Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Sosial
PEREMPUAN INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF SOSIAL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah Studi Gender
Dosen Pengampu: Nur Hidayah, M. Si
Disusun
oleh:
Hepi Kartikawati 09416241013
Alif
Wulandari
09416241040
PRODI
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2011
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
........................................................................................................................i
Daftar Isi ii
Kata Pengantar iii
Bab I
Pendahuluan 1
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 1
C.
Tujuan 1
Bab II Pembahasan 2
A.
Gerakan Memperjuangkan Gender 2
B.
Perubahan Sosial dan Kedudukan Perempuan 10
C.
Ideologi Gender 16
Bab III Penutup 21
Kesimpulan 21
Daftar Pustaka 22
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya makalah yang berjudul “Perempuan
Indonesia dalam Perspektif Sosial”. Makalah yang masih perlu dikembangkan lebih
jauh ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Makalah ini dibuat sebagai tugas mata
kuliah Studi Gender, yang secara garis besar memuat meliputi gerakan memperjuangkan
gender, perubahan sosial dan kedudukan perempuan, dan ideologi gender sebagai
isu sosial.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, penulis
tidak mungkin menyelesaiakan penyusunan makalah ini, untuk itu ucapan terima
kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif, terutama dari Ibu Nur Hidayah dan teman-teman prodi IPS.
Yogyakarta, September 2011
Penulis
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak fenomena yang terjadi
khususnya di Negara kita ini, bahwa banyak timbulnya percekcokan tentang
kedudukan atau peran perempuan dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik,
peran perempuan yang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki, hal ini
dikarenakan budaya bangsa akan ketidakpercayaan terhadap kaum perempuan.
Sedangakan peran perempuan dalam
keluarga amat besar, selain sebagai manager keluarga juga punya peran sebagai
dinamisator keluarga. Dan dalam hal pembangunan dan kemajuan Negara juga
tergantung pada kaum perempuan, begitu besar peran yang dibebankan kepada
perempuan. Tetapi hasilnya tidak begitu berdampak bagi kaum perempuan.
Akibat dari perkembangan zaman
perempuan mengalami perubahan sosial dan kedudukannya. Dimana yang dahulu
perempuan hanya sebagai konco wingking,
tetapi sekarang kedudukan wanita semakin terlihat lebih maju seperti halnya
perwakilan pemerintah ada sebagian sudah diduduki oleh perempuan. Untuk lebih
lanjutnya kita membuat makalah yang berjudul “Perempuan Indonesia dalam
Perspektif Sosial” yang berisi tentang gerakan memperjuangkan gender, perubahan
sosial dan kedudukan perempuan, dan ideologi gender sebagai isu sosial. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kulian Studi Gender, sekaligus sebagai
bahan ajar jika sudah menjadi guru.
B.
Rumusan
Masalah
- Bagaimanakah
gerakan memperjuangkan gender?
- Bagaimanakah
perubahan sosial dan kedudukan permpuan yang terjadi di Indonesia?
- Bagaimana
ideologi gender sebagai isu sosial?
C.
Tujuan
- Mendeskripsikan
gerakan memperjuangkan gender.
- Menjelaskan
perubahan sosial dan kedudukan permpuan yang terjadi di Indonesia.
- Memaparkan
ideologi gender sebagai isu sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
GERAKAN
MEMPERJUANGKAN GENDER
1.
Perjuangan
untuk Keadilan Gender
Sejarah telah mengukir Kota Beijing
sebagai tempat penting bagi perempuan sedunia. Perempuan dari berbagai lapisan
telah bersepakat di ibukota Republik Rakyat Cina itu pada September 1995 untuk
terus berjuang mencapai persamaan hak gender
equality. Sebelumnya di Huarou, sebuah kota pariwisata 60 km di Selatan
Beijing, pada waktu menjelang Konferensi Beijing, telah diadakan “NGO Forum on
Women” (Forum LSM untuk Perempuan) yang diketuai oleh Kunying Saputra Masdit
dari Thailand. Tempat itu telah disiapkan sebagai miniature dunia perempuan
oleh penyelenggara. Di sana, perempuan dari seluruh dunia berdatangan dengan
tujuan yang sama, yaitu menyusun agenda perjuangan membuat jaringan kerja dan
mempengaruhi keputusan politik yang akan dibuat oleh Konferensi Perempuan
tingkat PBB.
Huairou saat itu menggambarkan
situasi perempuan dalam arti sesungguhnya. Bagian kota ini dipadati oleh
perempuan dan laki-laki (lebih banyak perempuan) dengan berbagai macam bahasa,
bentuk tubuh, umur, profesi, agama, warna kulit, bentuk dan warna rambut,
kesukaan, dan sebagainya. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang biasa mereka
lakukan di negaranya masing-masing untuk saling memperkenalkan bangsanya.
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain workshop, diskusi kelompok/panel,
ceramah, seminar,rapat, demonstrasi, drama, nyanyi, acrobat, ibadah, berdoa,
sharing, tukar menukar, informasi, dan segala bentuk kegiataan yang biasa
dikerjakan sehari-hari. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, peserta forum bisa
mendapatkan segala informasi dunia yang dibutuhkan. Lembaga-lembaga dana dan
lembaga-lembaga dari Persatuan Bangsa (PBB) diberi tempat untuk mengadakan
pameran dan menyediakan buku-buku serta informasi yang dapat diminta peserta secara
Cuma-Cuma.
Suasana di Huairou selama 10 hari
itu terasa damai, ramah, dan penuh persahabatan. Ada dorongan untuk soladaritas
walaupun disana sini tampak pula “kemarahan perempuan” yang mengalami
kekerasan. Dari kegiatan demonstrasi dapat dilihat bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan serta diperkosa ditekan secara politis, dianiaya sangat
marah, sehingga mengundang soladaritas dari saudaranya kaum perempuan Negara
lain.
