonomi (besaran /nilai tertentu  investasi yang   selalu sama pada  berbagai tingkat pendapatan nasional). Tetapi adakalanya tingkat pendapatan nasional sangat besar pengaruhnya   pada   tingkat   investasi   yang   dilakukan.
(Isa   Salim Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf). Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa pendapatan nasional yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi itu akan memperbesar permintaan atas barang-barang dan jasa. Maka keuntungan yang dicapai oleh sektor usaha dapat mencapai targetnya, dengan demikian pada akhirnya akan mendorong dilakukan investasi-investasi baru pada sektor usaha. Dengan demikian, apabila nilai pendapatan nasional semakin bertambah   tinggi, maka investasi akan bertambah tinggi pula. Dan sebaliknya semakin rendah nilai pendapatan nasional, maka nilai permintaan investasinya akan semakin rendah pula. Pengembangan yang dilakukan para ekonom Neo Klasik pada teori Keynes ini terlihat pada formulasi yang dikembangkannya pada model akselerator investasi. Dijelaskan bahwa laju investasi adalah sebanding dengan  perubahan   output dalam perekonomian.
           Pembentukan modal domestic bruto dalam konteks agregat yakni melihat sumbangan dan perkembangan variable I dalam identitas pendapatan nasional Y=C. Data I merupakan data keseluruhan domestic secara bruto, meliputi investasi oleh swasta (PMDN dan PMA) maupun oleh pemerintah. Cara kedua adalah PMDN dan PMA saja. Perkembangan investasi berdasarkan dana perbankan atau kebijakan moneter. Perkembangan investasi dalam kontek agregat, pembentukan modal domestic bruto dalam hal ini. Hal ini dipandang sebagai kesatuan pemahaman, dan pembahasan tentang investasi. Data pembentukan modal domestic bruto (I) dalam kontek pendapatan nasional. Data pembentukan modal bruto mempunyai 2 unsur yaitu pembentukan modal tetap domestic bruto dan ditambah perubahan stok.
           Pembentukan modal tetap domestic bruto mencakup pengadaan, pembuatan, atau pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan barang modal baru dari luar negeri. Barang modal yang di beli atau di buat sendiri adalah barang yang tahan lama untuk di produksi dan usia pakai lebih dari 1 tahun.
Pembentukan modal tetap domestic bruto di bedakan atas 2:
a.          Pembentukan modal tetap domestic berupa bangunan
b.         Pembentukan modal tetap berupa mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan produksi
            Data yang digunakan dasar Adala dari BPS dalam menghitung pembentukan modal tetap domestic bruto adalah data penyediaan bahan atau barang yang di gunakan untuk perkiraan bangunan, data penyediaan barang modal berupa mesin, alat perlengkapan untuk pembentuk modal tetap domestic bruto.









·         DATA INVESTASI INDONESIA TAHUN 2003-2009

Posisi Kredit Investasi Perbankan Menurut Sektor Ekonomi 2003 - 2009

(Miliar Rupiah)



















Akhir Periode
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lainnya
Jumlah

