Makalah PKNH Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, aturan praktik kehidupan kita sehari-hari disebut sebagai hukum Islam. Literatur islam menyatakan hukum sebagai isbatu syaiin au nafyun ‘anhu (menetapkan sesuatu pada sesuatu atau tidak menetapkan).
 Secara istilah, terdapat perbedaan - perbedaan antara ahli usul fikih dan ahli fikih dalam memandang pengertian hukum. Bukan sebuah perbedaan yang bertentangan dimana yang satu salah sedangkan yang lainnya benar antara ahli usul fikih dan ahli fikih dalam memandang pengertian hukum. Melainkan karena perbedaan bidang garap antara kedua ilmu itu (fikih dan usul fikih). Dari sisi pandang ahli usul, Hukum sebagai khitab Allah SWT , yang menuntut seseorang (mukallaf) untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan (melarang) atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain. Jadi kita memandang hukum dari sisi pembuat hukum (Khitab Allah atau dalil yang lain). Berbeda dari mereka, dari sisi pandang ahli fikih hukum sebagai efek yang muncul pada perbuatan (atau statusnya) sebagai akibat adanya khitab Allah atau dalil lainnya. Dari sini kita memandang hukum sebagai produk atau akibat dari adanya perintah atau larangan Allah (Qistind_Tinna, 2010. Pembagian Hukum Islam. http://negaramoslem.blogspot.com/2010/03/pembagian-hukum-islam.html. diakses tanggal 20 Maret 2011).
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, sehingga rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian hukum Islam?
2.      Bagaimana pembagian hukum Islam?
3.      Bagaimana pembagian hukum Wadl’i?

C.    Tujuan
Tujuannya antara lain:
1.      Dapat mengetahui pengertian hukum Islam
2.      Dapat mengetahui pembagian hukum Islam
3.      Dapat mengetahui pembagian hukum wadl’i

D.    Manfaaat
Manfaatnya antara lain:
1.      Menjadi tahu tentang pengertian hukum Islam
2.      Menjadi tahu tentang pembagian hukum Islam
3.      Menjadi tahu tentang pembagian hukum wadl’i



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam berasal dari dua kata dasar yaitu “hukum” dan “islam”.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adalah 1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, 2) Undang-undang atau peraturan, 3) patokan ( kaidah, ketentuan), 4) keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan Islam merupakan agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diberikan kepada umatnya. Jadi, hukum islam merupakan hukum yang bersumber pada ajaran islam.

B.     Pembagian Hukum Islam
Menurut para ulama ushul fiqh, hukum syara’ itu ada dua macam yaitu hukum ta,lifi dan hukum wadl’i.
a.       Hukum Ta’lifi
Hukum ta’lifi yaitu hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau memilih antara memilih atau meninggalkan. Hukum ini disebut ta’lifi karena didalamnya ada beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena merupakan suatu tuntutan baik tuntutan untuk mengerjakan maupun untuk meninggalkan, dan takhyir (mubah) dimasukkan dalam hukum taklifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf. (islam wiki, 2009. Macam-Macam Hukum Syara. http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/macam-macam-hukum-syara.html. diakses tanggal 12 Maret 2011). Sedangkan, secara etimonologis hukum taklifi berarti hukum tuntutan. Secara terminologis hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkan (Abdul Wahab Khallaf, 1996:155).
Menurut Zainuddin Ali (2006:54) hukum taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan.
b.      Hukum Wadl’i
Hukum wadl’i yaitu hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum ini disebut wadl’i karena merupakan  perantara antara dua hal dengan hubungan sebab, syarat, atau penghalang (mani’) yang telah ditetapkan syari’ (Allah). Artinya syari’ telah menetapkan bahwa ini menjadi sebab bagi ini, ini menjadi syarat bagi ini atau ini menjadi penghalang bagi ini. (islam wiki, 2009. Macam-Macam Hukum Syara. http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/macam-macam-hukum-syara.html. diakses tanggal 12 Maret 2011). Sedangkan, Secara terminologis hukum wadl’i adalah hukum yang menghendaki meletakkan sesuatu sebagai sebab yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang sesuatu itu (Abdul Wahab Khallaf. 1996:157).
Menurut Zainuddin Ali (2006:56) hukum wadl’i adalah hukum yang mengandung  sebab, syarat, halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum bagi orang mukallaf.
Hukum wadl’i didefinisikan sebagai firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. (Abdullah bin abbas, 2010. Hukum Wadl’i.  http://sevensweet.wordpress.com/2010/04/29/hukum-wadl. diakses tanggal 12 Maret 2011).