Konferensi Perempuan dari Mexico
hingga Beijing
Konferensi Mexico (1975) menghasilkan
deklarasi: “persamaan hak bagi perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang
politik”. Sejak tahun itu persoalan gender dimasukkan dalam agenda. Sejak itu
pula makin disadari oleh Negara-negara anggota PBB bahwa kenyataannya Lembaga
Swadaya Manusia (LSM, NCO) mempunyai peran serta besar dalam mewujudkan
keputusan politik dari PBB. Oleh karena itu, tahun perempuan internasional
ditandai dengan kebangkitan kesadaran perempuan untuk memperjuangkan
“kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian”.
Konferensi perempuan sedunia ke II,
yang diselenggarakan di Copenhagen 1980, melanjutkan kesepakatan Mexico untuk
membuat Plan of Action. Keputusan
yang penting dari konferensi ini adalah kesepakatan bersama untuk menghapuskan
segala bentuk diskrimansi terhadap perempuan atau yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elimination All of Forms
of Discrimination Againts Women). Melalui konferensi ini, semua Negara
penandatangan bersepakat untuk menghapuskan diskrimasi perempuan di Negara
masing-masing.
Pada tahun 1985, Konferensi
Perempuan Sedunia ke III, lebih mengkonkretkan perjuangan meningkatkan
persamaan hak perempuan. Konferensi yang diselenggarakan di Nairobi, Kenya itu,
memutuskan tentang Forward-Againts Women.
Sejak itu, Komisi Status Perempuan di PBB berusaha mengkonkretkan strategi
kemajuan untuk menghadapi tahun 2000. Dalam menyongsong Konferensi Perempuan
Sedunia ke IV, PBB mengadakan konferensi tingkat dunia yang erat kaitannya
dengan persoalan perempuan. Pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, diselenggarakan Konferensi
dunia tentang lingkungan dan pembangunan. Partisipasi perempuan dalam keputusan
dunia ini, mewujudkan kegiatan secara global, pembangunan yang berwawasan
rakyat dan pemerataan. Strategi yang diambil perempuan disini adalah
partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan untuk pembagunan.
Konferensi Dunia tentang HAM yang
diselenggarakan di Wina 1993, juga diwarnai partisipasi perempuan melalui
kesepakatan tentang pengakuan persamaan status dan hak asasi perempuan.
Memperjuangkan hak asasi perempuan sama dengan memperjuangkan hak asasi
manusia. Konferensi internasional tentang kependudukan dan pembangunan yang
diselenggarakan di Kairo pada 1994 merupakan konferensi yang sangat penting
bagi perempuan dunia karena persoalan penduduk berkaitan erat dengan fungsi
reproduksi perempuan.
Fungsi reproduksi inilah yang
sekarang menjadi pertentangan diantara perempuan sendiri, berkenaan dengan
legalisasi pengguguran (aborsi). Melalui konferensi ini, perempuan
memperjuangkan persamaan (hak) gender, keadilan, dan pemberdayaan perempuan.
Persoalan ini mengundang perdebatan seru, karena fungsi reproduksi perempuan
yang seharusnya dihormati (oleh laki-laki dan perempuan) justru malah
dilecehkan dengan banyaknya tindak kekerasan terhadap perempuan. Banyak
perempuan yang menjadi korban progam KB, baik di bidang kesehatan maupun
mental.
Di sinilah KOnferensi Perempuan
Sedunia ke IV, yang berlangsung di Beijing menjadi penting, karena dari
berbagai pertemuan dunia dan berbagai agenda yang telah disosialisasikan ke
seluruh dunia, isu tentang perempuan tidak justru berkurang, sementara tingkat
peran dan posisi perempuan mengalami perkembangan kualitatif dan kuantitatif
yang penting. Oleh karea itu, melalui pertemuan-pertemuan persiapan sebelumnya
sebagaimana juga yang terjadi di Huairou itu, maka Konferensi Beijing
menggagendakan beberapa hal sebagaimana kemudian agenda itu menjadi tujuan
pertemuan. Tujuan perempuan itu, melanjutkan perjuangan kesetaraan,
pembangunan, dan perdamaian sebagai tujuan utama yang telah diterima oleh semua
anggota PBB di Mexico City. Dengan tujuan tersebut, maka Konferensi Beijing
1995 dinamakan Konferensi Kesepakatan/Perjanjian (Conference of Commitments) yang menghasilkan The Pletform for Action.
Partisipasi Lembaga Swadaya
Masyarakat
Gerakan di tingkat masyarakat
memiliki umur yang lebih tua dibandingkan dengan gerakan perempuan lewat PBB.
Gerakan perempuan yang kita kenal dengan nama feminism, sudah muncul sejak
perempuan sadar bahwa dirinya tertindas dan diperlakukan tidak adil. Gerakan
perempuan di tingkat masyarakat riil ini telah mempengaruhi keputusan di tingkat
politik pemerintahan. Kalau pada tahun 1975 di tingkat PBB mencanangkan Tahun
Perempuan Internasional sebagai tanda dikumandangkannya suara permpuan, maka
LSM menyelenggarakan Mimbar Internasional Tahun Permpuan. Mimbar ini menampung
berbagai macam pendapat yang pada dasarnya menginginkan partisipasi LSM dalam
keputusan tingkat PBB.
Keputusan-keputusan yang dibuat
Komisi status Perempuan di PBB selalu ditangani oleh LSM, sehingga lembaga ini
makin sadar akan tugas-tugasnya. Di tingkat internasional dibuat kesepakatan
antar LSM dunia untuk menjalankan tugas masing-masing. Soladaritas antar LSM
sedunia telah menghasilkan poin penting yakni diterimanya LSM sebagai utusan
dalam konferensi PBB. Oleh karena itu, dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke IV
di Beijing, perwakilan dari LSM secara resmi diberi hak untuk bersuara.
Keputusan Konferensi Huairou dan
Beijing
Keputusan pertemuan Forum LSM di
Huairou dan Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing dinyatakan dalam bentuk
kegiatan untuk dilaksanakan, dan berisi prioritas progam yang hampir sama.