2003

12,535

2,110

31,046

14,174

34,451

142

94,458

2004

13,427

4,155

36,621

19,578

43,180

163

117,124

2005

15,631

3,635

39,312

22,196

52,018

187

132,979

2006

19,233

5,392

40,781

25,685

58,407

182

149,680

2007

24,084

10,642

44,712

30,699

74,727

207

185,071

2008

29,826

11,465

56,054

39,200

119,444

223

256,212

2009















Januari
31,396

11,766

57,619

38,715

119,877

225

259,598


Februari
31,165

11,513

58,779

39,201

122,749

227

263,634


Maret
31,638

11,710

56,113

39,757

121,979

224

261,421


April
31,708

10,947

55,924

39,836

121,376

271

260,062


Mei
32,943

10,239

54,570

39,799

124,142

283

261,976


Juni
35,686

10,322

55,833

40,259

126,050

291

268,441


Juli
35,466

10,105

55,828

40,559

131,617

317

273,892


Agustus
35,410

13,239

57,458

41,134

132,256

339

279,836


September
35,282

12,600

54,906

42,174

132,859

294

278,115




D.    INVESTASI SWASTA – PMDN DAN PMA
Penanaman modal oleh pihak swasta di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun seiring dengan situasi ekonomi di tanah air dan dunia internasional. Terhitung sejak 1 Januari 1967 sampai dengan 30 April 1995, secara komulatif telah disetujui 9.237 proyek PMDN dengan nilai total investasi Rp 322.894,9 miliar dan 3.383 proyek PMA dengan nilai total investasi US$ 109.305,7 juta. Gairah investasi swasta menampakkan tanda-tanda menggembirakan mulai tahun 1980. Nilai investasi yang dimohonkan, dan kemudian disetujui, meningkat pesat sejak saat itu, terutama penanaman modal dalam negeri. Kemudian mulai tahun 1987 meningkat lebih pesat lagi.
1.      Perkembangan Semasa Pjp I
Dalam Pelita I maupun Pelita II, mayoritas penanaman modal tertuju ke sektor industri pengolahan. Selama Pelita I persetujuan PMDN masih terpusat di Jawa. Baru sejak Pelita II penyebaran ke luar Jawa mulai terlaksana, terutama ke Sumatera. Walaupun demikian, Jawa tetap dominan menyerap proyek-proyek PMDN dan PMA yang ada.
Beberapa hal penting yang berkenaan dengan kebijaksanaan investasi selama kurun dua Pelita pertama layak untuk diketahui. Pada tahun 1973 pemerintah membentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menggantikan lembaga embrionalnya yang bernama Team Teknis Penanaman Modal. Pada tanggal 22 Januari 1974, setelah melalui satu Sidang Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional, terbit Instruksi Presiden yang mengharuskan investasi-investasi asing di masa yang akan datang berbentuk usaha patungan (joint venture) dengan pemodal pribumi. Instruksi tersebut dikeluarkan dalam rangka meningkatkan peran serta golongan ekonomi nasional, termasuk golongan ekonomi lemah yang sebagian besar dipegang oleh penduduk pribumi. Instruksi itu juga mengatur ketentuan perbandingan penguasa saham perusahaan PMDN antara pribumi dan nonpribumi. Intinya, perbandingan penguasa saham antara pribumi dan nonpribumi di dalam perusahaan PMDN harus diusahakan agar mencapai keseimbangan minimal 50%:50%.
Selama Pelita III, jumlah PMDN berkembang pesat, baik dalam jumlah proyek maupun nilai investasinya. Periode Pelita III merupakan satu-satunya kurun waktu sepanjang era PJP I dimana dominasi PMA yang disetujui bukan berasal dari Jepang. Gairah investasi meningkat luar biasa pada Pelita IV. Jumlah proyek serta nilai investasi domestik dan asing melonjak hebat. Dibandingkan Pelita sebelumnya, PMDN yang disetujui meningkat sekitar 100%. Sektor yang menarik para investor adalah sektor industri pengolahan, dengan lokasi pilihan utama wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta atau persisnya kawasan Jabotabek. Dalam periode Pelita IV (1 April 1984-31 Maret 1989), terbit sejumlah keputusan penting berkenaan dengan penanaman modal. Diantaranya Instruksi Presiden No. 5/ Tahun 1984; Surat Keputusan Ketua BKPM No. 10/ Tahun 1985; serta Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 20 dan No. 21/ Tahun 1986. Dokumen-dokumen yang saling melengkapi dan mendukung ini pada intinya berisikan kebijaksanaan penyederhanaan prosedur perijinan penanaman modal dan penyempurnaan modal serta penyempurnaan Daftar Skala Prioritas. Kebijaksanaan deregulatif inilah yang antara lain merangsang investasi semasa Pelita IV sehingga perkembangannya amat mengesankan.
Penanaman modal oleh kalangan swasta semakin marak sepanjang babakan Pelita V. Sepanjang periode ini pemerintah secara beruntun meluncurkan sejumlah kebijakan deregulasi dalam bidang penanaman modal. Pada Pelita V, angka persetujuan PMDN dan PMA membumbung tinggi, bahkan relatif masih berlanjut hingga permulaan Repelita VI yang merupakan babakan awal era Pembangunan Jangka Panjang tahap kedua.
2.      Ketimpangan Investasi
Situasi penanaman modal di tanah air, sebagaimana halnya dengan keadaan ekonomi Indonesia pada umumnya, tak luput dari gejala ketidakmerataan. Ketimpangan investasi terjadi secara sektoral dan secara regional. Secara sektoral, sebagian besar modal yang ditanam, baik modal dalam negeri maupun modal asing, tertumpuk di sektor industri pengolahan. Sedangkan, investor asing tidak tertarik pada penanaman modal di sektor yang menjadi sumber nafkah utama bagi mayoritas rakyat Indonesia. Mereka menjatuhkan pilihan kedua pada sektor perdagangan.
Ketimapangan sektoral investasi tak pelak merupakan salah satu sumber ketimpangan pertumbuhan antar sektor. Oleh karenanya, mudah difahami mengapa sektor industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Dominasi investai yang sangat mencolok di sektor industri pengolahan telah memacu pertumbuhan sektor ini dengan sangat cepat.
Ketimpangan-ketimpangan penanaman modal, apakah sektoral ataupun regional, tentu saja tak layak dibiarkan berlarur-larut. Harus ada upaya penyebaran distribusinya ke sektor-sektor di luar industri pengolahan dan ke daerah-daerah luar Jawa. Sektor-sektor lain perlu ditanami modal secara signifikan agar bisa mengimbangi pertumbuhan sektor industri pengolahan. Daerah-daerah di luar Jawa perlu disiapkan untuk menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Berbagai kebijaksanaan formal yang selama ini telah digulirkan untuk maksud tersebut, agaknya masih belum memadai. Pemerintah perlu memancingnya dengan tindakan nyata agar para calon investor tertarik untuk lebih menyebarkan penanaman modalnya, tidak hanya mengerubungi sektor industri pengolahan, tidak selalu berkutat di pulau Jawa. Dalam hal ini, penyediaan atau pengadaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan faktor strategis.