C.    Pembagian Hukum Wadl’i
Pada subbab ini kami akan menjelaskan sedikit tentang pembagian hukum wadl’i. Tetapi sebelum menjelaskan subbab ini, kami telah menjelaskan sedikit pengertian tentang hukum wadl’i.  Sehingga setidaknya kita telah mengetahui apa itu hukum wadl’i. Hukum wadl’i dibagi menjadi 5, yaitu sebab, syarat, mani’ (penghalang), rukhsah (kemurahan ) dan azimah (hukum asli), serta shihah (sah) dan buthlan (batal).

1.      SEBAB
a.       Pengertian
Sebab ialah sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab ( hukum ) artinya dengan adanya musabbab ( hukum ) dan dengan tiadanya sebab, tiada terwujudlah sesuatu musabbab ( hukum ). Oleh karena itu, sebabnya haruslah jelas lagi tertentu dan dialah yang dijadikan oleh Syari’ sebagai ‘illat atas sesuatu hukum (Mukhtar Yahya dan Faturrahman, 1993:147). Menurut bahasa, sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Sedangkan menurut istilah sebab adalah sutatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Menurut ulama ushul, sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia. Pengertian ini menunjukkan sebab sama dengan illat. Walaupun sebnarnya ada perbedaannya. (Abdullah bin abbas, 2010. Hukum Wadl’i. http://sevensweet.wordpress.com/2010/04/29/hukum-wadl. diakses tanggal 12 Maret 2011).
b.      Pembagian sebab
Menurut ushul fiqh, sebab dilihat dari berbagai segi yaitu :
1)             Dari segi obyek, ada dua sebab :
a)      Sebab al-waqii, seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat zhuhur.
b)      Sebab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar
2)             Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf, ada dua sebab :
a)      Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakukan. Seperti jual beli yang menyebabkan pemilikan harta.
Sebab ini terbagi menjadi tiga yaitu :
1.       Sebab yang diperintahkan syara’ dan diwajibkan atau dianjurkan bagi         mukallaf untuk melaksanakannya, seperti nikah sebagai penyebab   terjadinya hak waris dan nikah itu sendiri diperintahkan.
2.       Sebab yang dilarang syara’, seperti pencurian sebagai penyebab dikenakan hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
3.        Sebab yang diizinkan dan boleh dilakukan mukallaf, seperti sembelihan     sebagai penyebab dihalalkannya hewan sembelihan dan penyembelihan itu    sesuatu yang mubah.
b)      Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan. Seperti tergelincirnya matahari sebagai penyebab wajibnya shalat zhuhur, hubungan kekerabatan sebagai penyebab munculnya hak waris.
3).     Dari segi hukumnya, ada dua sebab :
a)    Sebab al-masyru
       Adalah seluruh yang membawa kepada kemaslahatan dalam pandangan syari’ sekalipun dibarengi kemafsadatan secara zhahir. Seperti jihad sebagai penyebab tersiarnya Islam.
c)      Sebab ghairu al-masyru
Adalah sebab yang membawa kepada mafsadat dalam pandanga syari’ sekalipun didalamnya terkandung suatu kemaslahatan secara zhahir. Seperti nikah fasid dan adopsi