FORUM
LSM
|
KONFERENSI
BEIJING
|
|
|
Seruan untuk Terus Berjuang
Perjalanan menuju masyarakat yang
adil dan damai memerlukan waktu lama. Dalam mencari keadilan, kaum feminis
sosialis menemukan informasi bahwa masalah ketidakadilan perempuan adalah
masalah kultural dan struktural. Akar masalah yang sering terjadi yaitu budaya patriarkhi, yakni laki-laki yang lebih
dominan di atas kaum perempuan. Pandangan ini diteguhkan melalui budaya (adat
dan tradisi), agama, dan politik, sehingga situasi dominasi ini seolah sudah
mapan dan tak tergoyahkan. Struktur dan kultural inilah yang diperjuangkan
perempuan sedunia untuk dibongkar dan diganti yang baru. Pembongkaran struktur
tidak mungkin terjadi seketika, karena telah berjalan selama berabad-abad.
Oleh karena itu perlu disadari
bahwa hanya dengan kerja sama perempuan dan laki-laki, struktur yang baru dapat
diwujudkan. Disadari pula bahwa proses terwujudnya perubahan struktur ini hanya
dapat dilaksanakan melalui perubahan persepsi dan kemauan politik. Kemauan
politik selama ini sangat didominasi dan dikuasai oleh laki-laki. Demikian pula
kekuasaan politik dalam agama karena sampai saat ini banyak politik keagamaan
yang tidak mampu keluar dari pengaruh kultur. Justru yang terjadi adalah
mempertahankan tradisi yang sangat dipengaruhi oleh kultur dan membentuk struktur
yang sangat kuat.
2.
Gerakan
Perempuan Indonesia
Sejarah Pergerakan Perempuan
Indonesia
Kongres Perempuan Pertama adalah
salah satu momentum dari proses perjalanan perjuangan perempuan. Di kalangan
bawah, perempuan berjuang di bidang ekonomi, perdagangan, pertanian,
peternakan, dan perikanan. Mereka bergulat dalam sektor perjuangan kehidupan
keseharian sehingga nama-namanya tidak dikenal dan tidak pernah disebut. Hanya
saja fakta sejarah yang mengatakan bahwa di sektor produksi, pertanian, peternakan
dan pasar dikuasai oleh kaum perempuan. Mereka tidak mendapatkan pendidikan
formal melainkan bersekolah dari lingkungan kesehariannya.
Lain halnya dengan perempuan kelas
atas, mereka memiliki anggapan bahwa keterbelakangan permepuan karena tidak mempunyai
kesempatan untuk bersekolah. Oleh karena itu kepedulian perempuan kalangan atas
lebih kearah pendidikan perempuan, sebagaimana para feminis liberal yang muncul
pada abad 18 di daratan Eropa.
Tahun 1905 Dewi Sartika mendirikan
sekolah “Keutamaan Istri” di Bandung. Tahun 1912 Kartini mendirikan sekolah
perempuan di Semarang. Tahun 1915 Rahma El Junusia dan adiknya Zaunu`ddin Labai
El Junusia mendirikan sekolah agama di Minagkabau. Pada masa itu rupanya
semangat kebangsaan dan kemuakan hidup dijajah telah membangitkan semangat kaum
muda Indonesia untuk memulai sesuatu. Pada masa itu misalnya berdiri organisasi
non pemerintah. Bernama Boedi Oetomo pada 1908. Pada waktu itu pula muncul
Putri Mardika, Kautamaan Istri, Pawiyatan Wanito, Wanito Hado, Wanito Susilo,
dan sebagainya. Organisasi ini menekankan peningkatan pendidikan perempuan
serta kehidupan berkeluarga. Pada tahun 1913 muncul perjuangan perempuan
melalui media massa Koran berbahasa jawa Wanito Sworo yang dipimpin Siti
Soendari.
Pada kongres perempuan pertama
setelah berdiskusi maka disepakati bahwa tidak akan membicarakan masalah
politik dan hanya akan membicarakan pendidikan dan perkawinan. Salah satu
keputusan kongres yang penting membentuk federasi organisasi perempuan yang diberi nama Perikatan Perempuan
Indonesia (PPI). Proses sejarah berjalan sampai pada waktu menjelang kongres
kedua. Pada masa itu muncul permasalahan poligami dan pelacuran. Pertentangan
antara organisasi perempuan muncul kembali, khususnya mengenai masalah poligami
dan perceraian. Dua masalah ini menyangkut agama dan tradisi/adat merupakan
aspek kehidupan yang ditakuti kaum perempuan.
Perbedaan pandangan mengakibatkan
organisasi perempuan pecah. Perpecahan ini bertambah parah setelah organisasi
perempuan Indonesia mengikti kongres Perempuan Internasional di Lahore, Januari
1931. Pada kongres Perempuan Indonesia ke III, di Solo 25-29 Maret 1932, PPI
mulai memikirkan masalah politik dan bertekad untuk berpartisipasi dalam
kegiatan laki-laki melawan penjajah. Topik yang dibicarakan dalam kongres
tersebut adalah Perempuan Indonesia dan Politik, Nasionalisme, dan Pekerjaan
Sosial bagi perempuan.
Sejak saat itu, maka perjuangan
perempuan Indonesia diwarnai oleh perjuangan politik. Organisasi perempuan yang
perjuangan politiknya menonjol adalah Istri Sedar. Kemudian, muncul organisasi
Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) bergerak di kalangan kaum marhaen (kelas bawah).
Kegiatan mereka meliputi berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial,
keluarga, pendidikan, budaya, kepempimpinan, dan politik. Pada tahun 1954 nama
organisasi ini diubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan pada tahun
1961 jumlah anggotanya menjadi lebih dari satu juta orang. Gerwani akhirnya
mendapat pengaruh dari PKI (Partai Komunis Indonesia) sehingga terpecah menjadi
dua kelompok yakni kelompok yang “murni” dan kelompok yang telah “terpengaruh
PKI”.