3.      Kesenjangan Realisasi Investasi
Masalah yang timbul dalam pencaturan investasi swasta di tanah air bukan semata-mata persoalan ketimpangan sektoral dan regional. Akan tetapi juga masalah kesenjangan antara rencana yang disetujui dengan realisasi investasinya. Data-data mengenai perkembangan investasi yang mengesankan, harus dicerna secara hati-hati dan arif.
Banyak faktor bisa dikemukakan untuk menjelaskan sebab-sebab rendahnya tingkat realisasi investasi swasta. Sebagian dari faktor itu bersifat subjektif-internal, artinya berkaitan dengan situasi perekonimian di dalam negeri Indonesia sendiri, termasuk keadaan si calon investor. Sebagian lagi bersifat objektif-eksternal, yakni bertalian dengan konstelasi perekonomian internasional atau dunia pada umumnya. Faktor subjektif-internal misalnya adalah gejala ekonomi biaya tinggi di tanah air, sehingga mengurungkan niat investor untuk merealisasikan rencana investasinya. Sedangkan faktor objektif-eksternal dapat berupa lebih menariknya investasi di luar negeri daripada di dalam negeri. Baik karena hasil-balik yang lebih besar di luar negeri, ataupun karena fasilitas atau kemudahan berinvestasi di sana, atau karena kemudahan dan kemurahan sumberdaya di Negara lain (misalnya bahan baku dan tenaga kerja).