4)     Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, ada dua sebab :
a)      Sebab yang berpengaruh pada hukum yang disebut ‘illat,  dimana antara sebab ini dengan hokum ada keserasian yang bisa dinalar dan hikmah yang mengandung motivasi pensyari’atan hokum tersebut. Seperti mabuk sebagai yang berpengaruh pada hokum yang merupakan ‘illat keharaman khamar.
b)      Sebab yang tidak berpengaruh pada hukum, dimana antara sebab dan hokum tidak ada keserasian. Seperti waktu sebagai penyebab terjadinya wajib shalat.
5)      Dari segi jenis musabbab, ada dua sebab :
a)      Sebab bagi hukum taklifi, seperti waktu ditentukan untuk kewajiban shalat dan munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.
b)      Sebab untuk menetapkan hak milik, melepaskannya, atau menghalalkannya. Seperti jual beli sebagai penyebab pemilikan barang yang dibeli, akad nikah sebagai penyebab halanya hubungan suami istri.
6)        Dari segi hubungan sebab dengan musabbab, ada tiga sebab :
a)      Sebab al-syari’
Adalah sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan hukum syari’. Seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zhuhur.
b)      Sebab al-‘aqli
Adalah sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan melalui nalar manusia. Seperti belajar sebagai penyebab seseorang berilmu.
c)      Sebab al-adi
Adalah sebab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan kepada hukum adat kebiasaan atau ‘urf. Seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.

2.      SYARAT
a.        Pengertian
Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepada adanya masyruth dan dengan tidak adanya, maka tidak ada masyrut. Dengan arti bahwa syarat  itu tidak masuk hakikat masyruth.
b.      Pembagian Syarat
1)      Syarat syar’i (hakiki).
Yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh syari’i untuk menyempurnakan urusan syari’iat. Syarat-syar’i ini ada dua macam yaitu :
a)     Syarat untuk menyempurnakan sebab. Misalnya adanya unsur sengaja dan permusuhan adalah dua buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab ajibnya hukuman qishash, genap satu tahun adalah syarat penyempurnaan untuk memiliki nisab yang menjadi sebab wajib zakat dan dua orang saksi yang adil adalah syarat penyempurnaan untuk akat perkawinan  yang menjadikan sebab halalnya  berkumpul.
b)    Syarat untuk menyempurnakan musabab. Misalnya bersuci adalah syarat penyempurna shalat yang wajib disebabkan telah masuk waktunya, dan matinya orang yang mewariskan serta hidupnya orang yang bakal mewarisi adalah dua syarat penyempurnaan pusaka-mempussakai yang disebabkan adanya ikatan perkawinan atau danya hubungan kekerabatan ( keturunan ).
2)    Syarat ja’li.
Yaitu syarat –syarat yang dibuat oleh orang yang mengadakan perikatan dan dijadiakn tempat tergantung dan terwujudnya perikatan. Misalnya seorang pembeli membuat syarat bahwa dia mau memebeli sesuatu barang bagi penjual dengan syarat boleh mengangsur. Kalau syarat ini diterima oleh penjual, maka jual beli tersebut dapat dilaksanakan.

3.      MANI’ (penghalang)
a.       Pengertian
Mani’ ialah sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum.
b.      Pembagian Mani’
1)   Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara orang yang mewariskan (pewaris) dengan orang yang diwarisi adalah suatu mani’ (penghalang) hukum pusaka-mempusakai biar pun sebab untuk mempusakai, yaitu perkawinan atau hubungan darah, sudah ada. Jadi, yang dihalangi (mamnu’)di sini ialah hukum pusaka-mempusakai, bukan sebab-sebab hukum mempusakai.
2)    Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya seoarang telah berkewajiban membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisad zakat, maka dia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak sampai senisab lagi. Memiliki harta benda satu nisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat. Dalm hal ini keadaan dia mempunyai banyak hutang itu menjadi penghalang terhadap sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian mani’ dalam contoh ini adalah mani’ terhadap sebab hukum zakat.