Gerwani mengadakan Kongres yang
diadakan pada Desember 1965, yang pada waktu itu almarhumah Sulami (selaku
ketua panitia) sudah mempersiapkan kongres Gerwani yang akan diselenggarakan
pada Desember 1965. Namun terpecahnya peristiwa pada 30 September 1965,
mengakibatkan Gerwani terkena tuduhan menjadi salah satu bagian dari PKI dan
kemudian diikutkan sebagai organisasi terlarang.
Dalam pemerintahan orde baru, organisasi
perempuan ditata dan dikontrol pemerintah. Pengontrolan organisasi perempuan di
Indonesia hampir berhasil mematahkan gerakan perempuan di Indonesia. Tetapi,
gerakan perempuan dunia tidak dapat dihindari. Tahun 1978 pemerintah Indonesia
sebagai anggota PBB didorong untuk membentuk Kementrian Urusan Wanita. Dampak
positifnya pada tahun 1981, Indonesia meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination All of Forms of Discrimation Againts
Women ). Ratifikasi ini ditindaklanjuti dengan keluarnya UU NOmor 7 Tahun
1984 tntang pengesahan konvensi mengenai penghapusam segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan. Pada pertengahan decade 1980-an muncul berbagai organisasi
perempuan non-pemerintah yang bukan ormas, melakukan gerakan perempuan disegala
aspek kehidupan. Organisasi ini bergerak di bidang perburuhan, pertanian,
sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Memahami Situasi Perempuan di
Indonesia
Bung Karno menulis bahwa gerakan
perempuan Indonesia dapat dibedakan menjadi dua:
1. Gerakan
Revolusioner yaitu gerakan masyarakat melawan penjajahan, penindasan,
ketidakadilan. Gerakan in berproses kearah kemerdekaan dan kebebasan.
2. Gerakan
Reaksioner yaitu gerakan dalam masyarakat yang mendukung penindasan atau
mempertahankan status quo dari situasi ketidakadilan. Gerakan ini memelihara
penjajahan dan ketidakadilan, baik disadari maupun tidak disadari.
Gerakan perempuan
Indonesia dapat dilihat secara rinci sebagai berikut:
1. Periode
sebelum penjajahan, tidak/belum banyak terekam faktanya.
2. Periode
tahun 1602-1928, sifat gerakan masih individual
3. Periode
1928-1945, gerakan perempuan sebagai ibu, paham ibuanisme melawan penjajahan.
4. Periode
1946-1965 gerakan perempuan melawan kemiskinan dan ketidakadilan
5. Periode
1966-1980 gerakan PKK, perempuan berpartisipasi dalam pembangunan
6. Periode
1980-1998 gerakan terpecah dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu
gerakan PKK yang mendukung pembangunan dan gerakan perempuan menuju kepada
keadilan gender.
7. Periode
1998-sekarang, gerakan berjaringan internasional-nasional menuju pada keadilan
gender dan bersifat inklusif melalui peningkatan wawasan perempuan di berbagai
aspek kehidupan masyarakat
3.
Ornop
Perempuan Menggali Potensi
Ornop
adalah singkatan dari organisasi non pemerintah, secara internasional dikenal
sebagai Non Government Organization
(NGO) yang pengertiannya jauh lebih luas disbanding Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Istilah-istilah tersebut terkadang memang menyebabkan keracuan antara
ketiganya.
Ornop
terdiri dari organisasi yang tidak hannya berbentuk lembaga/yayasan tetapi juga
dalam bentuknya yang lain, misalnya asosiasi, perserikatan, maupun organisasi
massa. Ornop ini sebenarnya sudah lama muncul di Indonesia, sebagaimana jika
kita menyebut Boedi Oetomo yang didirikan pada 1908. Organisasi ini bergerak
memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, serta kesejahteraan rakyat.
Wacana Penggalian Potensi
Perempuan
Berwawasan Gender
|
||
Women in Development
(WiD)
|
Women and Development
(WAD)
|
Gender and Development
(GAD)
|
Muncul
ketika disadari perempuan masuk menjadi tanaga kerja di sektor publik
(termasuk sebagai kehidupan buruh)
Mempersoalkan
perempuan yang selalu kalah dalam persaingan dengan kaum lakai-laki dalam
dunia kerja
Menyelesaikan masalah
dengan meningkatkan pendidikan kaum perempuan agar mampu bersaing dalam
pembangunan
|
Muncul
ketika disadari tenaga produksi perempuan tergeser dari peran publik menjadi
peran domestic dan tidak dihargai
Mempersoalkan
tenaga produksi perempuan di sektor publik dan domestic akibat dari
pelembagaan pemilikan pribadi,dinilai inferior
Menyelesaikan
masalah denan meningkatkan perempuan dalam pembangunan
|
Muncul
ketika disadari perempuan secara sistematis diberi peran inferior dalam
masyarakat
Mempersoalkan relasi perempuan dan laki-laki yang timpang akibat
budaya patriarkhi
Menyelesaikan masalah dengan mengubah paradigm dari wawasan
patriarkhis ke wawasan gender sehingga perempuan mempunyai akses dan control
di bidang politik.
|
Wawasan Ornop itu, secara umum
sebagaimana halnya dengan Ornop di dunia adalah masyarakat yang demokratis dan
berkeadilan gender. Wawasan gender ini disosialisasikan melalui kelompok yang
dipilih untuk didampingi. Pada sisi ini, wawasan gender adalah wawasan baru
yang memasukkan pemikiran perempuan dalam pengambilan keputusan.
B.
Perubahan
Sosial dan Kedudukan Perempuan
1.
Perubahan
Sosial sebagai Dampak Perkembangan Iptek
Alam perkembangan
kehidupan dan untuk mengatasi masalah, manusia menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sebenarnya, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sematat-mata
untuk meningkatkan kekuasaan manusia terhadap lingkungan alamnya. Tetapi iptek,
khususnya teknologi, memunyai tuntutan-tuntutan tertentu yang membuat manusia
sukar untuk menguasai seluruhnya. Teknologi itu sendiri merupakan penerapan
sistematis dari pengetahuan ilmiah, atau pengetahuan yang teratur, untuk
tugas-tugas praktis. Akibatnya, terjadilah pembagian tugas dalam
komponen-komponen tersendiri, sehingga menerapkan berbagai pengetahuan khusus.