E.     KEBIJAKSANAAN INVESTASI
Semasa orde lama Indonesia sempat menentang msuknya modal asing, khususnya modal dari Negara-negara barat. Bukan hanya modal, kita pun sempat bersikap anti produk mereka, bahkan juga anti musik barat. Karena rejim pemerintahan pada waktu itu lebih condong bergaul dengan Negara-negara blok timur yang komunis. Modal asing dan barang-barang impor yang membanjiri pasaran dalam negeeri keika itu pada umumnya datangnya dari Negara uni Soviet dan RRC. Pada tahun-tahun awal pemerintahannya, rejim orde baru menerbitkan dua undang-undang berkenaan dengan investasi, yaitu Undang-Undang No. 1/Tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan undang-Undang No. 6/Tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri. Dalam UU No. 1/Tahun 1967 antara lain ditetapkan:
·         Penanaman modal dibebaskan dari ajak deviden serta pajak perusahan selama lima tahun; keringanan pajak perusahaan PMA sebesar levih dari 50% selama lima tahun; ijim untuk menutup kerugian-kerugian perusahaan sampai periode sesudah tax boliday itu, dan pembebasan penanam modal asing dari bea impor atas mesin serta perlengkapan dan bahan baku.
·         Jaminan tidak akan dinasionkisasikannya perusahaan-perusahaan asing dan kalaupun dinasionalisasikan akan diganti rugi.
·         Masa operasional PMA adalah 30 tahun dengan perpanjangannya tergabtung pada hasil perundingan ulang.
·         Keleluasaan bag penanam modal asing untuk membawa serta atau memilih personil manajemennya dan untuk menggunakan tenaga ahli asing bgi pekerjaan-pekerjaan yang belum bisa ditangani oleh tenaga-tenaga Indonesia.
·         Kebebasan untuk mentransfer dalam bentuk uang semula (valuta asing) keuntungan dan dana penyusutan yang diperoleh dari penjualan saham yang disediakan bagi orang-orang Indonesia.
·         Sektor-sektor atau bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu meliputi pekerjaan umum (seperti pelabuhan dan pembangkit tenaga listrik); media masa; pengangkutan (pelayaran dan penerbangan); prasarana; serta segala industry yang berhubungan dengan kegiatan produksi untuk keperluan pertahanan Negara.
UU No. 6/Tahun 1968 berintikan pemberian sejumlah kemudahan dalam bidang perpajakan dan kredit kepada para penanam modal dalam negeri. Undang-undang ini disempurnakan dengan UU No. 12/Tahun 1970.
1.      BKPM dan Peraturan Investasi
Tidak lama setelah memberlakukan UU no. 6/Tahun 1967, dalam sebuah keputusan Presidium Kabinet No. 17/EK/I/1967 tanggal 19 Januari 1967, pemerintah membentuk sebuah lembaga untuk mengatur serta menangani perihal investasi barnama Badan Pertimbangan penanaman modal. Namun sekitar setahum kemudian, melalui keputusan Presiden No. 285/1968 badan tersebut digantikan oleh lembaga lain bernama Team Teknis Penanaman Modal. Lima tahun kemudian, dengan keputusan Presiden No. 10/1973 tanggal 26 Mei 1973, Organisasi ini diganti lagi menjadi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Pada tanggal 3 oktober 1977 pemerintah mengeluarkan keputusan yang memberikan wewenang penuh dan tunggal kepada BKPM untuk mengurusi penanaman modal. Dengan keputusan itu, BKPM bertanggungjawab penuh menangani investasi. Kedudukannya langsung dibawah presiden, tidak lagi sebagai sebuah lembaga yang sekedar melayani departemen dan instansi pemerintah lain.
Pemantapan institusional dalam rangka merangsang penanaman modal diiringi dengan berbagai ketentuan di bidang peraturan dan perundang-undangan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi pada umumnya berkisar di masalah pengaturan penguasaan saham, prosedur perijinan, penggunaan tenaga kerja, kaitan dengan upaya peningkatan ekspor, keringanan pajak, serta ketentuan mengenai sector atau bidang usaha yang boleh ( masih terbuka ) dan tidak boleh ( masih tertutup) untuk dimasuki oleh investasi baru. Peihal terakhir, pemerintah mengumumkannya melalui sebuah daftar bernama daftar skala prioritas (DSP, sebutannya dulu) atau Daftar Negative Investasi ( DNI, sebutannya kini). Pada tahun 1984-1985 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penyederhanaan prosedur perijinan penanaman modal. Untuk tingkat nasional, ketentuan itu digariskan dalam instruksi presien no. 5/ tahun 1984 dan surat keputusan ketua BKPM No. 10/1985. Untuk pelaksanaannya operasionalnya di tingkat daerah kebijaksanaan serupa dituangkan melalui instruksi Menteri Dalam Negeri No. 20 dan No. 21 tahun/1986.