4.      RUKHSHAH (kemurahan ) dan AZIMAH (hukum asli)
a.         Pengertian
Rukhshah ialah ketentuan yang disyari’atkan oleh Allah sebagai peringan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.
Rukhshah yang ditetapkan berbeda dengan dalil disebabkan adanya uzur, berlaku dalam empat hukum syara’, yaitu ijab, nadb, karakhah, daan ibakhah, misalnya:
1.      Rukhshah terhadap wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hukum ini wajib menurut jumhur ulama
2.      Rukhshah bersifat mandub seperti mengkosor sholat bagi musyafir. Menurut jumhur ulama fiqih mengkosor sholat dalam perjalanan hukumnya mandub. Tetapi menurut ulama hanafiyyah mengkosor sholat bagi musyafir tidak termasuk rukhshah, tetapi termasuk azimah.
3.      Rukhshah bersifat mubah bagi para dokter yang melihat aurat orang lain, laki-laki atau wanita, ketika berlangsungnya pengobatan. Melihat aurat orang lain pada dasarnya adalah haram, tetapi dibolehkan demi untuk menghilangkan kesulitan bagi umat islam.
4.      Rukhshah bersifat makruh, apabila seseorang yang karena terpaksa mengucapkan kalimat kufur (mengaku kafir) sedangkan hatinya tetap beriman.
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa apabila dikatakan rukhshah, maka pengertianya bisa tiga macam yaitu
1.      Pengecualian dari hukum kulli yang mengacu kepada tidak ada hukum sama sekali, tanpa ada uzur. Kasus seperti ini menurut para ahli ushul termasuk sesuatu yang masyur’ala khilaf al-qiyas yang artinya hukum itu di syari’atkan berbeda dengan kaidah umumyang belaku dengan syari’at islam. Contohnya, kebolehan jual beli salam (pesanan).
2.      Pembatalan hukum-hukum taklifi yang memberatkan yang ditetapkan bagi umat sebelum islam. 
Azimah ialah peraturan syara’ yang asli yang berlaku umum. Artinya ia disyari’atkam agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalam keadaan yag biasa. Misalnya bangkai, menurut aslinya adalah haram dimakan oleh semua orang mukallaf. Akan tetapi dalm keadaan terpaksa, ia diperkenankan makanannya, asal tidak berlebihan  atau dengan maksut menentang ketentuan tuhan. Haramnya memakan bangkai itu adalah azimah sedang boleh memakannya bagi orang yang terpaksa adalah rukhshah.
b.      Pembagian Azimah
1)      Hukum yang disyariatkan sejak semula untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya. Seperti ibadah, mu’amalah, jinayah.
2)      Hukum yang disyariatkan karena adanya sesuatu sebab yang muncul. Seperti hukum mencaci maki berhala atau sesembahan agama lain.
3)      Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal bagi hukum sebelumnya.


5.                  SHIHHAH (sah) dan BUTHLAN (batal)
a.       Pengertian Sah
Sah menurut syara’ adalah bahwa perbuatan itu mempunyai akibat hukum.
Sah menurut terminologi, parah ahli ushul fikih merumuskan difinisi sah dengan tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.
Maksudnya sama satu perbuatan dikatan sah, apabila terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakanya, serta apa yang di inginkan syara’ dari perbuatan itu berhasil di capai.
b.      Pengertian Buthlan
Buthlan (batal) adalah suatu perbuatan yang perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada ajaran islam. Pembagian hukum Islam ada dua, yaitu hukum ta’lifi dan hukum wadl’i. Hukum ta’lifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau memilih antara memilih atau meninggalkan. Hukum ini disebut ta’lifi karena didalamnya ada beban bagi manusia. Sedangkan hukum wadl’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum ini disebut wadl’i karena merupakan  perantara antara dua hal dengan hubungan sebab, syarat, atau penghalang (mani’) yang telah ditetapkan syari’ (Allah).
Hukum wadl’i dibagi menjadi 5, yaitu pertama, sebab. Kedua, syarat. Ketiga, Mani’ (penghalang). Keempat, RUKHSHAH (kemurahan ) dan AZIMAH (hukum asli). Dan terakhir, SHIHHAH (sah) dan BUTHLAN (batal).
Sebab ialah sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab ( hukum ) artinya dengan adanya musabbab ( hukum ) dan dengan tiadanya sebab, tiada terwujudlah sesuatu musabbab ( hukum ). Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan idak adanya, maka tidak ada masyrut. Dengan arti bahwa syarat  itu tidak masuk hakikat masyrut. Mani’ ialah sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum. Rukhshah ialah ketentuan yang disyari’atkan oleh Allah sebagai peringan terhadap orang mukallaf dalam hal-al yang khusus, azimah ialah peraturan syara’ yang asli yang berlaku umum. Shihah menurut syara’ adalah bahwa perbuatan itu mempunyai akibat hukum,  buthlan (batal) adalah suatu perbuatan yang perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum.




Popular Posts