Dan akibat yang ditimbulkan oleh teknologi yaitu meningkatnya kebutuhan modal,
kemampuan penguasaan teknis yang semakin rumit, menuntut waktu yang banyak.
Teknologi mutlak memerlukan organisasi, yang mengakibatkan timbulnya
ikatan-ikatan yang sifatnya baku dan kaku.
Pada intinya sekarang
ini menunjukan bahwa kemajuan teknologi saat ini tidak dibarengi dengan kemajuan kebudayaan. Manusia tidak
mampu secara kreatif menata kembali hubungan dan struktur sosial, politik, dan
ekonomi. Hal tersebut mencerminkan bahwa manusia tidak mampu dalam
mengembangkan dan memperkuat nilai-nilai moral, tetapi sebaliknya yang terjadi
yaitu bertambah kuatnya nilai-nilai buruk, mental korup, kemunafikan, dan
sebagainya.
Pengaruh
Iptek terhadap Kehidupan Masyarakat meliputi:
1) Situasi
yang dipengaruhi oleh perkembangan teknik yang cepat, karena manusia
menginginkan segala yang serba praktis.
2) Demi
kemajuan, manusia modern menggunakan pengetahuan dan teknologi.
3) Masalah
peledakan penduduk mengundang konflik yang mendasar bagi manusia.
4) Untuk
memenuhi kebutuhan, manusia menciptakan alat untuk pemenuhan kebutuhan tersebut
berupa benda atau jasa.
5) Pengaruh
politik ekonomi global tidak dapat dihindari oleh semua Negara di dunia ini.
2.
Dampak
Globalisai terhadap Perempuan
Posisi perempuan
di Indonesia berada dalam posisi di bawah. Proses sejarah yang menggambarkan
berbagai mitos. Pertama, mitos
penciptaan telah menganggap perempuan sebagai pembantu laki-laki. Mitos ini
dinyatakan dalam pertanyataan politik pemerintah yang memposisikan lelaki
sebagai pembantu laki-laki. Kedua,
mitos kecantikan, merupakan satu dari mitos terhadap stereotip perempuan. Dalam
mitos ini, perempuan harus punya keinginan untuk mewujudkannya, dan laki-laki
harus mendapatkan wujud dari keinginan itu untuk memiliki perempuan yang serba
cantik dan sempurna. Mitos ketiga
yang lebih besar adalah mitos perempuan sebagai ibu bangsa. Mitos ini
mengajarkan tentang tanggung jawab ibu, peran atau beban ganda perempuan dalam
keluarga.
Pengaruh
ideologi gender yang masih solid, mempunyai dampak sebagai berikut:
1) Perempuan
sebagai Objek Pola Konsumsi.
Dalam suatu
keluarga perempuan sebagai pelaku utama dalam menentukan pola konsumsi rumah
tangga, yang kegiatanya memilih, membeli, menentukan, jenis barang untuk
keluarganya. Posisi perempuan sangat strategis untuk diterobos oleh para
produsen melalui berbagai promosi barang-barang baru.
2) Perempuan
sebagai Buruh Murah.
Ada pihak yang
memandang perempuan dipandang sebagai buruh yang tidak produktif. Berdasarkan
cara berpikir demikian timbul justifikasi bila perusahaan apa pun memberikan
upah lebih rendah kepada para kaum pekerja adalah wajar atau biasa.
3) Pekerja
Migran Perempuan.
Kehidupan yang
keras di pedesaan mendorong perempuan, khususnya yang berusia muda, untuk pergi
mencari pekerjaan. Pekerjaan perempuan merupakan salah satu pilihan karena
terdapat banyak banyak promosi dari pemerintah. Mereka tidak mempunyai
inisiatif lain, karena tidak mempunyai keterampilan, kecakapan dan modal.
4) Tubuh
perempuan sebagai Mekanisme Komoditi Seksual.
Sebagai buktinya
yaitu adanya program Keluarga Berencana, perempuan juga menjadi objek dagangan
kontrasepsi. Perempuan-perempuan Indonesia, khususnya di desa-desa, dipaksa
untuk menggunakan alat kontrasepsi tanpa diberi diberi informasi tentang
program dan alat kotrasepsi itu.
5) Turisme
dan Perdagangan Seksual.
Industri turisme
yang tumbuh dengan cepat, dengan adanya tempat-tempat wisata yang menyerupai
atau sama. Seperti Bali bagaikan Pattaya, Hawaii, dan lain-lain. Dimana
memiliki problem tentang polakonsumsi, pekerja local yang tidak terampil,
korupsi terhadap nilai-nilai sacral, hilangnya nilai tradisi dan budaya,
pelacuran, dan kerusakan lingkungan hidup. Hotel-hotel memperkerjakan sejumlah
gadis usia muda, dan mereka diseleksi berdasarkan mitos-mitos ideologi tubuh
perempuan.
6) Kerusakan
Lingkungan.
Adanya
pendapatan meningkat sehingga mendorong manusia untuk memenuhi keinginan yang
tidak terbatas. Hal tersebut mengakibatkan kapasitas alam semakin merosot,
seperti kerusakan hutan, kekurangan air, dan lain-lain. Masyarakat Indonesia,
sebagai masyarakat petani menempatkan perempuan sebagai penjaga kehidupan
sosial, tetap dalam proses kerusakan lingkungan, perempuan adalah korban paling
bawah dalam proses itu.
7) Dari
Perempuan ke Anak-Anak.