2.      Deregulasi Investasi
Penyederhanaan-penyederhanaan peraturan di bidang penanaman modal berlanjut terus sepanjang tahun 1990-an. Isinya khusus menyangkut upaya-upaya untuk lebih memikat lagi penanaman modal asing. Peraturan ini dikenal sebagai ketentuan “disinvestasi”. Kemudian, sejumlah paket deregulasi yang terdiri atas sejumlah keputusan presiden dan peraturan menteri diluncurkan pada tanggal 7 juli 1992. Paket kebijaksanaan ini mengatur 10 bidang. Dua bidang menyangkut import, sedangkan 8 bidang berkaitan dengan investasi atau produksi.
Lima belas tahun kemudian, pemerintah menderegulasi kembali sejumlah peraturan dalam bidang penanaman modal. Rangkaian kebijaksanaan yang diluncurkan tanggal 23 Oktober 1993 ini, dikenal dengan sebutan Pakto 1993, mengatur 6 bidang. Dua bidang berkaitan dengan penanaman modal, khususnya menyangkut pengalihan saham PMA dan perijinan. Pakto 1993 ini diluncurkan sebagai tanggapan pemerintah atas reaksi dunia usaha terhadap PP No. 17/tahun 1992. Kalangan pengusaha menilai PP tersebut tidak menarik. Oleh karena itu, Pakto 1993 lebih bersifat pelunakan terhadap ketentuan-ketentuan di PP No. 17/tahun 1992, Khususnya mengenai alih saham atau disinvestasi bagi PMA 100%.
Deregulasi demi deregulasi telah diluncurkan, namun semua itu ternyata masih dipandang belum cukup, baik oleh dunia usaha maupun oleh pemerintah. Pada tahun 1994 keluar peraturan baru yang ramai menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat luas, peraturan pemerintah No. 20/tahun 1994 ini memperlunak lagi ketentuan tentang penanaman modal asing 100%.empat hal tersebut adalah  perihal permodlan, lokasi usaha, kegiatan usaha, dan ijin usaha.

F.     DETERMINAN INVESTASI SWASTA DI INDONESIA
Variable-variabel yang mempengaruhi investasi swasta di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh produk domestic bruto, tingkat suku bunga baik di dalam maupun di luar negeri, jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, serta kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah. Adhita Prawatyo meneliti pengaruh variable-variabel tersebut secara parsial dengan mengajukan model-model sebagai berikut:
1.      InIS = ɑ₀ + ɑ₁InPDB + ɑ₂InMBMBB + ɑ₃D
2.      InIS = b + bInSBDN + bInSBLN +bD
3.      InIS = c + cInUB + cD
4.      InIS = d + dInpp + dD
Peneliti mengajukan juga impor barang modal dan bahan baku (MBMBB) sebagai salah satu argumen atau determinan, namun ternyata tidak signifikan. Dalam hal ini,
           IS                    : investasi swasta (PMDN + PMA)
           PDB                : produk domestik bruto
           MBMBB         : impor barang modal dan bahan baku
           SBDN             : tingkat suku bunga di dalam negeri
           SBLN              : tingkat suku bunga di luar negeri
           UB                  : jumlah uang beredar (MI)
           PP                    : pengeluaran pemerintah
           D                     : kebijakan deregulasi pemerintah (dummy)








       BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanaman- penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau perlengkapan-perlengkapan produksi untuk   menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah:
1.  Tingkat keuntungan yang diramalkan akan diperoleh.
2.  Suku bunga.
3.  Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa yang akan datang.
4.  Kemajuan teknologi.
5.  Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya.
6.  Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan.
Investasi Swasta – PNDM dan PMA
Penanaman modal oleh pihak swasta di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun seiring dengan situasi ekonomi di tanah air dan dunia internasional.
Kebijaksanaan Investasi
ü  BKPM dan Peraturan Investasi
ü  Deregulasi Investasi












DAFTAR PUSTAKA

Http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19638/4/ChapterII.pdf

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi. Jakarta: Salemba Empat.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=13&notab=12










Popular Posts