Perempuan dan
anak-anak telah menjadi sasaran barang-barang komoditi. Bahkan, rahim perempuan
telah diinfiltrasi oleh berbagai barang indutri, seperti oobat-obatan, industry
makanan bagi wanita hamil (kontrasepsi dan sejenisnya), iklan-iklan (khususnya
televisi), yang secara glamour telah mempromosikan komoditi industri baru.
3.
Peran
dan Kedudukan perempuan dalam Pembangunan
Perempuan,
termasuk warga Negara yang mempunyai tugas, kewajiban, dan hak yang sama pula.
Pertnyataan ini secar tertulis diakui dalam Garis Besar Haluan Negara. Namun
yang tertulis, lain dengan kenyataanya. Karena pada situasi ini masih
membutuhkan perjuangan, khususnya oleh kaum perempuan sendiri. Dari sudut
kuatitatif, jumlah perempuan Indonesia lebih dari separuh dari jumlah seluruh
penduduk. Angka tersebut tentu menjadi penting, dikaitkan dengan potensi sumber
daya manusia untuk mendukung pembangunan. Banyak hasil pembangunan, khususnya
di bidang pertanian dan lingkungan merupakan hasil karya dari tangan-tangan
perempuan. Namun ironisnya, justru pembangunan sendiri tidak ramah dan
bersahabat dengan perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia masih
terjadi dimana-mana.
Ilustrasi
yang menggambarkan kedudukan perempuan di Indonesia dewasa ini, meliputi:
·
Banyak pabrik yang memilih penggunaan
buruh perempuan, karena upahnya lebih murah. Konsep ini muncul karena pemikiran
bahwa perempuan bukan pencari nafkah, masih membudaya di Indonesia.
·
Pengambilan keputusan politik
kemasyarakatan masih didominasi laki-laki. Padahal, keputusan di bidang politik
merupakan sistem yang mengatur berjalannya keputusan yang bias gender dan
merugikan perempuan.
·
Hampir semua perempuan, khusunya yang
berpendidikan redah atau tidak berpendidikan sama sekali, hidup dalam dominasi
laki-laki. Kekuasaan yang diberikan kepada perempuan, yaitu kekuasaan untuk
melayani, sangat tampak dalam kegiatan domestic.
·
Perempuan masih diikat dengan peran
gandanya, apabila ia mempunyai aktivitas di sektor publik. Peran ganda
sebenarnya adalah beban ganda.
·
Perempuan dibebani tanggung jawab
keluarga secara sepihak, dan ini membuat pandangan stereotip yang menyudutkan
perempuan yang berkeluarga.
Tantangan yang Menghadang Perempuan
Ø Kelemahan-kelemahan
yang ada dalam diri serta kelompok perempuan antara lain sebagai berikut:
o
Kesulitan perempuan untuk menghilangkan
perasaan malu dan takut salah yang merupakan akibat dari struktur budaya.
Akibatnya, perempuan skar menemukan identitas dirinya sebagai pribadi.
o
Ambisi pribadi yang didorong oleh emosi
yang tidak terkendali akan mewujudkan persaingan yang tidak sehat di kalangan
perempuan itu sendiri.
o
Pandangan streotip telah merasuk ke
dalam mental perempuan, menyebabkan perempuan kurang mampu berpikir tajam dan
jernih, sehingga perempuan kerap ditinggalkan dalam pengambilan keputusan.
o
Kurang berani menerima kekuasaan,
apalagi merebut kekuasaan.
o
Lingkungan menciptakan perempuan perempuan
sebagai makhluk pemelihara yang melayani segala kebutuhan hidup, khususnya
lewat lingkungan keluarga.
o
Berbagai kelainan jiwa mudah hinggap
dalam diri perempuan, seperti keterasingan diri, rendah diri yang berlebihan,
sikap tertutup yang eksterm, dan sebagainya.
o
Ketidakmampuan menjalin persatuan yang
solid karena tidak dapat mengendalikan rasa iri dan cemburu, sehingga mudah
bercerai berai.
o
Dan sebagainya.
Ø Ancaman yang muncul antara lain:
o
Struktur kebudayaan patriarkhi yang
terwujud dalam adat dan aturan-aturan yang mengikat perempuan, sebagai pribadi
maupun sebagai kelompok.
o
Pandangan yang salah dari kaum laki-laki
atau perempuan sendiri tentang pengertian emansipasi perempuan dan feminism.
o
Sikap defence (menolak) dari laki-laki sebagai pribadi maupun kelompok,
karena merasa terancam kedudukan atau kekuasaannya.
o
Sikap dominasi dari laki-laki, sebagai
pribadi maupun kelompok, yang menjadikan perempuan sebagai sasaran dominasinya.
o
Politik pemerintah dalam menangani perempuan
di Indonesia. Tidak mendukung perkembangan perempuan sebagai pribadi yang
mandiri.
o
Sistem pendidikan yang berlaku dalam
masyarakat, baik pendidikan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, kurang atau
bahkan tidak mendukung perkembangan pribadi perempuan.
o
Pembagian kerja dalam masyarakat masih
dipandang berdasarkan seks, bukan kemampuan dari pribadi manusia.
o
Ajaran agama yang masih mendukung budaya
patriarkhi.
Ø Peluang dan Kekuatan Perempuan
o
Lingkungan hidup dan keadaan fisik
perempuan merupakan kekuatan yang dapat dikembangkan. Dengan demikian,
perempuan akan mampu membentuk dirinya menjadi makhluk yang biopsikis dengan
prinsip feminisme yang masih menonjol. Ciri prinsip feminism adalah menjaga
relasi dengan baik, mengasuh dan memelihara potensi hidup yang baik. Oleh
karena itu, orientasi perempuan selalu pada hubungan atau relasi yang mendasari
sikap sosialnya.
o
Kemampuannya untuk mendengarkan dan
kemudian menginformasikan sesuatu yang disesuaikan dengan tindakan. Perempuan
memiliki kemampuan untuk menjadi seorang komunikator yang baik. Kemampuan
memperhatikan dan memelihara, serta kemampuan mempelajari hasil tindakan
(meskipun tanpa umpan balik).
o
Perempuan miliki kemampuan untuk
mempertemukan ide yang bertentangan dengan menghubungkan secara intuitif. Potensi
ini memberi peluang pada perempuan untuk membawa kedamaian.
o
Kemampuan menerima situasi dan
pengetahuan, mementingkan isi daripada bentuk luarnya, membuat perempuan juga
memiliki ptensi untuk toleran terhadap kekurangan dan keraguan. Dengan
demikian, ia lebih bersikap memberikan pengampunan, karena perempuan itu
sendiri sebagai makhluk yang terbiasa menderita. Dalam kondisi ini, perempuan
bukan sekedar tahan banting, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah secara realistis, tidak bertele-tele.
o
Perempuan juga ikut adil dalam merebut
dan mengisi kemerdekaan bangsa dan Negara tidaklah sedikit. Hal ini dapat
memberikan warisan semangat juang dari para pejuang perempuan akan menyemangati
generasi penerus.
o
Kehadiran perempuan sebagai mitra kerja,
jika berkembangnya kesadaran laki-laki atas kemampuan perempuan akan memberikan
peluang untuk membangun secara bersama-sama.
o
Kesempatan yang tidak berbeda karena hak
dan kewajiban yang sama dijamin oleh undang-undang.
o
Munculnya gerakan-gerakan perempuan
sadar yang mulai berjuang membebaskan kaum perempuan, memberikan bukti bahwa
kalangan perempuan itu sendiri mampu mencari jalan keluar dan memecahkan
masalahnya.
o
Kesempatan yang ditawarkan kepada
perempuan untuk memimpin bidang politik pun, kini makin terbuka.
o
Dan sebagainya.
C.
Ideologi
Gender sebagai Isu Sosial
1.
Pengaruh
Gender dalam Fungsi Produksi
Sebelum msuk lebih jauh
pada pokok persoalan, terlebih dulu perlu dijelaskan mengenai pengertian gender
dan produksi. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin. Seks ditentukan
oleh ciri-ciri biologis. Gender bernuansa psikologis, sosiologis dan budaya.
Seks membedakan manusia laki-lakai dan perempuan dari aspek biologis (kodrat
ilahi). Gender membedakan manusia laki-laki dan perempuan secara sosial, mengacu
pada unsur emosional, kejiwaan dan sosial.
Permasalah yang muncul,
pengertian gender dicampuradukkan dengan
pengertian tentang kodrat. Gender menyangkut beberpa asumsi pokok:
a.
Gender menyangkut kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam msyarakat; hubungan laki-laki dan perempuan terbentuk secara
sosiokultural, dan bukan atas dasar biologis (alamiah).
b.
Secara sosiokultural, hubungan ini
mengambil bentuk dalam dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan.
c.
Pembagian kerja dan pembedan yang bersifat
sosial sering kali dinaturalisasikan (dianggap “kodrat”)melalui ideologi mitos
dan agama.
d.
Gender menyangkut setreotip feminim dan
maskulin.
Ideologi gender
merupakan pola berpikir yang membedakan antara laki-laki dan perempuan sesuai
dengan kepantasaanya. Dengan kata lain melalui ideologi gender manusia
menciptakan kotak untuk perempuan dan kotak untuk laki-laki sesuai yang
diperoleh dari pengalamannya. Ideologi ini mendsain pikiran, ingatan, sehingga
manusia hafal apa yang harus dicatat, apa yang harus diperhatikan, dan apa yang
harus diingat apa antara peremupuan dan laki-laki. Ciri-ciri perempuan dan
laki-laki dikunci mati oleh ideologi gender.
Ideologi gender
menghasilkan pandangan manusia tentang peran jenis dalam masyarakat. Peran
jenis (sexrole) adalah suatu kelompok
perilaku, kesenangan, dan sifat serta sikap yang dimiliki oleh jenis tertentu,
dan tidak dimiliki oleh jenis yang lain.
Pengaruh
gender dalam tatanan masyarakat
Ideologi gender
berpengaruh pada pembagian kerja dalam masyarakat, pembagian kekuasaan, hak dan
tanggung jawab, hubungan perempuan dan laki-laki, baik dalam keluarga dan
masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan berada dalam dikotomi “kuat/lemah”
beberapa bidang kehidupan dipengaruhi yang syarat dengan pengaruh maskulinitas:
a.
Komunikasi bahasa
b.
Sosial : relasi dalam keluarga dan
masyarakat
c.
Ekonomi : hak milik pencari nafkah
d.
Politik : pengambil keputusan dalam
kekuasaan
e.
Budaya : pendidikan, agama, adat dan
tradisi (dibantu mitos)
2.
Penggalangan
Solidaritas Buruh
Masalah buruh merupakan
masalah yang umurnya sudah berabad-abad. Mereka memperoleh perlakuan yang tidak
sesuai, seolah perlakuan itu sesuatu yang pantas mereka terima, dan mereka
halal untuk diperlakukan apa saja. Pandangan tentang masyarakat buruh ini akan
berlanjut dan tidak akan ada hentinya, apabila dari pihak buruh sendiri tidak
ada gerakan yang membedakan mereka sendiri. Namun memungkinkan, karena
kedudukan mereka yang terlalu lemah.
Transformasi
struktural di Indonseia
Hampir dapat dipastikan
bahwa pembangunan suatu negara berkembang selalu bercirikan modernisasi.
Modernisasi sendiri mengandung perubahan-perubahan sosial yang sebagian besar
direkayasa oleh manusia sendiri dengan berbagai keputusan pilihannya.
Kedudukan
majikan buruh
Teori ekonomi dasar
dari aliran klasik menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan manunsia
diperlukan produksi. Produksi membutuhkan faktor-faktor produksi yang mempunyai
nilai tukar masing-masing. Dalam kenyataannya, nilai tukar dalam barang
produksi setelah didistribusikan, bagian yang paling banyak adalah keuntungan.
Pandangan ini jelas membuktikan bahwa tenaga kerja manusia di Indonesia
disamakan dengan tenaga kerja mesin atau tenaga kerja lainnya yang hanya diam.
Kelompok
solidaritas buruh
Sesuai dengan tatacara
yang dilakukan negara yang sudah maju untuk mewujudkan demokrasi dalam
perusahaan, dimungkinkan adanya organisasi buruh di sebuah perusahaan. Banyak
organisasi buruh telah lahir namun apakah organisasi buruh ini telah menolong
posisi kaum buruh. Kelompok manusia ini adalah kelompok yang hubungan antar
manusianya berlaku secara horizontal bukan vertikal.
3.
Pengaruh
Ideologi Gender Terhadap Tenaga Kerja
Wanita
Sejarah menunjukan
bahwa setiap orang sangat mendambakan hidup aman dan damai. Namun kenyataannya,
peperangan dan penindasan serta ketidakadilan merajalela. Ketika menyebut TKW
maka ingatan yang melayang adalah tentang perempuan Indonesia yang
berbondong-bondong, yang terpaksa harus menangis mencari rizki di negara orang,
meninggalkan suami dan anaknya, orang tua dan keluarganya. Kaum perempuan ini
yang kadang disebut sebagai pahlawan devisa negara, sering menjadi tidak
sepadan dengan resiko-resiko yang harus ditanggungnya. Kebanyakan para TKW
adalah mereka yang menjadi korban politik (ekonomi). Perempuan di Indonesia
lebih dari separuh penduduk Indonesia potensial menjadi penganggur, karena
pekerjaan domestiknya sudah bergeser ke publik. Disisi lain apabila
perempuan-perempuan calon TKW ini tidak dititipkan di negara lain, akan tampak
betapa menggunungnya pengangguran di Indonesia, tentu saja pengangguran ini
menyulitkan negara membuka utang luar negri. Mereka, para TKW itu adalah
perempuan yang kismin. Mereka juga ingin memperoleh hidup yang lebih baik.
4.
Hak
dan Martabat Perempuan sebagai Profesional
Pada mulanya, seseorang
bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang makin tidak
terbatas, sehingga pekerjaan bertambah banyak. Pekerjaan yang banyak tidak
dapat dikerjakan sendiri maka membutuhkan bantuan. Dari sinilah seharusnya
penghargaan untuk nilai bantuan dihargai, baik dari kalangan terdidik maupun
tidak terdidik, apresiasi terhadap perempuan masih saja pada setereotip yang
memprihatinkan. Lebih-lebih jika perempuan dalam peran sebagai pembantu, dan
munculnya berada dibelakang pekerja utama berada. Para perempuan professional
yang bekerja sebagai pembantu ini misalnya sekretaris, asistan manager, dan
tenaga administrasi.
Pengaruh
Ideologi gender dalam profesi
Ideologi gender dalam
prosesnya telah menciptakan berbagai konstruksi sosial. Konstruksi sosial ini
berprosesmelalui tradisi, sehingga orang menjadi tidak sadar bahwa yang terjadi
adalah uatan manusia. Dalam proses sejarah manusia, masyarakat mencampuradukkan
pengertian jenis kelamin atau seks ini, sehingga terjadi salah pengertian.
Sumber dari ketidakadilan gender adalah ketika terbentuk pandangan bahwa posisi
perempuan adalah subordinat. Akibatnya, laki-laki selalu memimpin dan perempuan
dipimpin. Salah satu ketidakadilan gender adalah stereotip. Ketidakadilan ini
melekat pada para perempuan pekerja. Tugas sekretaris, bendahara, administrasi,
asistensi dan sejenisnya itu diidentikan dengan tugas perempuan.
Peningkatan
kembali nilai pekerjaan professional
Pengertian sebutan
professional adalah orang yang mendapatkan gaji atau imbalan karena
keahliannya. Tugas seorang sekretaris atau profesi sejenis lainnya yang
dijalankan perempuan, adalah tugas seorang ahli, ia harus mempersiapkan
sebelumnya dan mempertanggungjawabkan sesudahnya. Oleh karena itu, tidak relevan memandang
tugas-tugas asistensiitu dipandang rendah. Selain itu, asal mula pekerjaan ini
muncul justru karena seseorang atau lembaga tidak mampu menyelesaikan
pekerjaanya sendir.
Untuk menyambut masa
depan, konstruksi sosial yang diakibatkan oleh ideology gender tidak pantas
lagi dipertahankan. Kencenderungan pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh
para perempuanprofesional pada pekerjaan ini, sudah tidak dapat diterima lagi.
Seperangkat sarana hukum telah diciptakan untuk melindungi diskriminasi serta
kekerasan terhadap perempuan. Tahun 1981, CEDAW telah diratifikasioleh lebih
dari 100 negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Pada tahun 1984, pemerintah
Indonesia mengesahkan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan
CEDAW.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Perempuan, termasuk
warga Negara yang mempunyai tugas, kewajiban, dan hak yang sama pula.
Pertnyataan ini secar tertulis diakui dalam Garis Besar Haluan Negara. Namun
yang tertulis, lain dengan kenyataanya. Karena pada situasi ini masih
membutuhkan perjuangan, khususnya oleh kaum perempuan sendiri. Dari sudut
kuatitatif, jumlah perempuan Indonesia lebih dari separuh dari jumlah seluruh
penduduk. Angka tersebut tentu menjadi penting, dikaitkan dengan potensi sumber
daya manusia untuk mendukung pembangunan. Banyak hasil pembangunan, khususnya
di bidang pertanian dan lingkungan merupakan hasil karya dari tangan-tangan
perempuan. Namun ironisnya, justru pembangunan sendiri tidak ramah dan
bersahabat dengan perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia
masih terjadi dimana-mana.
DAFTAR PUSTAKA
·
Murniati, P. Nunuk A. 2004. Getar
Gender: perempuan Indonesia dalam perspektif social, Politik, Ekonomi, Hukum
dan HAM. Magelang: Indonesiatera.
·
http://kemdiknas.go.id/